"Aku gak mau pergi! Hiks. Huaa!" suara teriakan yang di susul dengan isak tangis itu jelas memenuhi ruang sempit mobil yang tengah melaju dengan kecepatan sedang itu.
"Aaa, kenapa kalian tega membuangku dengan cara seperti ini?" gadis itu-Aera tengah meratap melihat perkomplekan rumahnya yang mulai tertinggal jauh di belakang. Tak butuh waktu lama akhirnya mereka sampai dijalan raya yang ramai dengan kendaraan yang tengah lalu-lalang.
Kedua tangannya masih gencar memukul-mukul kaca mobil di sampingnya. Tidak perduli jika si pemilik mobil akan marah padanya.
Bangunan serta gedung-gedung bertingkat mulai menghilang dan berganti pepohonan yang rimbun di sepanjang pinggir jalan.Sudah lewat hampir dua puluh menit, tapi Aera tetap tidak mau menghentikan tangisnya dan masih setia menahan isakan yang sengaja ia buat-buat.
"Berisik!" lirih pria yang mengambil alih kemudi di sampingnya, meski berkata begitu dia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari jalan raya di depannya.
"Hiks, huaaa! Kenapa hidupku sangat menyedihkan!" Aera tambah mengeraskan tangisannya. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya itu memang benar isi hatinya.
Menyedihkan memang saat beberapa jam yang lalu dirinya sudah sah dan di klaim menjadi istri dari seorang Reagan yang duduk bak patung hidup di sampingnya ini.
Aera memberanikan diri melihat ke arah sampingnya sedikit, mendapati sosok tampan berekspresi datar itu. Dia memang mengakuinya, wajah serta proporsi tubuh Reagan-pria di sampingnya jauh lebih sempurna dari Dalva, mantan pacarnya. Yang sekarang sudah menjadi adik iparnya.
Kegilaan macam apa ini.Reagan melirik tajam pada Aera, membuat Aera yang sudah berhenti dari tangisnya kini kembali menangis.
Sungguh dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya di masa yang akan datang nanti.Aera mengangkat kedua kakinya, menekuknya lalu menyandarkan dagunya di antara kedua lutut miliknya.
Dan masih terus menangis.
"Diamlah!" kali ini intonasi suara Reagan naik satu oktaf. Merasa sangat terganggu dengan Aera.
Bukannya diam, Aera semakin menguatkan tangisannya lagi. Mirip seperti anak kecil yang merengek minta di sayang.
Tak ada reaksi yang berlebih yang di tunjukkan Reagan untuk menanggapi Aera, dia lebih memilih untuk fokus pada jalanan yang lumayan lenggang di depannya. Tidak butuh waktu yang lama, sebentar lagi mereka akan sampai di rumah baru mereka.
Jujur saja, dia juga sebenarnya tidak ingin tinggal satu atap dengan cewek yang ada di sampingnya ini, tapi takdir memaksa mereka melakukannya. Jelas, dia juga terpaksa menikah dengan Aera.
Tapi, suara tangisan bercampur rengekan Aera seakan memekakkan telinganya. Dirinya juga terguncang, tapi sebisa mungkin dia bersikap tenang dan tidak kekanak-kanakan seperti yang di lakukan Aera.
"Kamu ingin ku pukul?"
Sontak Aera terkejut mendengar perkataan yang keluar dari mulut Reagan. "Sungguh malang diriku menikah dengan pria kasar yang ringan tangan seperti dia!" teriaknya dalam hati, tapi hal itu tidak mengggerakkan hatinya untuk berhenti menangis.
Aera semakin gencar menguatkan tangsiannya, biar saja Reagan akan memukulnya atau apapun itu dia tidak perduli. Dia akan menggunakan alasan ini nanti supaya mereka tidak akan berlama-lama dalam pernikahan tidak di inginkan ini.
Helaan nafas kasar lolos dari mulut Reagan, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana menanggapi Aera yang seperti ini. Karena dia memang baru saja mengenal Aera beberapa hari yang lalu, bahkan itu kali pertama dia berjumpa dengan Aera. Dan orang tua mereka dengan gilanya membuat pernikahan tanpa persetujuan dari dirinya.
Kalau Aera dia tidak tahu, mungkin dia juga terpaksa menikah dengan dirinya, pikir Reagan.
"Diam atau aku akan menendangmu keluar dari mobilku!"
Aera terkejut setengah hidup mendengar ancaman murahan yang keluar dari mulut Reagan.
"Aku tidak takut," balas Aera masih sesegukan, dia memang sengaja memancing Reagan. Karena dia tahu Reagan tidak akan berani melalukannya.
Tubuh Aera tersentak kuat karena mobil yang terhenti secara mendadak.mendengar hal itu Reagan menatap sinis Aera di sertai senyum miring yang terbit di bibirnya.
Aera meneguk ludahnya dengan susah payah. Jujur saja dia takut dengan seringaian dan wajah aneh Reagan. Ayolah ini baru satu jam mereka beranjak dari rumahnya, tapi Reagan sudah berani menakut-nakuti dirinya seperti ini.
CKIIITT.
Tubuh Aera yang tidak ada pertahanan tersentak ke depan secara tiba-tiba dan hampir saja wajahnya menbarak dashboard mobil di depannya, untung saja itu tidak terjadi karena sabuk pengaman yang terpasang dengan benar di tubuhnya.
GILA.
INI GILA.
Reagan baru saja hendak memutuskan tali kehidupannya secara tidak langsung.
“Kamu ingin membunuhku?” teriak Aera tepat di depan wajah Reagan.
“Kau yang memulainya duluan!”
Salah satu alis Aera terangkat, jelas dia tidak paham dengan jawaban yang di lontarkan oleh Reagan.Reagan kembali tersenyum singkat, meski setelah itu dia tidak berekspresi sama sekali.
Mata Aera mengerjap pelan beberapa kali. Dia paham akan maksud dari kata-kata Reagan. Secepat mungkin ia mengalihkan pandangannya dari Reagan.
“Yang bener aja,” batin Aera.
Tubuh Aera mendadak kaku seperti es batu saat Raegan mendaratkan tangannya di pundak kanannya. Perasaan takut mulai menghapirinya.“Ayolah! Aku tadi hanya main-main saja. Tapi kenapa dia menanggapinya dengan sangat serius seperti ini? Apa karena dia udah lama gak di belai sama cewek kali ya?” pikirnya sejenak.
“Jauhkan tanganmu dariku!” Aera menepis tangan Raegan dan menarik dirinya kearah pojok, upaya menjauhkan diri dari Raegan. Dia harus melakukannya, kerena dia tidak tahu orang seperti apa Raegan ini.
Andai saja orang yang ada di depannya saat ini adalah Dalva, wah betapa bahagianya dirinya bisa menikah dengan orang yang ia cintai dan bukan malah berakhir dengan menikahi kakak dari kekasihnya sendiri. Ini sangat konyol.
Raegan masih tidak bergerak sama sekali, menunjukkan wajah masamnya pada Aera. Meskipun begitu, untungnya setelah itu dia kembali fokus dengan mobilnya.
“Mulai sekarang kamu harus berhati-hati Ai dalam berbicara. Kalau tidak kamu tidak akan tahu apa yang bisa di lakukan pria mesum kurang belai yang ada di sampingmu ini!” peringatnya pada dirinya sendiri.
***
Tidak tahu sudah berapa lama Aera tertidur, begitu ia membuka matanya. Satu-satunya orang yang sedari tadi membuatnya gelisah kini sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Aera lalu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan dia baru menyadari kini mobil terparkir rapih di sebuah halaman luas. Keningnya mengernyit pelan, tentu saja karena dia tidak tahu saat ini dam lagi saat ia mendongakka kepalanya. Ia bisa melihat dengan jelas bangunan bertingkat yang berdiri kokoh di depannya. Aera berfikir sejenak, menangkap dan mencoba mengartikan semua yang ia lihat ini.
“Apa aku sudah sampai di rumahnya si Raegan itu ya? Tapi, kenapa dia membawaku ke apartemen mahal seperti ini?" meski tidak pernah menginjakkan kakinya di sini, tempat ini sudah sangat terkenal di kotanya. Selain bangunannya yang mewah, sewa tempat ini juga sangat mahal di bandingkan apartemen-apartemen lainnya yang memang hanya mampu di bayar oleh orang yang punya uang banyak.
"Sepertinya mama benar-benar mencarikanku suami yang kaya!" serunya pelan. Tidak tahu harus senang atau tidak sekarang. Jelas saja siapa yang tidak suka memiliki pendamping hidup yang memiliki banyak yang. Tapi, menikah secepat ini dan lagi dengan orang yang bahkan tidak pernah terlintas di pikirannya. Sungguh uang ataupun apapun itu, malah semakin membuat Aera merasa gelisah.
“Dan-“
“Sudah bangun ternyata!"
"Kau sudah pulang?" tanya Aera basa-basi saat mendati Reagan masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun, melewatinya yang kini tengah duduk santai di depan TV.Tak mendapat jawaban dari Reagan, Aera inisiatif untuk mengikutinya. Belakangan ini tugasnya sudah bertambah, yaitu menyiapkan air hangat untuk Reagan setiap pria itu pulang dari kerjanya."Kau mau kubuatkan sesuatu untuk makan malam?" tanya Aera lagi saat sudah berhadapan langsung dengan Reagan.Reagan menghela nafas kasar, sepertinya dia punya banyak masalah hari ini, lihatlah wajahnya yang tertekuk masam dan juga tampak sangat letih.Dan ya Aera! Sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya padanya. Atau kalau tidak pasti kau akan berakhir oleh repetannya yang sangat memekakkan telinga."Kau ingin menonton?"Aera sontak memutar tubuhnya yang hampir mencapai pintu kamar mandi. Matanya membola dengan sempurna, apakah ini ajakan kencan?Wah, Reagan
"Sepertinya konsentrasimu sedang terganggu ya?" tanya Aile, karena sedari tadi ia memanggil pria di sampingnya ini namun tak kunjung mendapatkan sahutan darinya. "Ya?" seperti tersadar, Dalva mmebawa buku miliknya lagi ke dala ruang matanya, berpura-pura membacanya tanpa suara. "Aku sedang bicara padamu, kenapa kau malah melihat ke situ, dasar tidak sopan sekali!" rutuk Aile seraya menarik buku bacaan milik Dalva. Karena mereka punya banyak waktu libur, jadi keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa libur mereka dengan membaca buku. Ya hitung-hitung untuk menambah ilmu sebelum mereka masuk kuliah bulan depan. "Ck, menganggu saja!" keluh Dalva, tampaknya tak suka dengan perlakuan Aile. Gadis itu mendengus pelan, dia tentunya tahu pria di sampingnya inu jelas-jelas tengah memikirkan sesuatu yang berat. Setidaknya jika Dalva mau, dirinya bersedia mendengar ceritanya. Dari dulu juga begitu bukan? Jika ada masalah antara Aera dan juga Dalva,
-Sepertinya moodmu sedang baik hari ini?-"Tau dari mana dia moodku sedang baik hari ini, dasar sok tau. Aera bercelutuk pelan, mendapati pesan dari Aiden. Sesaat setelahnya senyum kecil muncul dibibirnya.-Sok tau banget-Balasnya kemudian. Ia tunggu beberapa menitpun tak kunjung mendapat balasan dari Aiden, akhirnya Aera memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Reagan sudah pergi beberapa jam yang lalu, hubungan merekapun jadi membaik belakangan ini.Ia ayunkan kakinya, upaya menuju balkon kamarnya, angin sejuk langsung menerpa tubuh mungilnya. Aera membawa kedua tangannya ke atas pagar balkon yang menjadi pembatas kamarnya dan juga ruang kosong di depan sana.Tatapannya kini turun kebawah, lagi-lagi Aera tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika jatuh je bawah sana. Pasti sangat sakit, oh atau lebih tepatnya dia akan meregang nyawa saat itu juga."Mmmm tak ada hal bagus yang bisa aku lakukan saat ini," perlaha
Sepasang tungkai itu sampai lada depan pintu apartemen Aera, sedikit memberikan senyuman perpisahan dan juga lambaian tangan yang terpaksa, Aera akhirnya memijakan kakinya masuk ke dalam.Masih sama, terasa sepi, Reagan beluk juga pulang. Jika boleh jujur, Aera sedikit merindukan pria pemilik bahu lebar itu."Kenapa pikiranmu terus terdoktrin padanya sih Ra? Dasar menyebalkan sekali," rutuknya tak terima memukul kepalanya sendiri."Dia itu pria yang menyebalkan kau tahu? Egois dan hanya mementingkan diri sendiri, tidak tahu malu dan sangat kurang ajar!" umpatannya tak berhenti sampai di situ saja.Perhatiannya teralihkan sesaat ketika ponselnya bergetar, ada pesan masuk ke dalam sana. Meski malas melihatnya tapi pada akhirnya ia memeriksa pesan itu, dan benar saja meski itu tanpa keterangan nama di sana dia sudah bisa menebak itu dari siapa. Siapa lagi kalau bukan orang yang mengantarnya barusan.Aera dengan sangat terpaksa
"Bisakah kita berteman?" pertanyaan itu terlontar cepat dari bibir Aiden. Senyuman tipis turut terpatri di wajah mereka. Kini keduanya sudah keluar dari cafe dan berada memilih tempat yang lebih privacy lagi untuk berbincang, seperti di dalam mobil Aiden ini contohnya. Detik itu juga Aera menyesali untuk di antar oleh Aiden kembali ke apartemen. Mengharuskan dirinya kini berakhir menuju hubungan yag semakin dekat dengan Aiden. Susah cukup saja pikirannya menjadi sakit beberapa dan batinnya tertekan semenjak menikah dengan Reagan, tentu ia tak ingin menambah kesialan lagi bukan. "Teman?" gadis berparas cantik itu menoleh pada Aiden yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Tersirat jelas bahwa ia tak ingin berlarut-larut terlibat dengan pria di sampingnya ini. "Ya, kenapa tidak? Kau seharusnya merasa bangga karena aku sang "solois terkenal -Aiden" mau menawarkanmu pertemanan. Jarang-jarang aku bersikap baik seperti ini," j
"Mau kemana kalian pagi-pagi begini?" Aera tahu, pertemuan dirinya dengan kedua orang itu bukanlah kebetulan, pasti mereka sudah membuat janji untuk temuan. "Kami akan pergi untuk mendaftar ulang di kampu," jawab Aile. Aera mendengus kasar, jika mengingat pembicaraan mereka bertiga tadi. Sungguh merasa sangat iri bisa kembali belajar dan bertemu banyak orang, sedangkan dirinya hanya seperti orang bodoh yang tidak tahu harus bagaimana menghabiskan hari yang membosankan ini. Aera memilih satu tempat, si sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari taman kota, aneh memang pagi-pagi sudah ke cafe saja. Tapi mau bagaimana, dia juga tidak suka jika harus terkena paparan sinar matahari. Saat pikirannya masih teralihkan pada beberapa orang yang masuk ek dalam cafe, ponsel miliknya bergetar serta mengeluarkan nyanyian yang ia kenali sebagai nada dering ponselnya. Segera ia meraih ponselnya di dalam tas, kedua netranya membelalak tak