Kakinya melangkah santai di koridor sekolah, tidak dengan air mukanya yang menampilkan ekspresi sebaliknya. Amat datar dan tidak mempedulikan orang-orang di sekitarnya, termasuk perbincangan tak berarti yang terkesan mengolok-olok orang terendah di mata mereka.
Sempurna, bisa dikatakan mereka semua lebih mementingkan kesempurnaan. Seingatnya, sekolah ini tidak memiliki aturan memperlihatkan seberapa sempurnanya diri mereka hingga gaya hidup.
Sepertinya, para siswanya yang membuat aturan itu sendiri. Menggunakan kekuasaan untuk membuat guru terbungkam, meski sebagian tetap ada yang menolak dan tidak peduli ancaman orang yang menjunjung tinggi kekuasaan sekaligus kesempurnaan.
Terasa seperti dalam arena, memperebutkan siapa wewenang sesungguhnya di sekolah ini.
"Maniak sempurna kah?"
Siswa laki-laki berdecih, terlihat cermin mata bulat selalu membingkai wajahnya, tidak ada yang tahu kalau kacamata yang dipakainya non minus. Orang awam atau geli dengan penampilannya, terlebih lagi tambahan kacamata bulat nan besar. Menurut mereka, menganggap apa bagusnya.
Dirinya tidak, justru sangat menikmati. Terkadang, sederhana itu lebih menyenangkan dibandingkan berkecukupan seperti mereka.
****
Terus melangkah, hingga ada sesuatu yang membuatnya—kesal. Pasalnya, teriakan guna memanggilnya terdengar begitu kencang. Terpaksa menghentikan langkah kakinya.
"Raska!"
Yap, siswa laki-laki tadi bernama Raska. Hanya melirik datar, selebihnya kembali membuang muka dan melangkah menuju kelas. Sedangkan reaksi si pemanggil—siswa perempuan berpenampilan ehm mempesona hingga dikagumi berbagai kaum adam, berbanding terbalik dengan siswa laki-laki yang dipanggilnya—Raska.
Mulai menunjukkan ekspresi kekesalan. Kemudian mempercepat langkah kakinya, hingga berhasil menyamakan Raska. Meski tahu tetap diabaikan, bisa dikatakan bersikeras mendekati Raska. Dikenal sebagai siswa paling biasa—lebih parah—rendahan menurut sebagian siswa sempurna yang bersekolah di sana. Pengecualian untuk segelintir siswa biasa lainnya, dan beberapa guru yang menolak aturan status.
Jangan heran, bila ada siswa biasa masuk sekolah ini akan bernasib seperti Raska. Kesehariannya, selalu panas mendengar gunjingan merendahkan yang lebih parah adalah korban bully.
Orang lain heran, kenapa satu siswa perempuan termasuk istilah primadona sekolah. Selalu bersikeras menempeli Raska, ada imbasnya juga. Raska semakin mendapat ejekan.
Raska berdecih, kala jalannya dihalangi dengan sengaja.
"Kau pasti bosan atau lelah 'kan? Mendengar gunjingan mereka-mereka itu?" Siswa perempuan yang dikatakan sebagai primadona, tidak lain Almeira. "Bagaimana kalau kau menerima penawaranku?"
Raska enggan merespon apapun, sebenarnya amat jengkel didekati Almeira yang menurutnya amat pemaksa dan gatal. Mudah menganggap begitu, seringkali tanpa sengaja melihatnya dekat dengan banyak lelaki di sekolah.
"Raska!" panggil Almeira lagi, mulai kesal.
"Maaf sekali, menurutku tidak!" pungkas Raska, kemudian berlalu begitu saja.
Almeira di ambang batas kesabaran, kini benar-benar kesal. Wajahnya terlihat amat memerah efek emosi, ditolak oleh lelaki biasa dan digunjing amat rendah oleh sebagian siswa di sekolah.
Almeira pergi ke tempat lain sembari menghentakkan kaki dengan kasar, masih emosi karena penolakan berkali-kali yang dilakukan Raska terhadapnya.
****
Raska menghela napas sejenak, tepatnya lega terhindar dari gangguan. Dengan tanggap bergeser, guna merenggangkan jarak dari sekumpulan siswa primadona lainnya, kini dari kau adam. Baik siswa senior atau junior.
"Hee, culun rendahan!" cibirnya dengan sengaja.
Tidak lelah mengganggu—eh?
Sudah berusaha menghindar, tetap saja diganggu. Terbukti, mulai mengelilingi macam lalat. Itu yang menurut Raska, bila dikatakan langsung. Yakin, mereka akan semakin panas dan melampiaskan emosi padanya.
"Culun sepertimu mencoba bersikap cool kah?" sahut Afka lagi, sebelumnya mencibir. "Nggak pantas!" Bahkan tidak segan melayangkan tinjuan keras, setelahnya merampas cermin mata Raska dan menghancurkannya. Menganggap kalau Raska, benar-benar rabun. Setelahnya, pergi dengan antek-anteknya.
Raska tertunduk bisa dibilang sengaja, mengelap sudut bibirnya yang robek dan mengeluarkan sedikit darah dengan lengan. Mengabaikan cermin mata yang retak diinjak oleh Afka.
Gelagatnya memang menunjukan menerima perlakuan bully, sebenarnya sudah amat jengkel. Tetapi, kalau dipikirkan lebih lanjut. Tidak ada untungnya membalas, terlebih lagi malas bila berurusan dengan mereka yang pastinya akan menggunakan kekuasaan dari orang tuanya.
Raska kembali berdecih, melangkah cepat menuju kelas. Melirik sejenak ke arah satu siswa senior melintas, manik hitam yang kini tidak terbingkai kacamata mulai menyorot amat dingin, meski tertunduk masih bisa dilihat amat jelas oleh orang di sekitarnya.
Sampai di kelas, Raska duduk terdiam kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kacamata bulat lain, seakan tahu akan selalu hancur—ada untungnya mengoleksi. Benar-benar terbingkai lagi. Di satu sisi lega, karena kondisi kelas amat sepi. Ah tidak, karena masih ada satu siswa yang melamun. Raska tidak peduli, yang penting tidak berbuat bising.
Lain halnya dengan siswa yang dimaksud Raska, lamunannya buyar. Kini mulai melirik diam-diam, atau mungkin lamunannya telah tergantikan. Tadi ke luar jendela kelas, kini tertuju pada siswa terkenal rendah—menurut mereka. Sedangkan menurutnya tidak.
Avina, sembari menelungkupkan kepala di kedua tangan yang sengaja dilipat menyilang di atas meja, kedua bola mata indahnya terus fokus pada Raska. Bisa dikatakan, satu siswa primadona seperti Almeira.
Almeira terkenal mudah dan suka sekali mendapatkan hati pria yang diincar—pengecualian untuk Raska. Berbeda dengan Avina, terkenal sifat kalemnya. Meski dikagumi banyak lelaki dan acap kali mendapatkan pernyataan atau ajakan dari sebagian lelaki di sekolah. Selalu menolak, terkadang sengaja memilih menjauhkan diri.
****
Raska berdecih, memang mengabaikan sekitar. Akan tetapi peka sekali siapa saja yang mencuri pandang ke arahnya. Risi, itu yang terus diraskan Raska. Menurutnya, kurang kerjaan menatap orang. Terlebih lagi sampai mengekor dan berusaha menempel. Sepertinya, masih kesal dengan kelakuan Almeira.
Sudah terhitung seminggu mengatakan hal sama—tepatnya pernyataan yang terkesan paksaan. Perasaan tidak pernah menunjukan sisi bagusnya terlebih lagi sempurna, kenapa masih ada segelintir siswa—mencoba mendekat.
Lalu mendongak saat Avina berdiri di sebelahnya, mulai menatap lekat. Dengan sengaja, menangkup wajahnya dan menyentuh pelan sudut bibirnya. Menepis pelan, menelungkupkan kepalanya di atas meja. Avina malah sengaja menarik bangku dan duduk di samping Raska.
Satu hal yang amat tidak diduga oleh siapa pun, Avina terlihat lebih sabar dibanding Almeira. Bahkan mudah sekali tetap berada di dekat Raska, hampir setiap harinya, yang lain melihat Avina bersama Raska.
Meski bernasib sama seperti Almeira, tetapi tujuannya berbeda. Sebagai teman akrab, atau mungkin bisa lebih? Itu hanya Avina yang tahu. Raska, tentu tidak. Pada dasarnya, tidak terlalu mempedulikan siapa pun yang mendekat. Bahkan mencari tahu maksudnya.
"Heran." Bahkan menelungkupkan kepalanya juga di atas meja.
Raska melirik, bisa dikatakan sengaja melakukan kontak mata langsung dengan Avina.
"Heran, karena kau selalu diam kalo digunjing dan bully."
"Sama," timpal Raska.
Avina menaikkan satu alisnya, juga tidak percaya akan direspon oleh Raska.
"Sama herannya, tapi beda dikit. Kau selalu saja bertanya hal sama."
Avina bukannya kesal, melainkan menatap usil. "Tumben menjawab—eh?"
Manik hitam Raska kembali menyorot datar, kemudian membuang muka. Meski begitu, tidak ada niat atau memang malas mengusir. Terlebih lagi, mulai merasa ada yang mengelus dan sesekali menyisir lembut kepalanya.
Avina yang melakukannya.
Istirahat telah usai, lambat laun siswa mulai memasuki kelas masing-masing, sama halnya dengan Avina. Sudah berada di tempat duduk yang sebenarnya, berjarak satu bangku dengan Raska. Tidak lupa, mengembalikan bangku yang sempat ditarik hingga tepat di posisi Raska.Raska sendiri, sudah menegakkan tubuhnya. Kali ini sedikit bersandar, matanya terus tertuju pada luar jendela kelas. Hingga teralih ke jam dinding, baru ingatpart timedimulai pukul tiga sore, sedangkan sekolah usai pukul setengah tiga.Hampir saja, tadi ingin langsung pulang ke kos-kosan kecil dan mengurung diri sebelum dirusuh anak panti. Yap, kebetulan kos yang disewa berdekatan dengan panti asuhan juga restoran tempat bekerjanya.Terkadang heran, kalau libur selalu mengurung diri atau pergi ke tempat favoritnya sendirian. Itu tanpa diketahui siapa pun, pengecualian ibu kos. Yakin, kalau anak panti iseng bertanya hari di mana dirinya akan diam di kos-kosan.Seketika buyar
Raska masih terlihat berkeliaran, padahal waktu sudah menunjukan pukul satu. Hawa semakin dingin, tetap enggan kembali ke kos-kosan kecil. Cermin mata yang selalu membingkai kini terlepas—tepatnya sengaja.Tudung dari jaket hitam yang melekat terbuka, lagi pun suasana amat sepi dan sunyi. Raska bisa bebas, jujur risi bila ada di kerumunan orang. Ditambah lagi, banyak sekali gunjingan yang terlontar padanya.Seakan mereka lebih baik, karena memiliki status tertinggi.
Pukul sepuluh malam, Avina terlihat mengendap-endap keluar dari kamar. Bukan bermaksud kabur, melainkan sedang tidak ingin berpapasan dengan Aldian. Memang dirinya juga salah karena pulang larut, di satu sisi karena Avina malas berseteru. Terlebih lagi, bila sifat keras kepala Aldian menguasai.Seketika lega, karena sudah sepi. Pastinya sudah beristirahat, Avina selalu saja terbangun malam. Padahal tidak mengidap insomnia akut, cara jitu agar bisa tertidur lagi. Makan camilan sebentar, pastinya akan bisa tidur."Hm, hm, hm," gumam Avina, masih asik dengan camilan. Bahkan, kedua kakinya digerak-gerakan. Benar-benar menikmati kesendiriannya.Tidak disangka, Aldian akan terbangun juga. Terbukti, berada di dapur. Anehnya, hanya diam. Biasanya, setiap kali melihat dirinya selalu melontarkan celotehan apapun—berujung permintaan yang terkesan memaksa.Avina meminum habis air mineral dalam botol, kemudian be
Avina terlihat duduk diam di balkon kamar, seperti inilah kegiatannya di rumah. Terlebih lagi, kalau sudah ada Aldian dan kakaknya pulang dan seharian di rumah. Tidak terlalu dekat, faktor dari kehidupan yang dijalani. Selalu menuntutnya untuk menjadi yang sempurna. Keluar kamar kalau memang harus, itu harus tetap bersikap seolah baik-baik saja.Lagi pun yang sering menjadi teman bicara, Avera saja. Selebihnya diam di kamar, memang bisa saja bosan. Tetapi, lebih baik seperti ini dibanding bertemu atau berbincang kecil dengan baik-baik dalam sekejap berganti menjadi sebuah perseteruan.Avina
Sepertinya, ketenangan yang selama ini diimpikan Raska. Bahkan, berhasil dirasakan cukup lama. Memang sudah waktunya, berakhir. Bukan berarti, Raska tidak bisa mendapatkannya lagi. Hanya saja, Raska dengan terpaksa harus bertemu dengan orang sudah tidak ingin dilihatnya lagi.Di penghujung kegiatan sekolah, kala itu Raska sibuk merapikan buku-buku dan ingin cepat pulang. Kebetulan hari libur kerja, tetapi dibatalkan saat mendapatkan pesan singkat dari Zian. Diperintahkan langsung dari manajer untuk memberitahunya, liburpart timebukan hari ini, melainkan diganti esok.Ra
Raska melangkah jauh dari restoran milik Andreas, raut wajahnya penuh kekesalan. Muak karena Rendra terus mengatakan hal yang amat tidak ingin didengar. Meskipun, semuanya kebenaran. Raska sejak awal, sudah melepaskan diri dengan sengaja dari mereka, otomatis kehidupannya bukan lagi sama. Melainkan menyamarkan identitasnya menjadi anak yatim, memang sebelumnya Raska tinggal di panti asuhan. Itu sebabnya, bisa mengubah identitasnya.Tangannya yang sedari tadi terkepal amat erat, kini memerah dan lecet. Raska meluapkan kekesalannya dengan meninju keras pohon yang tumbuh dan menjulang tinggi di pinggir jalan. Kekesalannya semakin menjadi, setelah bertemu dengan orang yang paling tidak inginkan.
Sepanjang lorong hingga koridor kelas, entah sudah berapa kali dengkusan kekesalan terdengar. Ya, Raska risi sekaligus muak. Berita yang menurutnya amat tidak terlalu penting, menyebar begitu cepat.Pastinya, kelakuan anak pebisnis entah siapa. Intinya, kebetulan ikut ke pesta yang dibuat oleh Rendra di restoran milik Andreas. Di satu sisi, Raska memikirkan apa yang akan dijelaskan. Saat diinterogasi Andreas. Usai sekolah, diminta menghadap.Memuakkan! Kenapa harus terbongkar?
Raska menyandarkan punggung tegapnya pada dahan pohon besar di halaman belakang sekolah, sesekali mendengkus kesal juga mengusap kasar wajahnya.Masih tidak terima, kalau identitas aslinya akan kembali disandang. Meskipun, hanya identitas bukan kehidupan. Ya, Raska tidak mengharapkannya.Raska berdecih. "Berharap cepat usai, sepertinya butuh waktu lama ya?" Tangannya mengacak-acak kasar surainya. "Tidak ada yang paham, kalau aku lelah. Keinginan kecil, hanya satu ... hidup biasa dan tenang. Itu saja, kenapa terus dipersulit!"Raska berteriak, kembali mengacak-acak sekaligus menjambak kasar surainya. Napasnya memburu, benar-benar emosi. Setelahnya, terpejam. Membiarkan embusan angin menerpa, setidaknya sebelum masalah besar menyerang. Raska ingin istirahat sejenak, meskipun ketenangan yang didapat begitu singkat.Cermin mata bulat, yang biasa membingkai wajah kini terlepas. Bahkan, dibiarkan tergeletak di rerumputan liar.****