Share

7 - Wasiat

Sejujurnya Ivan tak bersungguh-sungguh dalam perkataannya kemarin saat berdialog dengan mamanya. Tentang rencananya menikahi Olivia. Yang benar saja, Ivan tak mengenal Olivia. Jadi ia hanya bermaksud menggertak mamanya dan membatalkan perjodohannya dengan Bella.

Namun setelah mengetahui secercah celoteh dari seseorang, Ivan kembali mencari Olivia setelah satu bulan mereka tak bertemu kembali. Sebulan setelah Ivan secara tak diundang datang ke rumah Olivia. Mengatakan bahwa dirinya menghamili wanita muda tersebut.

Pasalnya saat Ivan pergi setelah berdebat dengan mamanya, ia bertemu dengan seseorang yang dianggapnya sangat berharga.

“Waktu itu … saya ingat sekejap kejadiannya.”

Ivan memasang wajah antusias. Siap mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari mulut tersebut.

“Saat itu opa kamu berniat membelikan es krim buat kamu. Kamu masih kecil sekali. Mungkin kalau sekarang tidak ingat kejadiannya. Yang oma ingat … kita disenggol oleh kendaraan. Entah bagaimana pandangan oma sangat blur saat itu. Yang oma ingat lagi adalah ketika oma sudah tidak pegang tangan kamu lagi. Oma mau bangun dan cari kamu sama opa. Tapi oma nggak kuat buat bangun.”

“Iya, Oma. Lanjut ya?”

“Kalau opa juga begitu katanya. Yang diingat sama opa ya cuma percikan-percikan yang ditulis di surat yang dikasih ke kamu itu. Memangnya kenapa, Van?” tanya Mei—omanya Ivan.

Lalu Ivan tersenyum kecil. “Nggak, Oma. Ivan tadi debat sama mama. Terus seketika mama menyebut dua kata yang bikin aku teringat sama suratnya opa.”

“Apa?”

“Sky Express.”

Mei mengerutkan kening. “Lho? Iya! Itu yang dilihat sama opamu! Mobil pengantar paket itu, kan!?”

Menjadi semakin terpikirkan oleh surat tersebut. Ivan juga ikut mengerutkan kening.

“Kenapa, Van? Kamu menemukan gadis kecil itu? Yang dilihat opa?”

“Belum, Oma. Tapi Ivan punya teman. Anaknya yang punya Sky Express itu. Mungkin Ivan bisa tanya ke dia,” ujar Ivan sembari mengelus bekas lukanya di dahi. Yang ia dapatkan sejak kecil.

“Opamu belum sempat mencari seseorang yang sudah membawa kita ke rumah sakit waktu itu. Berapa bulan setelahnya opa kamu meninggalkan kita karena sakitnya.”

“Iya, Oma.”

“Kalau dari cerita opa waktu itu supirnya bawa anak kecil itu, kok!? Terus opa diangkut ambulans. Oma masih baik-baik saja hanya lemas dan menyender di mobil pengantar paket itu sama kamu. Tangan sama dahimu kalau nggak salah ya terluka merah-merah begitu! Oma dah nggak bisa lihat dan mikir keadaan sekitar. Nggak sempat tanya nama sopir itu juga!

“Soalnya habis dirawat suster, oma cari sopirnya itu sudah nggak ada! Lalu … setelah opa meninggal beberapa bulan kemudian, oma ya sudah berhenti mencari sopir dan anaknya itu. Gimana, Van?”

Ivan mengangguk pada orang yang disayangnya itu. “Nanti Ivan tanyakan ke teman Ivan itu, ya?! Supaya opa tenang di surga.”

“Ya, Van. Kalau nggak salah gadis itu pakai seragam sekolah. Roknya hijau, rambutnya dikuncir dua, punya gingsul, kok?”

“Oma yakin?”

Mei terkekeh. “Wah, oma agak lupa! Kan saat itu samar-samar lihatnya. Dia duduk di sampingmu, kok!”

Ivan memegangi pelipisnya. “Ivan nggak ingat, Oma?! Ya sudah nanti coba tanya ke teman Ivan siapa tau bisa ketemu.”

“Ya, boleh. Kalau misalnya tidak ketemu ya tidak apa. Oma nggak maksa harus begini begitu. Lagipula kejadiannya sudah lama, kan!?”

“Nggak! Ivan mau mengabulkan keinginan opa,” imbuh Ivan tegas. “Ivan sayang sama opa dan oma. Sejak kecil yang merawat aku hanya opa dan oma. Papa sama mama sukanya sibuk sendiri,” papar Ivan.

Perkataan yang sepertinya tersirat dengan luka batin. Membuat Mei tersenyum pahit.

“Kamu sudah besar kok masih kesal dengan orang tua kamu?!”

“Mereka taunya cari uang. Nggak ada pengertiannya sama Ivan. Giliran Ivan besar seperti ini. Malah dijodohin sama cewek yang Ivan nggak suka.”

“Lho?! Bukannya isi surat opa begitu?!”

“Ya … beda pokoknya! Kalau opa yang minta, Ivan mau mengabulkan!”

Mei terkekeh. Cucunya ini masih seperti anak kecil setiap kali bertemu dengannya. Bagaimana nanti kalau dirinya sudah menyusul suaminya di surga? Pasti nanti Ivan sangat terpukul.

***

“Heh! Kamu di rumah, nggak?”

“Iya.”

“Oke. Otw!”

Olivia geram. “Ngapain nih manusia pucat dateng ke sini!?” batinnya. Padahal kulitnya sendiri juga pucat. Tapi sukanya mengumpat ke orang lain!

Selang lima belas menit menunggu, kini Olivia duduk di hadapan Ivan. Mereka tak berbincang lagi. Saling berdiam diri dan menunggu siapa pemenang dari ajang bisu ini.

Si b*bi! Ke sini cuma mau diem-dieman! Nggak malu apa udah bikin rumor aku hamil di rumah ini!?

Entah mengapa kini setiap kali bertemu Olivia, segala ucapan dan pertanyaan yang ingin ia utarakan selalu tidak bisa ia ucapkan.

“Kenapa?”

Ya. Ivan merasa menang sebab Olivia yang pertama kali membuka mulut.

“Mau tanya,” kata Ivan sembari melirik ke beberapa sudut ruangan besar ini.

Sepertinya sepi. Begitu pikir Ivan. Mungkin semua ART sedang berada di belakang.

“Ya tanya aja. Kenapa jadi muter-muter di ruang tamu?!” decit Olivia. Memperhatikan Ivan berjalan kesana-kemari di ruangan besar ini.

“Nggak jadi,” balas Ivan. Seiring tangannya mulai mengayun ke sebuah pigura kecil yang berada di nakas ruang tamu.

Matanya semakin sipit saja ketika melihat sebuah foto lawas. Dirinya semakin terbenam di foto tersebut.

Cekrek!

“Heh? Kok beraninya ngambil foto orang? Ijin dulu!” Olivia berteriak kesal sebab pria itu dengan bisu mengambil foto di pigura tersebut.

“Kamu waktu kecil?” tanya Ivan. Sejak tadi ia berbicara minim kepada Olivia.

“Hm!” jawab Olivia dengan anggukan datar.

Ivan memasukkan ponselnya kembali dan bergegas pulang. Sebelum ia membuka pintu mobil mewahnya itu, ia menghentikan gerakannya.

“Mulai sekarang panggil aku ‘Koko.’ Kamu lebih muda jauh daripada aku,” suruhnya dingin.

“Eh?”

Olivia hanya membulatkan matanya heran. Bola matanya melirik ke seluruh arah mata angin. Kemudian berhenti memandangi punggung manusia menyebalkan itu.

Ivan segera melajukan mobilnya setelah menutup pintu tersebut.

Tak terasa waktu sudah berputar, senja pun tiba. Meredupkan nyala terang yang menyinari kota besar ini.

Olivia seketika mendapatkan pesan dari pria itu lagi.

“Bersiap saja.”

Apa maksudnya? Olivia tak paham lagi dengan pola pikir pria ini. Bermain teka-teki yang tak bisa ia ikuti dengan mudah. Mengapa kalau bicara sukanya yang singkat? Apakah tidak bisa bicara panjang lebar sehingga tidak memunculkan tanda tanya?

Olivia mendesah. Namun tak diambil pikir pesan dari orang tersebut. Ia kembali memikirkan konten Tik-tok yang mau dibuatnya.

Drrrt!

Hampir saja ponsel baru Olivia rusak lagi. Kaget dengan panggilan mendadak tersebut dan ingin melemparkan ponselnya.

“Apa, Ma?”

“Tadi Ivan ke sana, ya!?”

“Iya. Kenapa?”

“Tuh, kan! Nggak mungkin kalau kalian nggak ada apa-apa! Pasti kalian berpacaran diam-diam, kan!?”

Olivia meredupkan pandangannya. “Nggak, Ma. Olivia jomblo eksklusif!”

Setelahnya panggilan itu berakhir. Namun akal Aulia tidak pernah habis.

Ia berusaha agar bagaimanapun caranya Olivia tetap menjadi pewaris sah perusahaan ini.

“Ivan?”panggil Aulia melalui saluran telepon.

“Ya, Tante?”

“Besok bisa ketemu?”

Wah, rupanya Aulia dan Ivan sudah bertukar nomor telepon! Apa yang akan dilakukan Aulia selanjutnya, ya!?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status