Alfonso membuka pintu unit apartemennya dengan kartu akses yang dipegangnya. Dia membeli unit apartemen mewah di daerah Beverly Hills ini sejak kembali ke Los Angeles, untuk menuntut kembali harta warisan kakeknya. Dengan kekayaan dan pengaruhnya, bagi Alfonso, membeli apartemen mewah adalah hal yang gampang. Apalagi fasilitasnya memuaskan dan letak apartemennya sangat strategis. Tapi kenapa sekarang, ada rasa enggan untuk kembali ke apartemennya ini?
"Honey Bear? Oh, kamu sudah pulang…," suara manja itu sudah langsung menyambutnya saat Alfonso melangkah masuk ke ruang tamu.Gloria muncul dengan mini dress warna merah menyala yang sensual, dia sengaja memakainya untuk menggoda Alfonso. Dia tahu kekasihnya itu sangat suka warna merah. Tapi tatapan mata Alfonso terasa hambar dan dingin."Hai, Gloria…," hanya itu yang keluar dari mulut Alfonso."Apa kabar, Honey BeSejak Siena dirawat di rumah sakit ini kemarin, Alfonso belum berkunjung lagi. Kenapa pria itu harus muncul di saat Brian sedang ada di sini? Siena mengeluh dalam hati. Siena khawatir Alfonso akan membahas tentang perjalanan mereka di depan Brian. Kalau sampai Brian tahu dia berbohong, di mana dia harus menaruh mukanya lagi?Alfonso melangkah masuk dengan matanya masih tertuju pada Brian. Siapa pria berwajah oriental ini, penggemar Siena lagi? Dia melirik buket bunga mawar yang dibawakan Brian, dan hadiah lainnya yang sudah terpajang di atas meja.'Huh!' gerutu Alfonso dalam hati. 'Kenapa sih mereka semua begitu menggemari Siena? Sekalian saja buat fans club. Anggotanya sudah pasti si pengacara sok tahu itu dan pemuda yang kelihatan seperti anggota boyband Korea ini.'"Alf, kenalkan ini Brian Jung, teman baikku. Brian, ini Alfonso Garcia," Siena mau tak mau memperkenalkan mereka berdua sup
"Alf, tolong ambilkan aku sebuah pensil dan selembar kertas," pinta Siena."Untuk apa?""Ya untuk coret-coret… Kamu sendiri yang minta aku pecahkan kode ini. Aku harus coba-coba dulu," tanggap Siena.Alfonso mencari-cari di sakunya, kebetulan ada selembar kertas nota yang tak terpakai. "Cuma ada ini. Kalau kamu mau, aku bisa mintakan ke luar. Dan aku tak punya pensil, adanya pulpen."Siena agak cemberut. "Tapi aku butuh pensil dan kertas yang lebih lebar...""Oke, aku mintakan ke bagian administrasi," tandas Alfonso. Dia langsung berjalan keluar dari kamar. Tak sampai satu menit, dia sudah kembali lagi dengan sebuah pensil dan selembar kertas ukuran folio. "Ini….""Thanks, Alf…," ucap Siena.Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan keinginannya tersenyum. Entah kenapa Alfonso mau saja menuruti perminta
Wajah Gloria yang cantik sudah pucat seperti mayat. Matanya kehilangan seluruh binarnya. Jantungnya sesaat seolah berhenti berdetak. Ucapan Alfonso bagai mimpi buruk yang tak ingin dipercayainya. "Honey… Bear…? Ka-kamu tega usir aku?" Gloria mencicit. "Semuanya sudah berakhir, Gloria…. Kamu bebas pergi ke mana pun kamu mau sekarang. Harusnya kamu senang." Alfonso melepaskan dagu Gloria dari genggamannya, berbalik ke arah pintu keluar. "Kamu mau ke mana, Honey Bear?!" raung Gloria histeris. "Kamu tak bisa putuskan aku! Tak bisa! Aku tahu ini semua gara-gara gadis pembawa sial itu! Siena! Dia yang pengaruhi kamu 'kan?" Alfonso berhenti persis di depan pintu. Emosinya memuncak lagi saat Gloria menghina Siena, tapi ditahannya. "Aku tahu dia ada di rumah sakit sekarang! Tadi kamu pergi temui dia! Kamu memang sengaja ingin usir aku, supaya kamu bisa bebas bersa
Bip! Bip!Ponsel yang ada di saku celananya berbunyi. Siena terkejut. Dia sampai lupa dengan ponsel pemberian Alfonso itu, gara-gara selama seminggu sebelumnya, dia sudah terbiasa tak memegang ponsel. Ponselnya berbunyi, siapa lagi kalau bukan Alfonso. Cuma pria itu yang bisa hubungi nomor barunya ini."Kamu sudah di rumah?" Alfonso bahkan tak merasa perlu berbasa-basi memberi salam."Iya, dari kemarin pagi jam sembilan. Ada apa?" jawab Siena agak malas."Aku ke sana sekarang." Lalu sambungan terputus.Siena memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Dia butuh energi ekstra untuk menghadapi Alfonso. Kadang Alfonso bisa saja bersikap baik, biarpun lebih sering membuatnya merasa ingin menjewer telinga pria itu. Mau apa lagi Alfonso datang? Tapi Siena harus mengakui, ada saat-saat tertentu di mana Alfonso membuat hatinya terasa hangat."Ah, yan
Siena benar-benar tak menduga kalau petunjuk ketiga akan mengarahkan mereka ke kota kelahirannya."Gotemba bukan cuma tempat kelahiran Mama, tapi juga aku…," ucap Siena sambil merenung."Ada apa? Bukannya harusnya kamu senang? Kita akan pergi ke Jepang, ke tempat asalmu," timpal Alfonso."Ya, hanya saja… sudah tak ada siapa-siapa lagi di sana yang kukenal. Kakek dan Nenekku sudah lama meninggal. Aku dan Mama juga sudah tinggalkan kota itu empat belas tahun yang lalu.""Bagaimanapun juga, itu kota kelahiranmu. Pasti ada kenangan yang penting bagimu," lanjut Alfonso.Siena termenung. Memang benar ada banyak kenangan di Kota Gotemba, kenangan yang baik maupun yang buruk."Tapi apa yang kita cari di sana?" Siena tiba-tiba terpikir. "Kalau melihat dari dua aset sebelumnya yang kita kunjungi, kemungkinan aset peninggalan Grandpa ini juga
"Indah," hanya satu kata itu yang diucapkan Siena waktu berdiri di depan Hotel Sakura. Setelah menempuh penerbangan hampir tujuh belas jam dari Los Angeles, dan tidurnya kurang nyenyak di dalam pesawat, Siena merasa jet-lag. Tapi rasa lelahnya seperti terbayar waktu melihat hotel yang didirikan Adalfo di tanah kelahirannya, bahkan mengambil nama ibunya sendiri. Hotel itu bergaya tradisional Jepang, dengan jendela-jendela bulat dan didominasi material kayu. Bentuk bangunannya bukan meninggi ke atas, tapi meluas ke samping. Jelas bukan hotel modern seperti yang awalnya ada di pikiran Siena, tapi lebih mirip penginapan yang memberi kesan nyaman dan damai. Apalagi lokasinya bukan di daerah padat penduduk, tapi di desa tak jauh dari kaki Gunung Fuji. "Konnichiwa…. Selamat datang di Hotel Sakura!" Seorang gadis muda yang memakai kimono warna cokelat menyapa mereka dengan ramah di ruangan depan hotel. Wajah
Alfonso tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar ucapan Siena. Sebenarnya dia memang sudah pernah mencari informasi tentang keluarga dan masa lalu Siena. Tujuannya waktu itu adalah menemukan kelemahan Siena, menggunakannya untuk mengancam Siena. Tapi memang tak banyak yang bisa dia temukan.Yang paling membuatnya penasaran adalah sosok ayah kandung Siena. Tak ada catatan tentang siapa pria itu. Siena bahkan tak memakai nama belakang ayahnya, melainkan nama belakang ibunya, Mori. Ini sebenarnya hal yang sudah sangat lazim di Amerika, mengingat banyak pasangan yang memiliki anak, tapi tak menikah, atau seorang single mother yang memilih membesarkan anaknya sendiri.Akhirnya Alfonso cuma bisa berasumsi, ibu Siena mungkin telah bercerai dengan suaminya di Jepang, sebelum pindah ke Los Angeles. Sekarang, sebuah pengakuan yang jujur mendadak keluar dari mulut Siena sendiri."Waktu itu, Mama baru kuliah
"Jahat sekali mereka! Kenapa mereka seperti itu? Mereka tak punya hak untuk usir kamu!" Alfonso marah-marah di dalam mobil, setelah mendengar cerita Siena."Itu kejadian yang sudah lama! Lagipula apa urusannya dengan mereka? Urus saja masalah mereka sendiri!" Nada suara Alfonso makin lama makin tinggi."Sudahlah, Alf…. Aku sudah cerita 'kan? Itulah kenyataan yang aku hadapi dari dulu di tempat ini."Alfonso bisa merasakan kegetiran dalam suara Siena. Dia bisa melihat kalau Siena seperti menahan tangis. Rasanya dadanya bergemuruh oleh amarah. Kenapa orang-orang itu begitu jahat? Dengan seenaknya menuduh seseorang sebagai pembawa aib, padahal belum tentu hidup mereka sendiri lebih baik. Siapa juga yang tak pernah melakukan kesalahan seumur hidupnya?Bahkan waktu mereka kembali ke Hotel Sakura pun, Alfonso masih merasa marah, karena wajah Siena tetap murung."He