Ruangan temaram, lampu di dalam laboratorium kimia memang hanya dinyalakan satu. Sudah cukup sebenarnya, seluruh isi ruangan terlihat jelas, merekapun tidak sedang melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak cahaya, hanya sedang mengobrol ringan menunggu para murid baru berdatangan dan memberi pertanyaan.
Sejak beberapa saat lalu, Cecil, begitu terganggu dengan getar ponsel di sakunya. Adrian, menelpon sejak tadi, sedangkan dirinya begitu takut ada yang memergokinya masih menyimpan benda pipih itu dalam sakunya. Bukan apa-apa, sama seperti sahabatnya yang satu ini, ayahnya yang sedang bekerja di luar kota itu juga sangat overprotektif. Ia tidak mengizinkan Cecil, untuk mengikuti eskul yang mengharuskannya untuk menginap di sekolah seperti ini. Ayahnya itu, biasa menelpon paling tidak dua kali dalam semalam. Jika Cecil, tidak menjawab telepon dari pria paruh baya itu, ayahnya akan langsung khawatir. Ia bisa ketahuan kalau ia sedang berada di sekolah di tengah malam begini.Tapi, bukan ayahnya saat ini yang tengah menelpon, tapi Adrian. Entah apa yang ada dalam pikiran cowok itu sampai mengganggunya terus. Padahal, ia sama sekali tidak memberi tahukan rencananya malam ini. Pun, ia tidak punya janji apapun pada cowok itu malam ini. Gusar dengan tindakan Adrian, Cecilpun, akhirnya memilih untuk mengalah."Rin, gue ke toilet dulu ya," kata Cecil pada Ririn, teman sepertugasannya yang berada agak jauh darinya. Beruntung, Ririn tidak mendengar getar ponselnya itu. Kalau saja iya, bisa jadi masalah nanti."Iya, tapi jangan lama-lama ya. Soalnya anak kelas satu bentar lagi dateng," ujar cewek itu mengangguk sembari mengingatkan. Cewek itu tidak mau mengacaukan acara pelantikan anggota baru malam ini hanya karena Cecil, tidak menjalankan tugasnya."Iya Rin, bentar doang kok," ujar Cecil, meyakinkan Ririn, sambil berlalu meninggalkan laboratorium kimia tempat posnya bertugas, meninggalkan Ririn, yang sedang sibuk menulis sesuatu di buku catatannya.Begitu Cecil keluar, ia segera mencari tempat sepi agar bisa mengangkat teleponnya. Di antara semua tempat, cewek itu memilih tembok belakang laboratorium kimia agar bisa segera kembali ketika urusannya sudah selesai."Halo Ri...""Cil, lo gapapa kan? Lo gak habis jatoh atau gimana kan? Lo dibully gak di sana? Sorry nih gue gak bisa nemenin, gue ada acara keluarga nih, gak bisa ditinggal. Diomelin gue sama nyokap kalo gak mau," cecar Adrian, yang bahkan tidak memberi kesempatan Cecil untuk menuntaskan kata-katanya."Rian, apaan sih lo! Gue gak papa seriusan. Lagian siapa juga yang minta lo buat nemenin gue? Gak perlu, di sini banyak anak pramuka yang bareng gue, lo tenang aja, gak usah gangguin gue kenapa sih? Overprotektif banget, pacar juga bukan,' kata Cecil, yang balik mencecar Adrian. Cewek itu gemas bukan main pada kelakuan cowok satu ini. Memangnya, Cecil anak TK sampai harus ditemani kemana-mana?
"Gue bukannya overprotektif Cil, tapi gue cuma khawatir lo nanti kenapa-napa. Gue tau bener, Lo dikit-dikit jatoh, dikit-dikit mecahin barang, nyenggol orang. Gue cuma mau mastiin aja lo baik," ujar Adrian, pada Cecil, yang sedang waspada melihat ke sekeliling, memastikan dirinya aman dari anggota pramuka lain yang mungkin sedang berpatroli."Ya, itu sih sama aja. Gue udah seneng bokap gue gak nyariin, eh malah ada gantinya yang lebih nyebelin," ujar Cecil, menyindir Adrian, yang sok-sokan ingin menjadi malaikat pelindung untuknya. Cecil, tidak membutuhkannya. Ia sebal pada ayahnya, juga pada Adrian, yang selalu menganggapnya tidak berdaya. Begitulah yang Cecil pikir selama ini.Tapi, sebenarnya tidak begitu juga. Adrian menyadari bahwa sebenarnya, Cecil, bukanlah cewek yang lemah. Dari sudut manapun, Cecil adalah cewek yang pintar dan punya tenaga melebihi cewek pada umumnya. Namun, satu yang membuat Adrian, merasa selalu khawatir. Cecil itu sangat sangat sangat ceroboh. Cewek itu bisa menghancurkan satu bangunan karena ketidak sengajaan saking parahnya. Itu jugalah yang menyebabkan tidak banyak orang yang berani mendekati Cecil. Cewek itu sering dianggap pembawa sial dan perasaan Adrian, sedangtidak enak entah apa sebabnya."Iya deh, maaf. Tapi, lo harus janji sama gue, lo harus benar-benar hati-hati. Gue khawatir sama lo," kata Adrian, dengan sedikit nada memohon yang terdengar jelas oleh Cecil. Cecilpun, menghela nafas, akhirnya memahami apa yang Adrian pikirkan.
"Iya, Rian. Gue janji gue gak bakal kenapa-kenapa. Gue bakal hati-hati. Yaudah gue tutup dulu ya teleponnya, ditungguin gue sama Ririn," kata Cecil, berusaha tidak memantik Adrian, untuk mengucapkan jawaban yang memunculkan perdebatan lagi di antara mereka. Cecil, ingin cepat-cepat kembali ke lab untuk menjalankan tugasnya lagi dengan tenang. Semoga saja, kali ini tidak ada lagi yang mengganggunya.
"Yaudah, sekali lagi gue minta maaf. Bye Cil," ujar Adrian akhirnya bersedia menutup teleponnya. Sedangkan Cecil, hanya bisa tersenyum sendiri karena kelakuan Adrian itu. Di satu sisi, ia senang karena ada yang peduli padanya. Tapi di sisi lain, ia juga merasa tidak nyaman jika dikhawatirkan terus menerus. Tapi apapun itu, ia senang ada Adrian, yang selalu mengutamakannya."Gapapa Ri. Makasih udah peduli sama gue. Bye, Rian," merekapun akhirnya menutup sambungan telepon dan Cecil kembali ke laboratorium untuk membantu Ririn. Untungnya, Cecil, kembali di saat yang tepat. Tidak lama setelah cewek itu kembali ke laboratorium, gerombolan siswa kelas satu memasuki ruang laboratorium untuk menebak teka-teki yang sudah disiapkan, demi mendapatkan bat seragam tanda mereka sudah melaksanakan tugas.Tugas Ririn dan Cecil, memanglah tidak sulit. Mereka hanya perlu memberikan pertanyaan dan petunjuk sekaligus mengawasi mereka di dalam pos. Tapi, pekerjaan Cecil menjadi sedikit lebih berat dari Ririn, karena cowok-cowok tengil kelas satu itu malah lebih fokus pada dirinya dibanding tugas mereka."Kakak cantik banget sih, udah punya pacar belum?"
"Kak, minta nomor hpnya dong!""Kak, follback twitter dong!" Mendengar pertanyaan tidak penting yang keluar dari adik-adik kecilnya, Cecil, hanya berusaha diam dan menanggapi seadanya. Tapi untunglah, begitu cowok-cowok itu tidak mendapatkan respon yang diharapkan, merekapun akhirnya menghentikan candaannya dan kembali fokus pada jalannya acara.Tidak lebih dari lima belas menit, para siswa baru itupun akhirnya keluar dari laboratorium kimia kemudian berpindah ke pos selanjutnya yang harus mereka datangi. Tugas Ririn dan Cecil, di tempat itupun sebenarnya sudah selesai. Mereka seharusnya kembali ke lapangan sekolah untuk berkumpul bersama panitia lainnya setelah ini. Tapi, baru saja mereka memastikan lab dalam keadaan baik sebelum pergi, hujan turun begitu deras sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke lapangan."Aduh hujan, gimana dong?" Tanya Cecil, pada Ririn yang langsung menyalakan handy talky yang dibawanya dari markas Pramuka. Begitu cewek itu menyalakannya, suara Yoga, ketua Pramuka ternyata sudah menunggu untuk meminta respon dari mereka."Masuk Yoga, di lab kimia masih ada gue sama Cecil," ujar Ririn, menjawab Yoga, menggunakan handy talky-nya."Oke, oke. Karena hujan masih deras, kita gak bisa kumpul di lapangan. Di markas juga jauh dari lokasi kalian, dibanding nanti kehujanan malem-malem, nanti sakit, kalian stay aja di sana sampe hujan reda. Anak kelas satu juga udah aman di tempat masing-masing. Udah malem banget juga, mending kalian istirahat aja di sana ya!" Ujar Yoga, di dalam handy talky membuat Ririn dan Cecil hanya bisa menurut karena keadaan."Yaudah, mau gimana lagi. Di markas juga pasti udah penuh orang kan? Gapapa deh gue di sini sama Ririn, dari pada sempit sempitan di markas," ujar Cecil, ikut menanggapi, yang langsung mendapat anggukan keras dari Ririn. "Oke kalau gitu, besok aja kita kumpul jam lima pagi di markas. Persiapan acara terakhir sama penutupan. Nanti, gue suruh orang buat nganterin tikar, makanan sama minuman ke sana," ujar Yoga, di seberang handy talky membuat keputusan final. "Sip, Ga. Makasih ya," jawab Ririn, pada akhirnya sebelum menutup sambungan. Cewek itu meletakkan handy talky-nya di atas meja. Cewek itu menatap Cecil, dengan senyum tipis yang menandakan kepasrahan. Cecilpun, mengangkat bahunya, menandakan ia juga tidak bisa berbuat banyak. "Kita nginep di sini deh," ujar cewek berambut hitam mengkilat itu sambil mendudukkan diri di atas kursi menghadap meja. Mereka terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengeluarkan suara tawa kencang entah karena apa. Jika saja mereka tahu apa yang akan terjadi beberapa jam setelah ini, mereka pasti tidak akan tergelak begitu lepas seperti ini.Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m