Share

Crescent Moon
Crescent Moon
Penulis: Laquisha Bay

1. Para Serigala

Aku terus berlari menyusuri hutan belantara. Bertanya-tanya dalam ketidakpastian, apakah mereka—orang-orang suruhan paman Scott masih mengejarku di belakang? Berapa lama lagi aku harus berlari? Sepuluh menit? Dua puluh menit? Aku tidak mungkin mampu berlari selama itu. Aku mengatur napas sebelum kembali memaksakan diri untuk berlari, membiarkan oksigen mengisi kantong paru-paruku.

Saat suara kicau burung nuthatch tidak lagi terdengar, aku menyadari suasana hening yang ganjil menyelimuti pemandangan di sekitar. Hanya ada sekelompok pohon beech berukuran besar dengan banyak cabang; rantingnya berkelok-kelok membentuk jebakan, tumbuh dengan jarak yang rapat satu sama lain. Daun-daunan lebatnya menciptakan kanopi alami sebagai pelindung dari sinar matahari untuk menembus masuk. Semuanya berwarna hijau, terlalu asing untuk ukuran sebuah planet. Apa aku tersesat?

Aku buta arah, tidak ada petunjuk dan tidak yakin harus pergi ke utara atau selatan. Namun, diam di tempat juga bukan pilihan yang tepat. Tidak peduli betapa takutnya aku, pelarian harus tetap berlanjut. Saat kaki kiriku tidak sengaja menyandung akar yang mencuat membentuk setengah lingkaran, tubuhku tersungkur di atas permukaan tanah lembap. Luka gores dan memar menciptakan rasa nyeri yang ikut menambah daftar panjang kesulitan yang sedang kualami. 

Setelah berjuang cukup jauh menyeret sepasang kakiku ke tempat lebih aman, aku berhenti di ceruk yang mirip dengan portal. Sekelilingnya ditumbuhi lumut porellales dan sulur tanaman ipomoea, seolah-olah menjadi lorong penghubung ke dunia lain. Tempat persembunyian yang sempurna. Aku memutuskan untuk melangkah lebih jauh, tetapi atmosfer secara tiba-tiba berubah, pengap oleh ketegangan magis yang menggantung di udara. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan di tempat mana pun.

“Eh? Ap-apa...”

Aku terkesiap, mundur, sebelum akhirnya jadi hilang keseimbangan dan terjerembap ke belakang. Dua ekor rusa dengan warna yang tidak lazim muncul, entah dari mana. Mereka berlari dalam kecepatan luar biasa. Hewan herbivor itu melompat dan menembus semak-semak, kemudian menghilang. Suara gemeresik daun-daunan kering yang terinjak menyusul muncul, mengalihkan takjubku.

Sesuatu yang berbulu, tangguh, dan setinggi delapan kaki; taring runcing di antara moncongnya tampak berkilau mengerikan, berdiri mengawasi. Dua pasang mata berwarna kuning itu mengerjap-ngerjap sebelum berubah menyipit, memicing dengan sikap siaga. Ekor mereka terangkat, menunjukkan sifat agresif yang diekspresikan. Suara geraman bernada rendah dari salah satunya terdengar seperti sebuah peringatan yang sengaja ditujukan padaku. 

Serigala yang mempunyai bulu berwarna merah maju mendekat, kepalanya terteleng ke samping sambil melemparkan geraman tertahan. Sementara serigala lain yang berwarna cokelat mengawasi di belakang. Mereka terlihat lapar, siap untuk menerkam, mencabik, atau menelanku bulat-bulat.

“Serigala?” bisikku pada diri sendiri, setengah tidak percaya. 

Serigala merah itu kembali menggeram, lebih keras dari sebelumnya. Hidungnya yang basah dan besar bergerak mengendus-endus udara kosong di antara kami. Aku menelan ludah dengan susah payah, bingung sekaligus takut.

Apa yang harus kulakukan? Lari? Lagi? Tidak, itu ide yang buruk. Tubuh para serigala itu berukuran seperti kuda, bukan anjing. Dengan kaki-kakinya yang panjang, aku adalah mangsa yang terlalu mudah untuk ditangkap. Aku bergidik membayangkan diriku terseok-seok, tidak tahu arah, dan berakhir dengan cara yang menyedihkan.

Belum hilang dari syokku, sesuatu yang berukuran jauh lebih besar kembali muncul. Aku terkesiap, tidak siap untuk kejutan yang lain. Satu, dua, tiga, empat, lima... aku terus menghitung. Mereka adalah kawanan, jelas. Jumlahnya hampir selusin dengan warna-warni bulu yang juga beraneka ragam.

Aku menahan nafas, berusaha menjaga kewarasan yang makin lama makin kupertanyakan. Serigala yang bertubuh lebih kecil dibandingkan yang lain di barisan belakang maju, keempat kaki kurusnya menapaki permukaan tanah yang setengah berlumpur. Sorot matanya yang sayu mengerjap-ngerjap, menyimpan keingintahuan.

Dari sepuluh ekor, ada satu yang mengundang perhatianku, dia tampak berbeda. Serigala hitam itu tetap berdiri tenang di barisan paling depan, tidak melolong atau bersikap agresif seperti yang lain. Sorot matanya tajam, seolah-olah ada sekotak misteri dalam sepasang bola matanya yang indah. Ukuran tubuhnya lebih besar beberapa inci, ditutupi surai tebal yang menjuntai dari lehernya. Tidak diragukan lagi, dia adalah seekor Alpha—pemimpin dalam kawanannya.

“Ja-jangan...” cicitku, kehilangan pita suara.

Sekujur tubuhku menggigil, pasrah. Sang Alpha mendengus sebelum punggungnya bergetar, lantas berubah menjadi sosok yang lain. Seekor... tidak, dia bukan seekor lagi, tetapi seorang—dia menjelma sebagai manusia.

Demi Tuhan, apa yang baru saja kulihat? Werewolf? Apa aku bermimpi? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Pria jadi-jadian itu sedang berjalan menuju ke arahku dengan sorot mata yang sama, dingin dan menusuk.

Lari, perintah suara dalam kepalaku.

Sekarang.

Se-ka-rang.

Aku tidak bisa melakukannya, balasku. Bagaimana caranya melarikan diri, jika tubuhku terlanjur membeku? Sial, selamat tinggal dunia!

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya suara bariton itu dengan aksen Glaswegian-nya yang kental.

Aku tercengang, tidak ada kesan menghakimi atau mengintimidasi dalam nadanya, meskipun ekspresi wajahnya terlihat sebaliknya. Apa yang kulakukan di sini? Aku tersesat, aku tidak datang ke tempat antah-berantah secara sukarela.

“Apa kau mengerti yang kukatakan?”

Aku tidak menyahut. Otakku sibuk mencerna serangkaian peristiwa tidak masuk akal yang terjadi. Aku mengambil spekulasi sementara, skizofrenia—penyakit gangguan mental dengan tingkat morbiditas tinggi yang menyebabkan pengidapnya berhalusinasi. Aku membutuhkan penanganan psikiater untuk berobat. Siapa yang akan percaya, jika aku sudah bertemu dengan para makhluk yang hanya eksis dalam cerita dongeng?

I... I was lost,” jawabku sambil beringsut mundur ke samping.

Namun, pria itu membuat gerakan yang jauh lebih cepat. Salah satu tangannya terulur menarik pinggangku, sementara tangannya yang lain meraih rahangku. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai menggoda, memangkas jarak di antara kami. Aku bahkan bisa merasakan embusan panas dari napasnya yang menciptakan degup aneh di dadaku seperti pijar yang membara.

“Apa berdekatan denganku membuat ritme jantungmu menjadi lebih cepat dari biasanya?” bisik pria berambut karamel itu.

Aku benci mengakuinya, tetapi sebagai manusia normal, tubuh pasti memberikan reaksi, “Aku hanya—”

“Hanya apa?” potongnya, sepasang mata almonnya yang simetris menyipit, iris birunya menyorot wajahku dengan tatapan intens.

Aku mengalihkan pandangan, tidak tahan. Pria itu terlihat rupawan, tampan dengan garis rahang tegas, tulang hidung panjang dan runcing. Kulitnya sehalus beledu, cokelat seperti padang pasir. Dada telanjangnya terlalu mengundang untuk diabaikan. Otot-otot biseps dan pecs yang besar itu dihiasi rajah tato. Celana ripped jeans-nya menjerit karena ukuran yang tidak pas. Tipikal lawan jenis yang hanya bisa kau temukan dalam iklan majalah fesyen, bergaya memamerkan arloji Richard Mille atau tas Hermes edisi terbatas. Dia terlalu sempurna untuk ukuran seorang monster, bukan?

“Aku dikejar oleh tiga orang pria. Mereka ingin melelangku ke rumah bordil, jadi aku lari dan sampai di sini... dan tersesat... dan tidak menemukan jalan keluar,” akuku, tidak berani membalas tatapannya. 

“Kau terluka.”

Aku mengerutkan kening, itu bukan sebuah nada untuk pertanyaan, “Ba-bagaimana kau tahu?”

I can smell your blood from miles away. Apa mereka melukaimu?"

Aku menggeleng, “Tidak, aku terjatuh.”

“Kau tidak boleh berada di sini. Siapa namamu?”

“Anna.”

“Anna? Hanya Anna?”

“Um, ya. Anna. Anna Ortiz.”

Apa dia mempunyai nama? Apa kawanannya yang lain juga bisa berubah seperti dirinya? Berapa jumlah total mereka seluruhnya? Ratusan? Ribuan? Yang terpenting, apa makanan mereka? Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab, tetapi aku tidak cukup berani untuk menyuarakan semuanya.

“Xaferius. Xaferius Black,” bisiknya dengan suara serak yang membuat bulu kudukku meremang, seolah-olah mampu membaca pikiranku.

Xaferius. Namanya juga indah dan tidak biasa, kecuali marga umum yang terletak di belakangnya. Mengapa aku merasa ada keterikatan familier dengannya? Apa aku pernah bermimpi tentang werewolf sebelumnya?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rinto Amicha
Ceritanya mendebarkan dan bikin penasaran, semangat up terus ya kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status