Share

2. Makhluk Pengisap Darah

“Jalan keluarnya... apa kau bisa membantu menunjukkan jalan keluarnya?” pintaku setengah merengek, berharap Xaferius melepaskan tubuhku dari dekapannya.

“Tentu saja, lagi pula tempat ini bukan untuk manusia. Berbahaya.”

“Berbahaya?” ulangku, perasaan takut kembali merayapi diriku.

“Lebih berbahaya dari yang kau bayangkan, Anna.”

“Dari yang kubayangkan?” lagi-lagi aku membeo.

Xaferius melonggarkan dekapannya dari balik pinggangku, “Kita harus bergegas pergi sebelum matahari terbenam.”

“Terima kasih.”

“Terima kasih?”

Aku mengangguk, “Kau menolongku. Aku sangat berterima kasih untuk itu.”

Xaferius mendengus, “Tidak perlu dipikirkan, menjadi pahlawan sama sekali bukan cita-citaku.”

“Tetap saja—”

“Berhati-hatilah dengan pikiranmu, Anna. Aku penyelamat bagimu sekarang, tetapi kau tidak tahu siapa aku. Tidak ada yang menjamin aku selalu menjadi… baik.”

Perutku terpilin. Ada sebuah sinyal peringatan yang tersirat dalam ucapannya. Pria itu benar, aku tidak boleh mengambil penilaian terlalu cepat.

“Ka-kau benar.”

Xaferius bergerak mengitariku, langkahnya pelan dan teratur. Tatapannya tidak berubah, masih tetap seintens semula. Penuh dengan api, siap membakarku kapan saja. Aku menjilat bibirku, menghilangkan perasaan gugup yang melingkupi diriku. Dia menyipitkan sepasang matanya, kemudian gerakannya berhenti. Kedua tangannya terlipat di dada, menumpahkan seluruh perhatiannya padaku—atau bibirku. Aku tidak tahu yang mana, tetapi dia terus menyoroti titik itu dengan keras.

“Apa kau takut padaku?”

“Ta-takut? Tidak. Mengapa aku harus takut padamu? Maksudku, kau terlihat seperti were—um, orang baik,” kilahku, berusaha tersenyum, tetapi justru lebih mirip dengan cengiran.

“Benarkah?”

“Uh-huh,” sahutku lagi sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket bomberku.

“Itu mengejutkan, most people find me intimidating.”

“Um, mungkin itu karena suaramu.”

“Suaraku?” balasnya, sorot matanya tampak penasaran.

It’s really deep and your tone is confident too.”

“Ah, benarkah?”

Aku lagi-lagi mengangguk, “Tentu saja.”

“Aku terkesan dengan sikap tenangmu, Anna. Kau tidak berteriak atau bahkan berlari, luar biasa.”

Kau tidak tahu, Tuan Manusia Serigala. Aku membeku—tidak, lebih dari itu. Aku nyaris mengencingi celana panjangku.

“Er—terima kasih?”

Xaferius hanya menanggapi dengan senyum, dia mengembuskan napas; kasar dan… entah—frustrasi? Apa aku menyinggungnya? Aku masih ingin bertanya lebih banyak, tetapi tiba-tiba suara lolongan serigala lain terdengar dari kejauhan, bertepatan dengan hawa ganjil yang datang bersama tiupan angin. Para kawanan serigala di belakang Xaferius terlihat gelisah, beberapa di antaranya bahkan menggeram dan melolong dengan balasan nada yang lebih tinggi. Apa yang terjadi?

“Mereka melewati perbatasan. Bersiaplah, jumlahnya tidak banyak,” desis Xaferius pada para kawanan itu, dia berusaha menahan emosinya agar tidak meledak di dekatku.

“Apa mereka baik-baik saja?”

Xaferius berbalik dan memandangku dengan tatapan serius, “Mereka baik-baik saja, hanya—”

“Apa?” selaku, tidak sabar.

“Kau harus pergi dari sini, Anna. Para vampir sedang menuju ke area perbatasan.”

Aku tercekat, ada sensasi globus yang mengganjal di tenggorokanku. Perasaan itu membaur menjadi satu dan membuatku tidak nyaman. Di sisi lain, aku bangga pada diriku sendiri karena masih bisa berdiri, tidak kehilangan kesadaran. 

Vampir.

Makhluk pengisap darah.

Aku melafalkan julukan makhluk itu dengan peluh yang membasahi kening. Pertama, Paman Scott. Kedua, para manusia serigala. Ketiga, para vampir. Mengapa keberuntungan selalu menjauhiku? Namun, bukankah aku hanya harus terbangun agar mimpi buruknya berakhir?

“Anna? Anna?” panggil Xaferius, dia menyentak tubuhku berkali-kali. 

“Eh?”

“Apa kau mendengarku? Kau tidak boleh bersamaku. Naiklah ke punggung Shaunn dan pergi menjauh dari sini,” desisnya padaku, sepasang matanya terlihat berkilat khawatir.

“Shaunn?”

“Sekarang,” hardiknya sambil mendorong tubuhku ke arah para kawanan serigala yang sedang mengatur barisan.

Suara lolongan yang panjang kembali menggema, menimbulkan lonjakan panik dalam ekspresi wajah Xaferius. Dia terlihat membeku, sedetik kemudian, tubuhnya bergetar dengan keras. Posisinya setengah membungkuk dan bertransformasi ke wujud hewan berkaki empat, sama seperti sebelumnya.

Xaferius dalam bentuk serigalanya menoleh padaku, dia memamerkan seringai lebar lewat moncongnya. Kupikir dia sedang berkomunikasi atau memberitahukan sesuatu. Para kawanan serigala pun bergerak maju, membentuk sebuah formasi melingkar yang melindungi diriku. Aku seketika merasa aman sekaligus rapuh di waktu yang bersamaan.

Serigala abu-abu kecil yang tampak berusia lebih muda dari yang lain mengambil jarak lebih dekat denganku. Dia menempelkan kepalanya pada punggungku, lantas mendengus pelan. Aku memekik, terkejut karena tidak pernah berinteraksi sedekat itu dengan serigala sebelumnya. Aku mencoba menerka apa yang ingin makhluk berbulu lembut itu katakan, tetapi tetap saja tidak bisa menangkap maksudnya. Jadi, aku hanya berdiri dengan canggung di sampingnya.

Shaunn.

Nama itu bergaung dalam kepalaku, seiring terpaan angin yang jauh lebih kencang dari arah berlawanan. Apa serigala abu-abu itu sedang mengajakku berkomunikasi? Sejak kapan aku mempunyai kemampuan membaca pikiran? Atau aku memang tidak waras dalam artian yang sebenarnya?

Aku mencuri pandang ke sosok serigala abu-abu yang masih berdiri dengan tenang, tetapi waspada, di sampingku. Dia tidak terlihat sedang berbicara, pandangannya fokus ke depan. Halusinasi, simpulku.

Suara geraman Xaferius yang tiba-tiba, terdengar begitu keras memecah kesunyian dan menyita semua perhatianku pada sesuatu yang sedang mereka tunggu. Suasana temaram mengantarkan tanda, jika senja sudah turun dan hawa ganjil itu kembali muncul bahkan suhu terasa jauh lebih dingin dari sebelumnya. Tubuhku bergetar, saat dua pasang mata yang sorotnya hampir serupa, tajam dan tidak bersahabat itu tampak berkilat haus dari balik batang pepohonan yang panjang. Siluet-siluet mereka bergerak lurus dalam tempo singkat, memperlihatkan dua vampir pria yang mempunyai kulit pucat seperti salju.

Dua sosok itu menyeringai pada Xaferius, salah satu yang berambut pirang dan berjanggut tebal memamerkan taringnya dengan pongah. Sementara yang satu lagi terlihat lebih beradab, dia tidak menunjukkan sikap mengolok-olok atau menantang para kawanan serigala. Kulitnya tidak sepucat si pirang. Rambut abu-abunya dibiarkan tergerai bergelombang ke pundak, begitu pas dengan kontur rahang bentuk perseginya. Irisnya yang cokelat tampak kontras, meninggalkan jejak memesona di setiap gurat wajah aristokratnya. Jika penampilan Xaferius lebih cocok sebagai peragawan, si vampir itu justru terlihat sebaliknya. Posturnya kaku, seolah-olah sedang menderita myalgia—nyeri otot yang disebabkan oleh aktivitas fisik seperti olahraga atau keseleo.

“Apa kalian sedang mengadakan pesta di sini? Aromanya lezat sekali,” tanya si pirang, dia terlihat antusias dan penuh harap.

Aku memang naif, tetapi aku tidak bodoh untuk bisa menangkap apa yang dia maksud. Itu aku. Mereka predator, predator selalu berada di rantai teratas makanan dalam setiap ekosistem.

Xaferius membalas dengan geraman pendek. Dia kembali mengubah wujudnya menjadi manusia dalam sekejap. Para kawanan lain memasang kuda-kuda, siap bertempur, jika itu memang dibutuhkan.

Serigala merah yang pertama kali menemukanku ikut bereaksi dengan mendengking, dia terlihat marah. Bulu punggungnya menegak, siap menerjang. Namun, dua ekor serigala cokelat di dekatnya menggeram, memberi peringatan untuk menunggu. Alpha mereka mendesis, meminta para kawanan tidak bertindak gegabah. 

“Dia bersamaku, Gavin. Itu artinya dia milikku.”

Well, sayang sekali. Kupikir kalian—”

“Aku tidak membagi milikku dengan orang lain. Seharusnya itu cukup jelas untukmu.”

Vampir rupawan yang dari tadi menyaksikan perdebatan mereka memberi simbol untuk tutup mulut pada Gavin—si pirang itu, dia melontarkan pandangan tajam dari tatapannya yang mencerminkan ketegasan dan kelugasan. Sepasang bola matanya memandang penuh arti sebelum berbicara, menengahi pembahasan. Dia bergerak mengambil satu langkah lebih maju, berdiri lebih dekat pada para kawanan serigala. 

“Maaf. Kami hanya ingin lewat dan berburu di sekitar sini,” desahnya pada Xaferius, menyesal.

Aku bergidik membayangkan cara para vampir berburu; mengoyak leher atau dada mangsanya, kemudian menyedot darah mereka sampai meregang nyawa. Setidaknya, begitu informasi yang sering kubaca di dalam terminologi mengenai para makhluk abadi itu. Apa para werewolf mampu melindungiku? Apa aku boleh mempercayai Xaferius?

“Aku tahu itu, Alexandr,” balas Xaferius tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok vampir yang ukuran tubuhnya hampir sama besar dengan dirinya.

Alexandr. Aku mengeja namanya diam-diam. Dia memiliki sesuatu, sejenis daya pikat yang membuatku tidak tahan untuk tidak melirik, meskipun taring dari balik bibirnya selalu membuatku takut.

“Kau harus menemukan cara untuk menyembunyikan makananmu. Aroma tubuhnya terlalu... harum. Itu akan mengundang makhluk-makhluk lain merebut dan mengambilnya darimu,” kata Alexandr sambil memandangku melalui pundak Xaferius yang lebar dengan liar, tatapannya menelusuri sekujur tubuhku, seolah-olah ingin menilai dan menelanjangi.

Sial, bulu kudukku meremang. Lagi. Alexandr melewati batas, membuatku tertunduk jengah, berusaha menghindari kontak dengannya.

“Kami tidak memburu manusia, kami melindungi mereka,” serunya menegaskan dan memberi penekanan di akhir kalimat. “Dan terima kasih banyak atas saranmu, aku tidak membutuhkannya. Aku tahu caranya menjaga milikku.”

Klaim kepemilikan itu hampir membuatku tersedak, berpikir menjadi tawanan seorang manusia serigala—mungkin, masih lebih baik daripada dibunuh para vampir dan mati sia-sia. Aku berasumsi, menilik dari cara mereka bercakap-cakap, ada sebuah tali pembatas yang membentang di antara dua kaum itu seperti arch-enemy—kadang-kadang mereka ditakdirkan bertarung sampai salah satu di antara atau keduanya juga mati.

“Kita harus pergi sekarang, Gavin.”

Dua vampir pria itu memutuskan pergi dari area perbatasan. Namun, sebelum mereka benar-benar meninggalkan kami, Alexandr berbalik, kembali memandangku lewat sudut matanya. Dia menyunggingkan senyum simpul, menyiratkan perasaan tertarik yang nyata dalam nadanya.

I guess I’ll see you around, human.”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rinto Amicha
bagus ceritanya kak. lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status