Share

5 : Randy

"Ya Tuhan, anakku," ujar Antara begitu tiba di kamar putrinya.

"Kenapa dia bisa begini Randy?" tanya Antara-papah nya Ria.

"Dia main keluar sama Tian."

"Tian? Christian Hartanto?" tanyanya memastikan. Randy menganggukan kepalanya.

Beberapa saat yang lalu, ketika Ria sedang kejang dan masuk ke dalam 'delusi'-nya, pengawal pribadi yang diutus oleh keluarga mereka untuk menjaga Ria langsung menelepon melalui panggilan grup.

Peraturannya adalah jika terjadi sesuatu yang sangat genting di antara mereka berlima -Antara dan keempat anaknya, perwakilan pengawal pribadi mereka harus langsung menghubungi melalui panggilan grup.

Siapa yang sedang senggang saat itu dan bisa mengangkat telepon, harus menghampiri tempat kejadian. Berhubung mereka berlima orang yang sangat sibuk, tak jarang para pengawal yang menangani sendiri.

Sebenarnya mereka jarang sekali mendapati suasana yang genting dan panggilan dari grup tersebut. Mereka menjalani hidup dengan damai dan hanya sedikit hambatan yang kurang berarti.

Begitu Anton-pengawal Ria menelepon grup, hanya Randy yang dapat mengangkat teleponnya. Ia baru selesai merapikan laporan-laporan dan sedang mengecek kondisi ponselnya.

Ketika dikabarkan bahwa Ria relaps, tanpa pikir panjang Randy langsung menghampiri titik lokasi keberadaan Ria. Randy khawatir Ria kambuh dengan parah dan harus kembali terkurung untuk penyembuhan.

Ria memang spesial. Satu-satunya anak perempuan di keluarga mereka. Dapat dikatakan Ria adalah Princess keluarga Antara. Lebih spesialnya lagi, Ria anak yang kuat dan selalu dipandang penyabar di antara mereka semua. Tapi pada kenyataannya, Ria yang paling rapuh dan sakit.

Mereka baru mengetahui kondisi tersebut lima tahun silam. Mulai detik itu mereka berkomitmen bahwa Ria lebih penting di atas segalanya dan akan menjadi urutan prioritas utama mereka.

Katanya. Pada faktanya, yang namanya client dan pekerjaan tetap utama bagi mereka sang pekerja keras dan sosok pemimpin.

Randy sampai di tempat kejadian 30 menit kemudian karena ia menggunakan sepeda motor.

"Ri, Ria. Hey sadar Sayang. Ri jangan gini. Yuk bisa yuk balik Ri." Randy langsung mengambil alih Ria dari goncangan Tian yang tak berarti.

"Gue bawa pulang Ria. Lo kalau gak bisa menjamin keselamatan jiwa dan raga Ria gak usah ajak Ria main deh," ujar Randy marah pada Tian. Tian benar-benar seperti orang bodoh yang tak tahu harus apa dengan kondisi Ria.

"Gak ada lagi main-main keluar seperti ini. Sampai adik saya kenapa-napa, saya tandai kalian semua dan tunggu pembalasannya dari saya!" Randy benar-benar serius dengan perkataannya.

Kafe yang tadinya sudah tak ada suara tatkala Randy datang bersama pengawalnya, makin sunyi lagi ketika Randy mengeluarkan ultimatumnya. Aura seorang pemimpin memang beda.

"Kamu urus semua ini, jangan sampai ada yang bocor ke media dan jadi pemberitaan aneh. Pastikan semua orang di sini tutup mulut." Randy meninggalkan lokasi tersebut dan masuk ke dalam mobil yang digunakan pengawal Ria. Mobil sederhana karena mereka tak menyangka akan ada kejadian seperti ini.

"Bangun, Dek. Bisa yuk keluar dari sana. Kamu sudah aman sama Abang sekarang." Randy masih terus berusaha membawa Ria kembali.

Kejang tubuhnya Ria sudah berhenti ketika Randy datang dan memeluknya. Hanya saja Ria belum mau kembali sepertinya.

"Ayo Ri, kamu bisa. Abang gak mau lihat kamu harus terapi lama lagi kalau gak bangun saat ini," ujar Randy sedikit ketakutan. Ia tahu betul betapa sakitnya pengobatan yang dijalani Ria.

"Kalau kamu bangun sekarang, Abang bawa ke konser GMC deh dimana pun kamu minta." Randy hanya mencoba peruntungan saja. Siapa tahu dengan membawa nama GMC membuat Ria semangat untuk kembali. Sebenarnya ketika Randy mengatakan terapi, Ria sudah mulai kembali dan sedang berusaha membuka matanya. Begitu Randy mengatakan konser GMC, Ria sudah sadar sepenuhnya.

"Benar ya ke konser GMC," ujar Ria dengan suara serak khas bangun tidur.

"Puji Tuhan, Ria sudah sadar." Randy mengeratkan pelukannya. Betapa senangnya ia melihat Ria yang sudah sadar.

"Kamu buat abang khawatir sekali. Jangan diulangi lagi ya. Kalau Reno tahu kamu main seperti tadi bisa kena amuk satu rumah," ujar Randy cukup panjang. Ia menciumi wajah Ria untuk meredakan kekhawatirannya.

"Biarin aja dia marah. Bang toyib kenapa ditakutin," ujar Ria tak acuh pada sosok kakak tertua mereka-Reno yang jauh di sana. Randy tertawa kecil melihatnya. Padahal Ria juga tidak begitu berani pada Reno.

"Kita pulang ke rumah ya," beritahu Randy pada Ria mau pun pengawal mereka yang sedang merangkap jadi supir juga.

"Apartemen aja lah." Ria tidak setuju dengan Randy.

"Rumah aja dek. Biar pemulihannya cepat tanpa terdistraksi sama hal di luar." Yang dimaksud hal di luar adalah Hartanto dan sekitarnya.

"Tapi senin aku harus balik kerja."

"Iya, semoga sebelum senin kamu sudah pulih kembali," ujar Randy sambil memanjatkan doa.

"Aamiin."

Begitu mereka tiba di rumah, Randy membawa Ria yang masih dalam gendongannya menuju kamar Ria. Randy meminta maid yang mengurusi mereka dari kecil untuk membersihkan tubuh Ria saat ini.

Ria melanjutkan tidurnya ketika sudah selesai dan bersih. Ria benar-benar kotor dan kumal ketika pulang ke rumah. Maklum, habis main keluar dan berjibaku dengan polusi.

Kembali pada kondisi Antara sekarang yang sudah merebahkan tubuhnya di samping Ria. Putri satu-satunya yang dimilikinya. Perempuan paling berharga di hidupnya.

"Maafin Papah yang gak angkat telepon. Maafin Papah yang telat tahu kondisi kamu. Maaf untuk segalanya Ria." Tara mengusap wajah Ria yang tengah terlelap. Betapa takutnya ia jika harus kehilangan sosok perempuan lagi di hidupnya.

Tara membawa Ria masuk ke dalam pelukannya. "Terima kasih Tuhan, Engkau masih membawa Ria kembali ke pelukan hamba," ucap syukurnya pada Tuhan.

"Hallo Andre, tolong kamu pesankan satai ayam, kambing dan satai taichan. Eh bawa gerobaknya ke rumah aja deh. Biasanya mereka baru keluar jam segini kan masih banyak lah." Tara langsung terpikirkan untuk membawa makanan kesukaan Ria ke rumah.

"Kamu hitung juga ada berapa orang yang stay di rumah malam ini. Kalau kurang tambah lagi aja gerobaknya. Atur aja deh sama kalian mau bawa gerobak berapa terserah, yang penting harus habis dan jangan buang-buang ya," ujar Tara begitu semangat. Ini sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap para pengawal Ria yang sudah bekerja keras menjaga Ria seharian ini di luar sana. Tara memang loyal kepada orang yang bekerja dengannya. Perihal makanan Tara selalu membebaskan keinginan mereka, kecuali jika ada permintaan seperti ini.

"Ndre, kamu bisa minta Andi atau Anton untuk menemani cari penjual satai nya. Minta siapa pun lah itu. Sebelum jam 7 kalau bisa sudah datang semua ya." Tara begitu antusias karena ia sudah lama tak makan bersama di rumah.

"Papah berisik," ujar Ria yang terbangun.

"Papah jangan berisik nanti Ria bangun." Randy menghampiri kamar Ria untuk menghentikan suara papahnya yang terdengar hingga luar kamar.

Tara yang ditegur oleh kedua anaknya hanya terdiam dan bingung. Melihat ke arah Ria dan Randy. "Oh berisik ya? Yah, udah bangun Ria nya."

Randy menepuk jidatnya melihat kelakuan sang papah. Ria hanya memutar bola mata malas.

"Yuk keluar. Kita siapin minumannya." Tara beranjak dari kasur Ria dan menuju dapur.

Randy menghampiri Ria untuk mengecek kondisinya.

"Sudah mendingan?" Randy menarik tangan Ria untuk membantu Ria bangun. Ria menganggukan kepala. Ia masih mengumpulkan nyawa setelah terbangun akibat suara Tara yang kencang.

"Abang keluar dulu ya. Kalau butuh apapun telepon aja." Randy mengecup kening Ria dan berjalan keluar kamar.

Ria mengambil ponselnya yang berada di nakas samping ranjang. Begitu menyalakannya, deretan notifikasi muncul tanpa henti dan membuat suasana kamar Ria lumayan ramai. Ria memang menyalakan bunyi notifikasi ponsel jika tidak dalam suasana rapat atau pertemuan. Ia sering dimarahi jika tidak menjawab pesan ataupun telepon yang masuk akibat mematikan bunyi notifikasi.

Ria membuka pesan yang paling banyak, dari Vera. Pesannya mencapai ratusan. Kekuatan Vera untuk spam padanya dapat diacungi jempol.

Vera Siregar

Riii, telepon sekarangggg!!!

Meeting sama anak-anak cepat!

Begitu isi pesannya hingga ratusan. Ria beralih menuju grup projectnya.

Hallo guys, maaf ya baru buka hp. Yok meeting.

Ria langsung membuat room meeting melalui ponselnya, karena ia sudah berlangganan premium untuk keperluan rapat jarak jauh mereka.

"Sebentar, sepertinya mau lama ya rapatnya. Gue pindah laptop dulu." Ria menjeda sebentar rapat mereka.

Ria mengambil gagang telepon di samping ranjang dan memencet nomor tiga yang langsung terhubung dengan Bibi Inah. "Hallo Bi, tolong ambilin laptop yang nganggur sama charger nya. Hmm tanya Papah atau Bang Randy aja deh mau kasih yang mana. Sekarang ya Bi, cepat!" titah Ria dalam sekali bicara. Ia butuh laptopnya segera.

"RIA SIAPA YANG SURUH KAMU RAPAT SEKARANG?" Tak lama kemudian Randy dan Tara menghampiri kamar Ria dan berbicara dengan nada tinggi secara bersamaan. Dasar anak dan papah tidak ada bedanya.

"Sssstttt ah jangan berisik! Bentar doang." Ria menyanggah mereka berdua.

"Siapa yang nyuruh kamu rapat sekarang? Biar Papah telepon orangnya minta batalin saat ini juga." Tara mengambil ponselnya dari saku. Bersiap untuk menelepon atasan Ria.

"Aku yang suruh rapat. Udah sana sebentar doang. Nanti gerobak satai datang aku sudahi rapatnya. Janji." Ria mengajukan kelingkingnya sebagai tanda janji terhadap mereka berdua.

"Janji ya. Kalau belum selesai juga aku berhentiin secara paksa." Randy menanggapi pinky promise Ria.

"Iyyaa. Bi bawa masuk sini cepat," ujar Ria pada Bi Inah yang dari tadi tak berani masuk karena pintu dihalangi oleh dua lelaki besar.

"Ini sandinya apa? Kenapa disandiin sih? Randy, Papah," teriak Ria kesal. Mereka berdua benar-benar menghalanginya untuk rapat.

"Gatau aku, gak dengar, dududu."

"Duh, kamu dengar ada yang bicara gak Ran?"

"AAAAAAAAAAAAAAA."

#############################

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status