Share

4 : Hartanto Berulah

"MRT or Commuter line?" tanya Ria begitu mereka sudah berada di pinggir jalan.

"Gak tahu. Ikut mau kamu aja." Tian minim sekali pergerakan sedari tadi.

"Kamu jangan diam-diam aja dong Yan. Tau gitu mending di apartemen aja." Ria menghentikan langkahnya. Ia kesal dengan Tian yang tidak responsif.

"Aku bingung Ri. Yaudah cari yang gak ramai aja biar aku gak ketahuan fans deh." Tian mengusulkan menghindari kerumunan agar keberadaannya tidak terdeteksi. Nasib superstar yang sulit untuk kemanapun.

"MRT aja kalau begitu." Ria berjalan menuju stasiun MRT yang letaknya tak jauh dari kawasan Rajawali. Memang benar-benar pusat perekonomian negara, karena segala fasilitas transportasi umum sudah sangat terjamin di wilayah ini.

"Nanti kita berhenti di stasiun secara acak aja ya. Aku gak punya tujuan." Mereka berjalan tanpa perencanaan. Bukan tipikal Ria yang hidupnya selalu tersusun dengan baik.

"Okay. Aku yang tentukan ya." Tian bersemangat sekali, karena sejauh ini tak ada orang yang mengenalinya.

"Tumben mau lepas masker," ujar Ria kala melihat Tian melepas maskernya.

"Pengap juga. Enakan kita jalan ke tempat terpencil gitu deh Ri yang gak ramai," ujar Tian dengan nada merengek di hadapan Ria.

"Sabar ya. Ini kan pilihan hidup kamu yang mau jadi artis." Menggenggam tangan Tian untuk menenangkan. Ria tahu betapa beratnya hidup penuh dengan frame.

"Kenapa artis gak diperlakukan selayaknya manusia normal si? Kita kan tetap manusia biasa yang ingin kebebasan." Tian kembali melayangkan keluhan.

"Ada harga yang harus dibayar untuk semua yang didapat saat ini, right?" Ria tersenyum menenangkan.

'Dan sudah begitu banyak yang aku korbankan untuk terus bisa bersamamu hingga detik ini,' gumam Ria dalam hati.

"Turun di sini aja. Hatiku memilih berhenti di sini." Sisi melankolis Tian mulai muncul. Ria memutar bola matanya malas. Jangan sampai jadi alay nih orang.

Cukup banyak orang yang ikut turun di stasiun yang sama. Ria melihat sekeliling melalui sudut matanya.

"Kenapa?" Tian merasakan genggaman di tangannya semakin erat.

"Nothing." Mereka melanjutkan perjalanan mengeksplor daerah yang dipilih secara random oleh Tian.

'Apa Ria sadar ya diikuti,' ujar Tian dalam hati begitu menyadari pengawalnya mengikuti terlalu dekat. Tian memutuskan untuk membawa pengawal pribadinya. Ia merasa tak aman jika hanya berdua Ria di luar. Takut jika ada penggemar yang bertindak anarkis dan ia tak bisa melindungi Ria karena fokusnya akan terbagi. Keselamatan dan keamanan Ria adalah nomor satu. Begitu pikirnya.

"Aku mau beli kentang sama cimol itu Yan." Menarik tangan Tian menuju penjual yang terlihat di depan sana.

"Mau satu bungkus yang besar ya Mas, campur cimol dan kentangnya, jangan pakai bumbu pedas," ujar Ria dengan semangat begitu tiba di depan penjual tersebut.

"Siap Mba." Penjual tersebut menyiapkan pesanan Ria, dan Ria kembali melihat sekeliling mencari jajanan yang sekiranya enak untuk dilalui.

"Jadi sepuluh ribu Mba," ujar penjual tersebut dan memberi pesanan Ria yang sudah jadi.

"Ambil aja kembaliannya. Semoga laris dan berkah ya mas. Salam untuk keluarga di rumah." Ria memberi uang 100 ribu dan beberapa patah kata seraya tersenyum hangat.

"Terima kasih banyak Mba, sehat selalu bersama Mas nya."

"Kenapa kamu kasih semua uangnya?" protes Tian ketika mereka sudah berjalan menjauh dari penjual tersebut.

"Hatiku mengatakan untuk memberi," balas Ria mengikuti bahasa Tian. Ria sangat senang melihat cimol dan kentang di tangannya. Menusuk dengan lidi dan bersiap untuk memasukkan ke dalam mulut.

Bbbrrrukkk.

Seseorang menabrak nya dari belakang, menyebabkan cimol dan kentang miliknya jatuh berhamburan. Ria terkejut dibuatnya hingga sekedar mau marah pun tak kuasa.

"Ya Tuhan, Ria." Tian bergegas membantu Ria untuk bangun dan mengecek kondisi Ria apakah ada yang terluka.

"Mohon maaf kak. Maaf saya gak sengaja. Saya sedang buru-buru tadi." Seorang pemuda yang tadi menabraknya tengah membungkuk di hadapannya. Ria mencoba mengatur emosinya agar tidak meledak. Cimol seratus ribunya hilang dalam sekejap.

"Iya gapapa. Lain kali hati-hati, kalau saya nyusruk terus luka bagaimana?" tanya Ria setelah berhasil mengendalikan emosinya.

"Baik kak, aku akan hati-hati. Pamit dulu ya kak. Semoga tetap dilindungi Tuhan." Pemuda tersebut menyelipkan doa untuk Ria. Ria hanya tersenyum menanggapinya. Ia mulai merasa ada kejanggalan.

"Masuk ke kampung situ yuk. Katanya kamu mau jalan ke daerah terpencil." Ria bangkit dan mengajak Tian yang masih setia menunggunya siap dari tadi.

"Kamu yakin udah baik-baik aja?" Nampaknya Tian masih khawatir atas insiden tadi.

"I'm fine." Ria menampilkan senyuman terbaiknya.

Mereka melanjutkan perjalanan dan melewati gang kecil yang hanya muat satu motor untuk lewat. Sempit. Sumpek. Penuh oleh tembok-tembok bangunan rumah. Ria salah memilih jalan sepertinya. Ia mulai merasa kehabisan nafas.

Menggenggam tangan Christian dan bertumpu padanya. Bahkan untuk mengatakan lebih cepat jalannya ia tak sanggup. Ria menancapkan kukunya pada lengan Tian, menggoyangkan lengannya untuk mempercepat langkah. Tapi sepertinya Tian tidak menangkap sinyal tersebut.

Tinnn. Tinnn.

"Mas, Mba cepetan dong jalannya. Ada motor di belakang gak muat nih," ujar seseorang yang sedari tadi berada di belakang Ria. Tian mempercepat langkah di sepanjang gang sempit tadi. Ia merasakan pengap juga.

"Selamatkan Ria, Tuhan. Selamatkan Ria," ujar Ria begitu sudah keluar dari gang tersebut. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil merapalkan doa. Mengapa fobianya tak kunjung hilang?

Ria masih berusaha mengatur pernapasannya dan segala ketakutan yang melanda. Belum ada setengah hari mereka berjalan, harinya sudah seperti roller coaster. Memang tempat paling aman dan nyaman adalah apartemennya sendiri.

"Kenapa aku capek banget ya Ri?" pertanyaan yang sama yang ingin dilontarkan oleh Ria.

"Sepertinya karena safe place kita itu di dalam ruangan deh Yan." Ria memberi jawaban yang terlintas di otaknya.

"CHRISTIANNNN"

"AAAAAAAA ADA CHRIST"

"CHRIST CAN I TAKE PICTURE WITH YOU?"

"CHRIST SIAPA PEREMPUAN DI SAMPING KAMU??!!"

"CHRIST, CHRIST, CHRISTTTTT!!!" Dan begitu seterusnya ketika keberadaan Tian terdeteksi oleh penggemar garis kerasnya.

"Lari Ri, ayo!" Tian tidak melihat kondisi Ria yang masih kesulitan mengatur nafas, dan langsung menariknya. Mereka berlari tak tentu arah. Penggemarnya semakin menggila dan menciptakan kehebohan luar biasa. Ria menurunkan penutup wajah yang memang tersedia satu paket dengan topinya. Ia sudah persiapan jika hal ini akan terjadi, demi keamanan identitasnya.

Mereka semakin dalam masuk ke perkampungan warga. Rumah-rumah yang mereka lewati semakin penuh sesak. Ria menghentikan larinya secara tiba-tiba. Ia sudah tak sanggup jika harus dipaksa berlari. Benar-benar indoor adalah tempat ternyaman baginya.

"Ayoo Ri, kita masih belum aman. Jangan berhenti di sini!" Tian terus menarik tangan Ria.

"Aku udah lama gak olahraga. Gak bisa mengimbangi stamina kamu. Kalau kamu masih mau lari silakan aja," ungkap Ria mengenai kondisinya. Tian memang suka lupa diri.

"Yaudah ayok kita mampir ke kafe itu dulu," ujar Tian begitu melihat kafe di depannya.

"Kalau sampai kamu ketahuan lagi, udah ya aku tinggalin kamu sendiri. Aku pulang," putus Ria yang sudah sangat kelelahan.

"I'm sorry. Ini alasan aku ngajak kamu liburan keluar kota atau luar negeri terus ke daerah terpencil, biar makin dikit yang ngenalin aku."

Wajah memelas Tian sedang tidak berlaku bagi Ria saat ini. Dirinya benar-benar lelah, marah, kesal, tapi tak tahu sama siapa.

"Es coklat," ujar Ria begitu pelayan menghampirinya.

"Ri, maaf yaa. Minta jemput sama supir aku aja ya." Tian menelepon supir pribadinya. Kondisi sudah tidak kondusif.

Ria mengabaikan ucapan Tian dan menelungkupkan kedua tangannya untuk berdoa. Hari ini trauma dan fobianya muncul secara bertubi-tubi dan ini hal yang aneh. Kenapa seolah kejadian ini disengaja dan ada skenarionya? Ria mengingat kejadian apa saja hari ini.

'Tunggu dulu. Kenapa ada banyak banget yang ngikutin gue?'

"Kamu bawa berapa orang pengawal? Dan itu dari perusahaan atau pribadi?" tanya Ria begitu merasakan keanehan. Tian ragu untuk menjawabnya. Sebenarnya ia juga sadar bahwa ada pengawal di luar yang ia sewa secara pribadi.

"Aku bawa lima dan pengawal pribadi, bukan dari perusahaan atau mana pun," jawabnya begitu yakin tak salah ingat.

Ria kembali memejamkan mata dan seolah melanjutkan doanya. Ria memang lebih suka menggunakan posisi berdoa ketika akan berfikir fokus, agar orang sungkan untuk mengganggunya.

'Kalau cuma lima orang, terus yang nabrak gue di tukang kentang siapa? Yang mengarahkan gue masuk ke gang sempit siapa? Yang dorong gue di gang sempit siapa?' tanya Ria dalam hati. Ia sedang berdialog dengan dirinya dan Tuhan.

'Satu, dua, tiga, empat (?) masa sampai empat pihak yang ngikutin gue? Memang gue siapa? Memang gue kenapa?' Ria merasa ketakutan saat ini.

'Tuhan, tolong aku. Aku takut. Lindungi aku dari orang yang ingin mencelakakan ku Tuhan' kali ini Ria benar-benar berdoa. Ia sungguh hanya bergantung pada Yang Maha Kuasa.

"Riaaa, Ria, RIA ANANTA!" Tian panik melihat sekujur tubuh Ria yang gemetar kencang. Tian terus berusaha mengembalikan kesadaran Ria yang masih gemetar, hingga menjadi pusat perhatian.

#############################

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status