Cecil mebghembuskan nafas, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang masih bergemuruh. Ia tentu saja khawatir, bagaimana tanggapan orang tentang penampilan barunya ini? Tapi, keputusan adalah keputusan, bila ia seperti dulu, kemungkinan hal buruk yang lalu juga akan terjadi dan ia tidak mau itu.
"Ayo Cecil, sekolah baru, lembaran baru. Harus semangat!" Kata Cecil menyemangati dirinya sendiri. Iapun keluar dari mobil, mengetuk kaca depan mobil untuk sebentar berbincang dengan supir yang sudah mengantarnya."Makasih ya, Pak Sarto. Hati-hati pulangnya," kata cewek itu tersenyum manis pada laki-laki yang sudah lama bekerja dengan keluarganya itu. Laki-laki berperawakan tinggi kurus itupun balas tersenyum padanya."Iya non, makasih. Nanti saya jemput lagi jam dua siang ya," jawab laki-laki itu dengan nada medok sebelum berpamitan pulang pada Cecil, melaju dengan mobil sedannya kembali ke rumah Cecil yang sudah lama pula jadi tempat tinggalnya.<Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, waktu makan malam sudah lama berlalu dan kedai sudah beberapa menit lalu tutup. Tapi bukan berarti pekerjaan Aira sudah selesai. Gadis itu sedang mencuci tumpukan panci dan dan piring yang menumpuk bekas makan malam kedai yang begitu ramai dan hampir membuatnya kewalahan. Meski sudah satu bulan bekerja di kedai itu, Aira belum sepenuhnya terbiasa dengan rasa lelahnya seusai bekerja dan Aira rasa itu memalukan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan aktivitas fisik yang berat karena sudah biasa berolah raga dengan intensitas tinggi dan bahkan sudah membawanya hampir menyandang status atlet profesional. Tapi kenapa bekerja begini saja sudah membuatnya kewalahan? Aira tidak habis pikir. Aira menyeka keringat di dahinya dengan lengannya yang berbalut kaos panjang. Tangan lembutnya sedang dibalut sarung tangan karet yang selalu ia gunakan saat mencuci piring tampak begitu gesit me
Lilly menghempas-hempaskan ujung gaunnya yang basah. Tangannya yang pegal ia pijat beberapa kali agar rasa kebas dan berdenyut itu bisa hilang setelahnya. Hari ini, ada lima bak besar baju dari istana harus ia bersihkan seluruhnya. Tapi baru satu bak saja rasanya punggungnya sudah mau patah.Ember-ember besar dari kayu itu teronggok di sampingnya seolah ingin mengejek nasibnya yang sulit sekali berubah. Hidupnya memang sudah sulit sedari kecil, ayahnya yang pemabuk dan ibunya yang seolah tidak peduli padanya memaksanya untuk hidup mandiri sejak kecil. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja ia terpaksa mencuri segenggam roti dari para pedagang di pasar yang sedang abai pada dagangannya.Beruntung, seorang wanita menemukannya saat tidur di sudut kota saat ia demam enam tahun lalu. Dengan kebaikan hatinya, wanita itu bersedia mengadopsi Lilly dan merawatnya. Tapi sayangnya, beberapa bulan lalu perempuan baik hati yang ia panggil Madame Emma itu meninggal dunia ka
MaOrang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapny
Ud"Putri saya mohon jangan hukum saya," Lilly terus saja memohon sepanjang jalan sembari meronta minta dilepaskan. Walaupun kesalahan yang tidak dilakukannya itu termasuk kesalahan kecil, tapi bangsawan seperti mereka biasa membunuh para rakyat jelata dan sesamanya sendiri jika dianggap mengancam. Dikabarkan Raja juga pernah membunuh satu orang pemusik yang ia sewa karena salah memainkan nada. Lilly harap ia tidak akan bernasib seperti itu. Ia tidak ingin mati karena kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia masih ingin hidup.Sesampainya di dalam istana, Arabella membawanya ke sebuah kebun bunga. Untuk beberapa saat, Lilly hanya ditinggalkan bersama seorang dayang yang mengawasinya agar tidak kabur. Dayang itu selalu memandanginya galak membuat Lilly hanya bisa diam terpaku di tempatnya.Tidak lama kemudian, Arrabella pun kembali datang. Putri kecil itu baru berganti baju rupanya. Ia terlihat berjalan anggun dengan gaun sutra biru ditemani dayang yang membawa bu
Hal pertama yang dilakukan Margareth kepada Lilly saat mereka sudah pulang ialah memberinya minum. Lilly meneguk minumannya dengan rakus begitu Margareth menyodorkannya."Ganti dulu bajumu Lilly, itu sudah tidak bisa dipakai lagi," kata Margareth memberi saran setelah mengamati. Gaun Lilly memang sudah tidak bisa diperbaiki meski harus menghabiskan sekeranjang benang sekalipun.Lilly hanya bisa menggeleng, kepalanya terkulai lemas di atas meja dan nafasnya masih memburu. Perutnya memang lapar, tapi ia tidak menginginkan apapun selain tidur saat ini. Tubuhnya benar-benar lelah."Tidak bisa, pakaianku baru saja kucuci tadi pagi sekarang pasti belum kering. Lilly memang hanya punya dua potong gaun yang ia pakai bergantian. Memang terdengar menyedihkan, tapi hal itu sangat wajar terjadi di era Ashkertan pada semua rakyat jelata.Pakaian memang menjadi barang mahal karena bahan baku dan pembuatannya yang begitu rumit. Tidak semua orang beruntun
Hari ini ada pesta ulang tahun putri, ada banyak makanan enak yang tersisa nantinya, maka dari itu ia membawa tas," Bella mulai bisa sedikit melupakan masalahnya, hiburan dari Lilly sedikit banyak membantunya."Benar juga, para bangsawan lebih suka mengobrol dan pamer dibanding memakan sajiannya. Ujar Lilly terlihat lebih bersemangat setelahnya. Bawakan juga untuk adikmu Bella, siapa tahu itu bisa menghiburnya.Mereka pun dengan semangat pergi ke aula pesta untuk membantu persiapannya. Karena ini pertama kalinya, yang Lilly lakukan hanyalah mengikuti Margareth dan membantunya. Ini sebuah keuntungan bagi Margareth sebenarnya. Tapi tangan gadis itu belum begitu terampil sehingga mau tidak mau Margareth harus sabar dan mengalah lebih banyak mengerjakan banyak hal."Ada yang bisa aku bantu Lilly?" Tanya Bella kepada Lilly yang sedang sibuk memindahkan beberapa barang."Ada beberapa hiasan dan makanan yang belum diambil, bisa bantu aku?" Kata Lilly menang
Sebelum Hotaru pulang, kantor Hota Sound Corp, Tokyo Seorang laki-laki muda tampak ragu-ragu datang menemui Hotaru. Langkahnya yang kecil lagi berat justru membuat Hotaru semakin curiga. "Ada apa?" Kata Hotaru tanpa berbasa-basi sambil mengerjakan pekerjaan lain yang menunggu di atas meja. "Saham kita turun lima persen Tuan," kata seseorang yang membuat Hotaru yang awalnya berkutat dengan dokumennya merasa terusik. Pria itu terdiam sejenak, kemudian melirik sang sekretaris dengan tatapan tajam. "Apa kau bilang?" Tanyanya lagi untuk memastikan. Ia sepenuhnya mendengar ucapan sekretarisnya hanya saja ia belum percaya. Sedangkan, laki-laki muda berkacamata di depannya mulai salah tingkah. Ia takut dan gugup, tapi tetap harus menghadapi sang atasan yang terkenal tempramen. "Saham kita tu..."
Setelah melewati hari yang begitu berat, Hotaru pun akhirnya bisa beristirahat di kamarnya yang nyaman. Laki-laki itu tertidur begitu pulas seolah tidak peduli apa yang baru saja ia lakukan. Pria itu tidur dengan damai hingga keesokan harinya. Meninggalkan efek berdenyut dan kebas di kepalanya karena sake yang sempat membuatnya kehilangan kendali.Kamar itu betnuansa coklat dan putih. Warna yang menurut Hotaru sangat baik untuk dipadukan. Begitu klasik dan nyaman, merasa dirinya sedang berada di rumah lamanya dengan kedua orang tuanya. Hotaru dengan kemeja yang masih menempel di tubuhnya. Perlahan, kelopak mata berwarna coklat tua itu mengerjap kemudian membuka perlahan-lahan. Laki-laki itu pun mengeryit, berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang masuk ke kornea matanya tanpa permisi. Terlebih lagi, kepalanya yang berdenyut-denyut membuatnya semakin susah untuk bangun.