Share

6 - Siapa Olivia dan Ivan?

Terik matahari yang sangat terang benderang ini membuat seluruh manusia malas untuk keluar. Termasuk Olivia. Ia tidak berniat untuk berbelanja seperti biasanya. Hanya mendekam di dalam kandangnya saja.

Perutnya pun kini sudah menebarkan nada. Tanda bahwa ia merasakan lapar dan ingin segera diisi.

Olivia beranjak dari kasur dan menuju dapur.

Dilihatnya satu buah yang mencolok mata. Ia tertarik memakan buah tersebut.

“Livia!”

Denyut nadi Olivia seketika berhenti selama satu detik setelah mendengarkan teriakan tersebut.

“Kamu lagi hamil! Nggak boleh makan nanas!”

“Tapi—“

“Nggak ada tapi-tapian,” ucapnya pada Olivia. “Mbak Asti! Ini siapa yang suruh taruh nanas di sini?!”

Aulia meneriaki Asti sekarang.

“Ma! Aku tuh nggak hamil! Mana ada aku berhubungan sama laki-laki yang nggak aku kenal!? Pacaran aja aku juga ogah!”

Sudah dua minggu ini Olivia dianggap hamil oleh mamanya. Sejak Ivan mengatakan hal itu saat mencoba meminang Olivia.

Awalnya Olivia tak menggubris hal tersebut dan langsung mengusir Ivan dari rumahnya. Gila saja, pikirnya. Ada manusia tak diundang datang ke rumahnya dan tiba-tiba mengatakan bahwa Olivia mengandung anaknya.

“Pokoknya sekarang mama nggak mau tau. Sebelum perutmu membesar, kamu menikah. Mama yang siapin semuanya nanti. Kalau kamu nggak mau ikut, ya nanti mama sama Ivan aja,” geram Aulia.

Olivia memutar matanya malas. Melihat ke sekitar. Yang penting ia bisa menghindar dari tatapan kuntilanak mamanya ini. Seram!

“Nanti aku mau beli tespek, Ma! Aku buktiin kalau aku nggak hamil,” imbuhnya.

Lantas dia tak menghiraukan siapapun yang melihat dirinya dan Aulia bertengkar. Pokoknya yang bisa ia rasakan kali ini adalah lapar. Makan adalah nomor satu baginya saat ini.

Setelah mengisi perutnya yang kosong tadi. Olivia segera meminta tolong Asti untuk membelikan beberapa tespek untuknya.

“Nah, kan! Kalau gini mama nanti pasti bisa percaya sama aku,” ujarnya setelah mengambil beberapa sampel untuk tespeknya.

Olivia keluar dari kamar mandi dan membawa tiga sampel tespek itu. Wajahnya tersenyum tenang sebab ketiga tespek tersebut menunjukkan hasil negatif. Ia merasa percaya diri sebab ia merasa tak pernah melakukan apapun. Yakin! Masih gadis seutuhnya! Tidak ada yang robek sama sekali! Begitu batinnya.

“Nih, Ma?”

Olivia menyodorkan ketiga benda putih tipis itu pada Aulia—mamanya yang kini sedang tegang itu.

Aulia mendesah. Tampaknya bukan desahan lega karena anaknya tidak hamil. Melainkan desahan kecewa bahwa ia tak segera menimang cucu yang akan mengamankan perusahaan keluarga ini.

Padahal sedikit lagi ia bisa menyuruh Olivia untuk menikah dengan cara ini.

Aulia tahu bahwa Olivia masih berumur 22 tahun. Namun Olivia juga tak ingin melanjutkan kuliah. Mau jadi apa dian anti kalau hanya bermalas-malasan di rumah?

***

“Pa?”

Ucapan itu membuat seorang pria yang sedang sibuk memilah-milah dokumen terbangun.

“Mama kok di sini?”

“Iya, Pa. Soalnya kalau nungguin Papa pulang nanti lama. Papa langsung mandi terus tidur. Nggak ada waktu ngobrol,” ucap Aulia pada Billy—suaminya.

Aulia mengunjungi suaminya di kantor.

“Pa?”

“Iya, Ma. Apa? Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Papa tuh baru sibuk, lhoh?”

“Pa …. Papa beneran mau kasih perusahaan ini ke Rio?”

Billy melepaskan kacamatanya perlahan. Menatap istrinya yang sepertinya sedang memelas di depan meja kerjanya.

“Ya siapa lagi? Rio sudah cukup umur juga. Cucu pertama dan laki-laki di keluarga besar kita. Papa berencana untuk bagi profit untuk pensiun papa. Istilahnya papa adalah stakeholder perusahaan ini,” papar Billy.

Perbincangan ini membuatnya mengabaikan dokumen-dokumen yang harus ia cek tadi. Terkait flow perusahaan pengantar paket yang termasuk besar di Indonesia ini.

“Kenapa nggak Olivia aja yang mengurus perusahaan ini, Pa?” rengek Aulia.

“Olivia belum dewasa. Kuliah saja tidak mau. Menikah juga tidak mau. Mama tau sendiri. Keluarga besar kita kayak gimana?! Anak pertama laki-lakilah yang mewarisi bisnis keluarga dan harus keturunan tionghoa.”

“Yaa ini mama juga bukan chinese!?”

“Mama kan istri papa!”

Aulia terkekeh. “Ya juga, sih.”

Sudah sekian kali Aulia mencoba untuk menggagalkan rencana suaminya ini. Ia tak rela apabila perusahaan ini diambil alih oleh keponakannya dan bukan anaknya sendiri.

Aulia pun pulang dengan harapan kosong. Konsentrasinya hancur selama di jalan. Semua ide sudah ia kerahkan namun tetap saja tak ada yang berhasil. Ia harus berusaha lebih keras lagi. Entah bagaimana caranya agar Olivia bisa mewarisi perusahaan ini. Bagaimanapun Olivia tetap darah daginya. Ia harus mementingkan keberlangsungan hidup anaknya ini.

***

“Kamu mau menikahi gadis itu!?” desak Li Hua.

Hari secerah ini tiba-tiba harus didatangkan petir yang menggelegar. Iya, menggelegar rumah keluarga Chen, Li Hua, dan Ivan.

“Nggak! Nggak bisa! Mama nggak setuju!”

“Ma—“

Li Hua melanjutkan ucapannya. “Mama sudah tau siapa gadis itu!”

“Maksudnya?” tanya Ivan heran.

Sungguh Ivan tak paham apa yang dimaksud mamanya ini.

“Itu, kan!? Anaknya Koh Billy?!”

“Siapa, Ma!? Yang jelas dong kalau ngasih tau,”

Li Hua terlihat mengomel dengan wajah memerah ala emak-emak kulit putih.

“Itu! Perusahaan rivalnya papamu!”

Sama sekali Ivan tidak mengerti hal ini. Pikirannya masih buyar mencerna kalimat yang diutarakan mamanya.

Ivan masih meminta penjelasan. “Pelan-pelan, Ma, jelasinnya?”

Li Hua mendesah sabar. Mencoba menahan emosinya yang mencuat. “Olivia itu anaknya Koh Billy. Koh Billy itu direkturnya Sky Express!”

Ivan kemudian mengusap wajahnya. “Astaga, aku nggak tau, Ma!”

“Dah! Pokoknya nggak boleh!” larang Li Hua pada anaknya.

Ivan tak pandai berdebat kali ini. Karena hal ini sudah membuat mamanya muak. Apalagi sebenarnya Ivan juga tak terlalu mengenal Olivia. Jadi untuk kali ia cukupkan untuk menelan informasi yang diberikan oleh mamanya.

Kemudian mereka berpisah dan kembali ke kamar masing-masing.

Namun langkah Ivan hanya pelan. Sepertinya pria ini sedang mengasah otaknya.

“Sky Express? Sky Express?!” Ivan mengulang kembali nama perusahaan tersebut berkali-kali.

Hingga akhirnya dia berhenti di depan lemari kamarnya. Ia teringat akan sesuatu yang selalu mengganggunya selama beberapa bulan ini. Sepertinya ini bukan pertama kali ia mendengar nama itu.

Bukan! Bukan karena nama perusahaan logistik itu memang terkenal seperti perusahaan keluarganya. Namun ada hal lain yang mengingatkannya akan sesuatu.

Tak lama, Ivan mendapati sebuah map transparan yang berisi beberapa lembar dokumen. Map yang ada di lemarinya untuk menyimpan hal-hal penting miliknya.

Dibukalah map itu.

Sudah ada sebuah lembaran putih di genggaman tangannya. Ia pun membaca isi dalam lembaran putih itu. Kemudian ia teringat akan ucapan seseorang yang beberapa tahun silam dikenalnya.

Setelah membaca isi dalam kertas tersebut, ia memutuskan untuk mengunjungi seseorang.

“Hmm Sky Express,” ucapnya lagi dalam hati. Nama itu selalu terngiang dalam kepalanya.

Ivan bergegas menyalakan mobil dan melesat jauh. Tanpa berpamitan sama sekali dengan orang rumah.

Saat dalam perjalanan, jemarinya selalu mengetuk setir mobil mewah itu dan sambil berpikir.

“Jadi anak kecil yang dimaksud itu ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status