Karena sudah sore, Alfonso dan Siena memutuskan untuk berangkat ke Panti Asuhan Safe Haven esok harinya. Sebagai gantinya, mereka berdua berjalan-jalan ke tengah kota. Mereka sengaja berjalan kaki supaya bisa menikmati keindahan arsitektur bangunan-bangunan abad pertengahan yang memukau. Menjelang petang, Alfonso mengajak Siena ke sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Italia.
"Aku mau makan selain pasta dan pizza," kata Alfonso, waktu mereka duduk di bagian beranda luar restoran.
Cuaca di Kota Siena saat ini mulai dingin, agak mendung. Sayang sekali kalau malam ini harus hujan. Rasanya belum puas mereka berkeliling kota.
"Bagaimana kalau coba ini, panzanella? Kelihatannya enak," Siena menyarankan sambil menunjuk gambar di buku menu.
Mata Alfonso melebar. "Mmm, boleh…. Kelihatannya memang menggoda."
Setelah memesan makanan, mereka memperhatikan orang-or
Brian memandang wanita berambut pirang yang duduk di hadapannya sekarang. Dua hari yang lalu, waktu mereka bertemu di depan apartemen Alfonso, Gloria terlihat merana seperti orang sakit. Namun saat ini, kondisinya terlihat lebih baik. Matanya tidak bengkak lagi. Dia juga sudah memakai make-up untuk menutupi wajahnya yang pucat, sehingga tampak lebih segar."Apa… kamu sudah merasa lebih baik?" Brian memecah keheningan.Dari tadi, sudah lebih dari lima menit, mereka cuma duduk diam. Brian sebenarnya juga tak tahu persis maksud kedatangan Gloria ke apartemennya pagi ini. Sejak mereka bertemu, mereka memang saling bertukar nomor ponsel. Lalu Gloria tiba-tiba menelepon pagi ini, meminta alamatnya, dan muncul di depan pintu apartemennya.Sambil menarik napas panjang, Gloria menggeleng. "Aku tak mungkin merasa lebih baik, sebelum aku bisa ketemu Alfonso lagi.""Nomornya juga tak bisa di
Siena memicingkan matanya, mengejap-ngejap karena merasa silau setelah selubung kain hitam di kepalanya dibuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah dua orang pria bertubuh tinggi besar dan berkacamata hitam yang berdiri di depannya. Yang satu berkumis tebal, sedangkan yang satunya lagi berkepala plontos. Mereka pasti yang menculiknya tadi. "Siapa kalian?!" Jantungnya sudah berdetak begitu kencang, tapi Siena masih berusaha supaya suaranya terdengar tegas. Pria yang berkepala plontos mengangkat jari telunjuknya ke bibir. "Tenang, Nona…. Tak perlu takut." Mereka baru saja menculiknya, dan minta dia supaya tak perlu takut? Yang benar saja! Namun satu hal yang membuatnya lega, mereka tak menodongnya dengan pistol lagi, dan kedua tangannya dari tadi juga dalam posisi bebas, tak diikat. Siena mencermati kedua pria itu. Mereka memakai mantel hitam panjang, berkulit cokelat, dan wajah k
Ucapan Carlo seperti terus terngiang di telinga Siena. Cerita itu memang sesuai dengan cerita ibunya selama ini, bagaimana ibunya bertemu dengan ayahnya di Gotemba. Namun apakah itu artinya dia harus memercayai Carlo?"Aku bahkan tak pernah tahu nama ayah kandungku. Bagaimana kamu bisa yakin… kalau kamu tidak salah orang? Dan bagaimana kamu bisa berharap aku percaya pada ceritamu?" Akhirnya Siena membuka mulutnya. Pikirannya terlalu kacau. Dalam situasi seperti ini, menyangkal adalah hal yang jauh lebih mudah dilakukan."Kamu Siena Mori, anak dari Sakura Mori bukan? Waktu Papa bertemu ibumu, dia masih sedang kuliah tahun kedua sebagai perawat. Kemudian kalian pindah ke Los Angeles saat usiamu baru sepuluh tahun. Kamu kuliah jurusan jurnalistik, dan bekerja sebagai kolumnis di media online Angels Daily selama dua tahun. Dan usiamu saat ini dua puluh empat tahun."Ini kedengaran mulai menakutkan bagi S
"Jadi kamu mau bertemu dengan Papa?" ulang Carlo. Suaranya terdengar gembira. "Ya, aku ingin bertemu dengannya…," cuma itu yang diucapkan Siena. Carlo seperti sedang menimbang-nimbang. "Baiklah…. Sebenarnya Papa minta aku yang ketemu kamu duluan, karena dia sendiri sangat gugup. Dia bukan pria yang banyak bicara. Dan dia takut kalau kamu tak bisa menerimanya." "Biar aku sendiri yang putuskan setelah bertemu dengannya," Siena mencoba untuk terdengar tegas, biarpun jantungnya mulai berpacu kencang. Dia tak tahu apa yang diharapkannya, tapi dia sudah cukup mendengar cerita Carlo. Saatnya menghadapi kenyataan. Carlo memberi isyarat pada Siena supaya berdiri dan mengikutinya. Mereka keluar dari ruangan itu, berjalan melewati koridor panjang yang di kiri kanannya terdapat taman. Karena sudah gelap, Siena tak bisa melihat sampai ke ujung taman, tapi yang jelas rumah itu sangat besar d
Alfonso menatap dengan mata menyala saat kedua pria itu makin mendekat. Lampu dari gerbang villa menyorot wajah mereka dengan jelas. Mereka memakai mantel panjang dan kacamata hitam. Alfonso curiga. Mereka juga mungkin membawa senjata di kantong mantel mereka, dilihat dari bentuk kantong mantel itu. Ia mengepalkan kedua tangannya, rahangnya menegang, seluruh indera tubuhnya waspada. Salah satu pria yang berkepala plontos mengangkat tangan sambil menyapa, "Selamat malam, Tuan. Kami sudah menunggu Anda dari tadi. Kami datang ke sini untuk mengabari Anda kalau Nona Siena Mori baik-baik saja. Saat ini dia sedang berada di suatu tempat yang aman. Kami akan kembali lagi ke sini besok pagi untuk menjemput Anda, dan membawa Anda bertemu Nona Mori." 'Apa katanya?!' Alfonso membatin. Darah di seluruh tubuhnya seketika mendidih. Enak saja pria berengsek itu bicara begitu, sedangkan dia sudah susah payah mencari Siena dengan panik ke
Alfonso mengira telinganya salah dengar. Tapi Siena terus menatapnya dengan wajah serius. "Apa katamu? Keluarga?" Siena mengangguk pelan. "Iya, Alf…. Maaf, aku tak bisa segera hubungi kamu. Tapi ponselku ada di salah satu dari mereka, Pino atau Dino," sambungnya, sambil menunjuk bergantian ke arah kedua pria yang bersama Alfonso. "Mereka sedang cari kamu untuk memberi kabar, supaya kamu tak khawatir. Ternyata, aku tak menyangka kalau malah jadi begini…. Please, Alf…. Lepaskan dia…." Bagi Alfonso, menatap mata hazel Siena yang indah adalah salah satu kelemahannya. Siena sudah di depan matanya, apalagi yang dia inginkan selain bertemu Siena? Perlahan ia mengendorkan tangannya yang menjepit leher Pino, dan memasukkan pistol ke dalam saku mantelnya. Pino langsung menarik napas panjang setelah akhirnya bisa bernapas dengan bebas, sambil memegang lehernya yang sudah memerah. Rekannya
Alfonso terbangun karena mendengar bunyi pintu ditutup, tapi bukan dari kamarnya. Itu mungkin Carlo, karena dia tahu pria itu tidur di sebelah kamarnya. Baru jam lima pagi, matanya sudah tak mau menutup. Dia sadar tidurnya kurang nyenyak. Mungkin karena otaknya terus memikirkan banyak hal yang terjadi kemarin.Jadi Siena akhirnya bertemu ayah kandungnya. Dan ayah Siena bukanlah orang sembarangan. Sepertinya tantangannya untuk menaklukkan hati Siena akan bertambah."Makin banyak tantangan, makin menarik," gumamnya sambil tersenyum.Ia bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Saatnya untuk mencari tahu lebih banyak mengenai tantangan apa saja yang harus dia hadapi."Selamat pagi, Carlo," Alfonso menyapa Carlo yang sedang berdiri di pinggir kolam renang di halaman belakang rumah yang luas."Hai, Alfonso. Tak kusangka kamu bangunnya pagi juga. Atau jangan-jan
Siena melihat Alfonso dan Carlo berdiri berhadapan di dekat kolam renang, sepertinya sedang mengobrol tentang sesuatu yang penting. Wajah mereka terlihat serius. Apa yang mereka obrolkan pagi-pagi begini? Apakah tentang kejadian tadi malam? Siena menghampiri mereka dari belakang. "Alf…? Carlo…?" Alfonso menoleh. Kenapa wajahnya terlihat seperti emosional? Apa ada sesuatu yang mengganggunya? "Cherry…." Siena berjalan mendekati Alfonso. "Maaf, aku tak bermaksud ganggu obrolan kalian. Aku cuma mau beritahu kalau sarapan sudah siap. Alf, aku sampai lupa bertanya semalam. Apa kamu sudah makan? Jangan-jangan gara-gara semua kekacauan yang terjadi, kamu belum sempat makan." Sebersit rasa bangga dan senang muncul di hati Alfonso, karena dia yang ditanyai lebih dulu oleh Siena, bukan Carlo. "Aku memang sudah lapar." Ia melirik Carlo, dengan seulas senyum kemenanga