Sepanjang lorong hingga koridor kelas, entah sudah berapa kali dengkusan kekesalan terdengar. Ya, Raska risi sekaligus muak. Berita yang menurutnya amat tidak terlalu penting, menyebar begitu cepat.
Pastinya, kelakuan anak pebisnis entah siapa. Intinya, kebetulan ikut ke pesta yang dibuat oleh Rendra di restoran milik Andreas. Di satu sisi, Raska memikirkan apa yang akan dijelaskan. Saat diinterogasi Andreas. Usai sekolah, diminta menghadap.
Memuakkan! Kenapa harus terbongkar?
Raska menyandarkan punggung tegapnya pada dahan pohon besar di halaman belakang sekolah, sesekali mendengkus kesal juga mengusap kasar wajahnya.Masih tidak terima, kalau identitas aslinya akan kembali disandang. Meskipun, hanya identitas bukan kehidupan. Ya, Raska tidak mengharapkannya.Raska berdecih. "Berharap cepat usai, sepertinya butuh waktu lama ya?" Tangannya mengacak-acak kasar surainya. "Tidak ada yang paham, kalau aku lelah. Keinginan kecil, hanya satu ... hidup biasa dan tenang. Itu saja, kenapa terus dipersulit!"Raska berteriak, kembali mengacak-acak sekaligus menjambak kasar surainya. Napasnya memburu, benar-benar emosi. Setelahnya, terpejam. Membiarkan embusan angin menerpa, setidaknya sebelum masalah besar menyerang. Raska ingin istirahat sejenak, meskipun ketenangan yang didapat begitu singkat.Cermin mata bulat, yang biasa membingkai wajah kini terlepas. Bahkan, dibiarkan tergeletak di rerumputan liar.****
Raska benar-benar memperlihatkan sisi kekanakannya, mungkin efek keseringan berbaur dengan anak panti atau anak kecil yang tinggal di sekitaran kos kecil. Ekspresi yang Raska perlihatkan, tulus bukan karena terpaksa.Kalau dipikir-pikir, Raska sudah lama tidak bebas berekspresi. Semenjak, mengalami hal mengerikan. Berakhir, melarikan diri—melepaskan semuanya.Raska bertanding basket, lebih dominan anak-anak. Di sana sepakat menyediakan lapangan umum, lumayan besar. Bahkan, ada fasilitas sekaligus tempat penyimpanan berbagai macam peralatan olahraga.Raska mengoper bola ke satu anak panti, ya lebih suka menjadipointguard. Tepatnya sih, membiarkan anak-anak yang mencetak angka.Lumayan lama bermain, sekaligus memanfaatkan waktu luang yang amat menyenangkan bagi Raska. Entah kenapa, merasa ini menjadi hal terakhir. Raska mendengkus, sesekali mengusap kasar wajahnya."Kakak kenapa?" Satu anak panti heran, sembari memainkan bo
Dafian melirik sejenak kemudian mendengkus, tidak biasanya David datang terlambat. Lebih lagi tahu, acara rapat cukup penting—meskipun rapat kecil, bisa dibilang rekan tertentu saja. Semakin heran, saat David terpaku sejenak di ambang pintu. Detik berikutnya, baru melangkah dan duduk di sebelahnya.Entah kenapa, Dafian merasa kalau David baru saja melakukan pekerjaan berat dan amat memusingkan. Buktinya, sudah berapa kali terdengar helaan napas panjang nan berat.“Ada apa?” Pada akhirnya, Dafian bertanya spontan.David tersadar dari keterdiamannya. “Ah tid—”Suara bantingan amat kasar, membuat David menghentikan ucapannya. Bukan itu saja, rekan kerja yang diundang ikutan menoleh. Karena, si pelaku pendobrakan pintu adalah anak yang dibicarakan Rendra saat di pesta. Lebih mengejutkan, dalam keadaan mengkhawatirkan—penuh luka dan lumuran darah. Yang memperparah, masih ada satu besi yang dibiarkan tertancap di satu a
Setelah kejadian Raska menampakkan diri untuk meluapkan emosi—intinya semua perasaan sekaligus masalah yang dipendam sendiri meledak begitu saja. Bersamaan, terkuaknya sifat iblis nan licik David. Sejak dulu, berusaha mencari celah untuk membunuh Raska, hingga sekarang setelah bertemu lagi—David melakukannya. Ariska berhasil memaksa David untuk mengaku hingga menyerahkan diri. Tepat setelah diobati lukanya dan memulihkan diri sejenak, David dibawa polisi.Walau begitu, Ariska masih muak karena ulah David Raska memilih kabur dan hidup sendiri, seakan benar yatim piatu. Sekarang, keberadaannya lenyap padahal masih harus pemulihan luka. Lebih lagi, soal luka lama yang nyatanya begitu fatal dan itu karena David.Ariska berkali-kali menghela napas gusar, Risky tidak menemukan keberadaan Raska. “Kau ke mana sih?” Sangat khawatir, dan takut Raska benar-benar pergi. Lalu melirik ke arah Dafian, yang masih saja ,mementingkan ego. Jelas-jelas, sudah terku
Entah sudah berapa kali helaan napas kasar diselingi dengkusan kekesalan terdengar, pandangannya selalu terpaku ke luar jendela kelas—melamun. Avina bosan, kalau ada Raska pasti bisa mengganggu sekaligus mengkode agar peka. Semenjak keberadaannya lenyap, keseharian Avina di sekolah hanya berdiam diri di kelas. Kerinduannya belum bisa diluapkan, karena yang dirindukan belum ada tanda untuk kembali.Avina sempat berpikir kalau Raska, memilih untuk tidak kembali. Pasalnya, sebelum kabur terlihat jelas Raska lelah dan bernafsu meninggalkan kehidupan rumit. Demi kehidupan yang selama ini didambakannya. Menoleh sejenak, hingga terusik sesuatu. Tepatnya, saat Reza mendatanginya.Reza setelah berbincang dengan Nabila, sekaligus mengingat masa kecil. Saat itu juga, sudah mantap untuk memutuskan keterikatan dengan Avina. Lagi pun, semakin sadar dan yakin perempuan berharga yang bisa mengisi kekosongan hatinya dan paham perasaannya—Nabila.“Apa?” Av
Raska sejak perlajaran pertama berlangsung, bahkan berganti pelajaran kedua. Sama sekali tidak memperhatikan, terus menopang dagu dan manik hitam yang terbingkai cermin mata bula terpaku pada luar jendela. Hingga bel istirahat bunyi, Raska enggan beranjak.“Masih kurang.” Raska mengusap kasar wajahnya. “Ah iya, masalah sudah usai.” Mendadak terkekeh, masih tidak percaya kehidupan rumitnya telah usai. Bisa memanfaatkan kehidupan barunya yang amat tenang dan sederhana.Memindai sejenak ke penjuru kelas, sempat mengerutkan kening. Setelahnya, mendengkus sembari melangkah keluar. Tidak lupa, mengeluarkan setumpuk kertas—berisi tugas tambahan pengganti seminggu tidak masuk. Risiko bolos tanpa alasan, ketika masuk diintrogasi dan beban tugas tambahan.Langkah kaki Raska terhenti, seketika berdecih karena ada yang menghalangi jalannya. Muak, karena masih saja mengusiknya. Padahal Raska berharap, kehidupannya tenang lagi. Tetapi, gangguan k
Almeira menatap benci, wajahnya amat memerah. Menangkap siluet, Avina bersama Raska. Kemudian melangkah pergi, bahkan menghentakan kakinya amat kasar guna melampiaskan emosinya. Muak, karena menurutnya, gelagat Raska berbeda sekali bila diganggu Avina.“Nggak!” Almeira tidak menerima, kalau Avina mendapatkan balasan di luar dugaannya. Selama ini selalu melihat Avina mendapat penolakan, meski tetap tidak suka karena Raska yang terus menolak berakhir membiarkan. Sedangkan dirinya—Nggak adil! Kenapa harus—arrgghh!Almeira tersenyum licik. “Berani kau!”Sementara itu, Avina masih mematung. Raska sendiri sudah melangkah pergi, meskipun tidak terima Andreas memperpanjang masa cuti dadakan yang diambilnya dan itu pun tanpa menghadap dan memberi alasan yang jelas. Pada akhirnya, Raska menikmatinya.Melirik sejenak ke arah Avina yang kembali menyamakan langkah kakinya, lambat laun membiarkan. Bahkan, dalam sekej
Raska melangkah santai menuju kos-kosan, memang agak sedikit kacau. Lebih lagi, saat tadi memenuhi permintaan Dafian. Yang sebenarnya, menyuruh pulang. tetapi, Raska hanya datang tanpa ada niat untuk masuk. Senang? Tentu saja, efek sudah lama sekali tidak berbincang dengan sosok ayah—walau dulu lebih mementingkan ego, itu membuatnya muak.Namun, naluri seorang anak yang ingin dekat atau bisa seperti sosok ayah. Pastinya, sulit dibantah. Benci, tetapi masih ingin bisa bersama layaknya keluarga harmonis lainnya. Raska juga ingin pulang, tetapi saat sampai seakan lenyap. Faktor terbiasa hidup sederhana meskipun harus kerja.“Kenapa malah bimbang?” Raska mendengkus, karena heran sendiri. Hingga terusik suara bising, tetapi bukan karena pertengkaran. Akan tetapi, bising anak panti asuhan. “Ah iya, membatalkan dan juga dibebaskan.”Sejak awal tahu, panti asuhan yang menjadi tempat tinggal sementara Raska. Sebenarnya, lebih dulu dianggap r