Share

3. Rahasia

Anna. Nama yang diberikan dad padaku, artinya cantik; baik hati; karunia Tuhan—sesuai dengan diriku, katanya. Gen dari dad mewarisi ciri-ciri fisikku lebih banyak. Tinggiku hanya seratus-enam-puluh-dua senti, kecuali warna mata dan rambut yang gen dari mom sumbangkan untukku. Rambutku selalu cokelat, kadang-kadang memerah diterpa sinar matahari, serupa dengan iris mataku.

Aku suka memasak. Kegiatan itu membuatku tenang, melepaskan penat dan melupakan rindu yang terus-menerus datang. Aku masih berusia tujuh tahun, manja dan suka membuang sayur-sayuran—terutama brokoli, dari piringku, saat dad dan mom tewas dalam kecelakaan kereta api di malam Natal.

Dunia berubah dari tahun ke tahun, tetapi kehidupanku tidak berubah dari hari ke hari. Roda itu berganti dari yang awalnya menggelinding lurus, kemudian berhenti dan berakhir dengan takdir yang mengutuk langkahku. Hak asuh atas diriku jatuh di bawah wewenang Paman Scott—saudara kandung mom, pria itu bejat. Dia mempunyai rumah bordil di Glasglow, sebuah kota pelabuhan dengan multikultur dinamis yang terletak di dataran rendah Skotlandia. Tempat penuh tambo sejarah dan hamparan kemegahan eloknya.

Usiaku genap delapan belas musim gugur tahun depan. Paman Scott berniat melelangku ke rumah bordilnya dengan dalih utang budi untuk semua waktu panjang yang dia habiskan karena telah menjaga dan merawatku sejak kecil. Akhirnya, aku melarikan diri dari tempat yang tidak pernah cocok disebut sebagai rumah itu. Keputusan yang seharusnya kuambil sejak dahulu.

“Anna?” tegur Xaferius dalam wujud manusianya, membuyarkan semua lamunan tentang masa laluku.

Aku tersentak dan salah tingkah, “Maaf. Apa kau mengatakan sesuatu?”

“Aku memanggilmu empat kali, Anna.”

Anna. Anna. Anna. Aku tidak tahu mengapa tubuhku selalu memberikan reaksi refleks yang berlebihan saat Xaferius memanggilku. Bukan berarti itu tidak membuatku nyaman, hanya saja ada sesuatu dalam nada suaranya yang membangkitkan tarikan dalam diriku, begitu kuat dan tiba-tiba.

“Maaf. Aku... aku sedang tidak fokus.”

Xaferius memberi jarak, dia berdiri dan mengambil posisi sedikit lebih jauh dariku. Sikapnya membuatku bertanya-tanya heran. Apa yang sedang pria itu lakukan?

“Aku hanya ingin memberimu ruang, Anna. Aku tahu kau bingung dan takut, setelah semua hal yang terjadi padamu hari ini.”

Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Xaferius benar, aku butuh ruang untuk merasakan diriku. Aku butuh ruang untuk memeriksa kewarasan yang kupunya. Aku butuh ruang untuk mengerti apa yang terjadi. Vampir dan werewolf. Apa yang kumengerti? Tidak ada, kecuali mereka dilahirkan dengan daya pikat dan kekuatan mengagumkan dalam porsi yang tidak wajar. Itu tidak adil, protesku.

“Apa kau baik-baik saja?” lanjutnya.

“Aku... uh, ya, aku baik-baik saja,” sahutku, berusaha menyembunyikan semua perasaan berkecamuk dalam dadaku.

Sudut bibirnya berkedut-kedut menahan tawa, “Kau manusia yang tidak pintar berbohong.”

Manusia. Itu semakin menegaskan perbedaan di antara kami. Makhluk abadi dan makhluk tidak abadi.

“Aku pembohong yang buruk,” bisikku.

“Cih, aku tahu itu.”

“Jadi, bagaimana dengan janjimu?”

“Janji?”

Aku menghela napas sebelum kembali menjawab, “Kau berjanji membantuku keluar dari sini.”

“Tentu saja, Anna. Aku tidak melupakannya.”

Aku menunggu, berharap Xaferius bergerak dan menuntunku ke arah jalan setapak atau menembus dimensi lain. Apa saja, aku tidak peduli. Namun, pria itu masih diam di tempat. Dia memandangku dengan sorot penuh selidik, tatapan yang teliti dan hati-hati. 

“A-apa ada sesuatu di wajahku?”

“Tidak, kau cantik.”

Pria dan mulut besarnya, keluhku, “Bisakah kita pergi sekarang, kumohon?”

“Tidak, tidak sekarang. Belum,” balas Xaferius dengan seringai menggoda itu lagi. “Kau terlibat dengan dunia immortal, kau tahu terlalu banyak tentang kami.”

Xaferius benar, aku tidak seharusnya berada di dunia mereka yang mustahil. Namun, takdir kembali memainkan perannya. Aku terjebak di antara para makhluk yang bahkan keberadaannya tidak pernah benar-benar kuyakini ada.

“Aku... aku tidak bermaksud untuk—”

“Kau harus melupakan semuanya, Anna.”

Aku mengerjap-ngerjap, bingung. Bagaimana caranya? Semua taring itu dengan kecepatannya yang luar biasa, para monster... Katakan padaku, bagaimana caranya?

“Kau meminta sesuatu yang tidak bisa kukendalikan,” balasku, setengah mengerang putus asa.

Ada jeda yang cukup lama, Xaferius terdiam tanpa sepatah kata pun. Pandangannya masih enggan beralih dari wajahku, tetapi aku bisa menangkap sinyal janggal lewat sepasang irisnya yang pelan-pelan berubah menjadi gelap. Tidak ada lagi warna biru seperti laut Tindalls Bay di malam hari di dalam sana. Warnanya berganti menjadi hitam, pekat yang berkabut dan penuh rahasia. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Aku sudah terlalu lelah untuk mengoleksi pertanyaan-pertanyaan lain, apa dan mengapa.

“Katakan siapa kau sebenarnya,” tuntut Xaferius dengan nada satu oktaf lebih tinggi dariku.

“Apa yang ingin kau tahu? Aku hanya manusia, yatim piatu. Tidak ada yang menarik dari diriku.”

Tubuh Xaferius bergetar sebelum warna pada kedua bola matanya secara tiba-tiba kembali menjadi seperti sebelumnya. Biru. Terang. Menyeret dan menghanyutkan, membuatku tenggelam di dalamnya.

“Aneh,” komentar Xaferius sambil bergerak maju mendekat padaku.

“Apa maksudmu?” sahutku, tersinggung.

“Kemampuan hipnotisku tidak bekerja padamu,” akunya, ekspresi wajahnya terlihat heran dan takjub.

“Hip... apa?”

“Beberapa werewolf mempunyai kemampuan-kemampuan khusus, aku salah satunya. Aku bisa membuat siapa saja yang kumau untuk melupakan atau melakukan sesuatu.”

Apa aku belum cukup dengan semua guncangan yang terjadi sepanjang hari ini? Aku juga harus mendengar satu lagi fakta baru yang terkupas dari kaum werewolf. Kemampuan-kemampuan khusus.

“Jadi, aku bermasalah?”

Ternyata memang ada sesuatu yang salah dari diriku. 

“Kau berbeda, itu saja. Aku tidak suka pemilihan katamu. Aku tidak menganggapmu begitu, kau tahu.”

“Tetap saja—”

Xaferius menyentuh dan mengelus daguku, gerakan itu membuat tubuhku kembali memberikan reaksi yang ingin dia lihat. Aku menjengit ke belakang, berusaha mengontrol perasaanku agar tidak larut dalam permainannya. Dengan napas terengah-engah, aku menepis sentuhan darinya yang mengirim setiap gerak elektron ke permukaan kulit wajahku. Arus listrik itu menyengat dengan tajam, membuatku hampir kehilangan kendali.

“Kau sangat sensitif. Aku menyukai itu.”

“A-aku... aku hanya ingin pulang, kumohon,” balasku dengan terbata-bata.

Xaferius tidak langsung menyetujui, dia berbalik meninggalkanku dan mendekat pada para kawanannya yang masih menunggu dengan teratur di belakang. Berpasang-pasang mata itu memandangi sejak tadi, seolah-olah kami adalah tontonan yang menarik. Aku beralih memperhatikan pemandangan sekitar yang terabaikan, hanya ada deretan pohon pinus di sepanjang jangkauan indra penglihatanku. Lengkap bersama jaring laba-laba yang dipintal rapi oleh embun. Puluhan cahaya dari tubuh kunang-kunang yang menyerupai titik-titik kecil bergerak terbang dari dahan ke dahan, memberi kesan ilusi yang memerangkap diriku.

“Apa kau suka dengan yang kau lihat?” tanya Xaferius, suaranya membuat pandanganku beralih kembali tertuju pada dirinya.

“Ya,” sahutku pendek.

“Apa kau ingin tahu sebuah rahasia, Anna?”

Aku mengerutkan kening, tidak yakin jawaban seperti apa yang harus kukatakan, “Kupikir aku sudah mengetahui cukup banyak.”

Xaferius mengembangkan senyumnya, “Kau benar, tetapi ini berkaitan dengan area perbatasan.”

Pria itu benar-benar tahu caranya memancing rasa penasaranku, “Apa itu juga berhubungan dengan alasan kehadiranku di sini?”

“Secara teknis iya, secara teori tidak. Pintu perbatasan hanya terbuka di waktu-waktu tertentu. Peralihan sore dan malam atau kau menyebutnya dengan senja, saat bulan sabit muncul, juga saat bulan purnama muncul, tetapi manusia seharusnya tidak bisa menembus portal itu.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status