Aku tidak pernah merasa istimewa, aktivitas keseharianku juga selalu datar dan monoton. Aku mengalami masa-masa sulit dengan tujuan hidup yang tidak lagi kupunya saat Dad dan Mom pergi, tetapi—secara ajaib, aku berhasil melewatinya. Bukti bahwa takdir masih tetap memegang kendali atas diriku. Setelah semua peristiwa panjang yang terjadi, aku harus memulai kehidupan baru. Jauh dari keluargaku yang lain.
Saat Xaferius menanyakan alamat tujuanku, aku terenyak—sadar jika aku sebatang kara dan menyedihkan, tidak mempunyai apa pun. Pria itu menawarkan kemurahan hatinya, dia mengizinkan aku tinggal untuk sementara di rumahnya. Dengan syarat, aku harus tutup mulut pada orang-orang, pada dunia, tentang eksistensi para makhluk immortal. Aku setuju, memastikan rahasia itu tetap rapat, terkubur bersama sumpah di bawah cahaya bulan sabit yang mengintip dari balik lembah. Ada harga yang harus dibayar, jika aku melanggarnya.
Nyawaku.
Para kawanan serigala itu mengubah wujudnya sebelum memutuskan untuk kembali, menyampaikan komentar dan protes pada sang Alpha. Salah satu dari mereka tidak setuju pada ketetapan yang Xaferius ambil. Dia tidak mempercayai aku—belum.
“Aku tidak percaya padanya,” bisik seseorang berambut tembaga yang ikal, sepasang matanya menyipit, memberi perasaan familier itu padaku.
Aku mencoba menerka, apa dia adalah serigala merah itu? Tatapannya penuh intimidasi. Dia terlihat tidak menyukaiku.
“Aku percaya padanya,” sahut Xaferius, ada nada tidak-ingin-dibantah dalam suaranya.
“Kau tidak mengenalnya,” balasnya lagi, ada kilat emosi di dalam manik hijau matanya yang besar.
“Kau juga tidak mengenalnya, Adaire!”
“Bisakah kalian berhenti, kumohon?” sela seseorang lainnya, penampilan pria itu terlihat jauh lebih muda beberapa tahun dari semua yang hadir.
“Manusia itu membutuhkan bantuan, Adaire. Biarkan Xaferius yang mengurusnya, lagi pula Alpha kita tahu apa yang harus dia lakukan,” kata seorang pria lainnya lagi, kembarannya yang berdiri di sampingnya mengangguk-angguk setuju.
Aku menyaksikan perdebatan itu dengan canggung. Perasaan bersalah menyelusupi diriku. Aku penyebab pertengkaran yang terjadi di dalam pack.
“Maaf. Aku... aku tidak bermaksud untuk membuat kekacauan di antara kalian.”
“Jangan pedulikan Adaire, dia memang keras kepala,” balas Xaferius sambil menarik tubuhku bergerak lebih dekat di sampingnya.
Adaire berpaling, lantas berpindah, mengambil posisi menjauh dari gerombolan. Sementara para werewolf lainnya melakukan sesuatu yang berlawanan, mereka mendekat dan memberikan senyum lebar padaku. Sambutan yang tidak terduga-duga.
“Selamat datang di dalam pack kami, Anna. Kita sudah bertemu tadi,” kata pria yang mempunyai tahi lalat di bawah hidungnya itu sambil menyeringai padaku.
Tadi? Jadi, dia si serigala cokelat yang bersama dengan Adaire. Aku mengangguk-angguk, membalas senyumnya.
“Aku Lucas,” sambungnya lagi. “Ini Tavash, ini Tavish. Mereka kembar. Ini Alastair... ini Bernard... ini Edmund... ini Matthew... dan ini Shaunn, werewolf termuda di antara kami.”
Aku berusaha mengingat nama-nama mereka, tidak sulit, “Apa masih ada yang lainnya?”
“Simon, tetapi dia tidak berada di sini,” sahut Shaunn, pria itu bersedekap, sikapnya jauh lebih santai daripada yang lain.
Shaunn masih tampak seperti remaja berusia belasan yang baru mengalami masa pubertas. Aura kanak-kanaknya tergambar dalam senyumannya yang polos. Rambut burgundinya berpotongan ala quiff, sedikit berantakan. Tingginya sekitar empat kaki. Otot-otot tubuhnya berkembang dengan pesat, mengisi sebagian lengan dan dadanya. Aku menemukan sosok adik yang tidak pernah kupunya dalam dirinya.
“Terima kasih. Aku senang kalian menerimaku.”
“Apa kau akan menjadi Luna kami?” tanya Tavish, tatapan jahil tergambar dari balik iris hazel-nya.
“Luna?” aku balik bertanya, tidak mengerti apa yang dia maksud.
Xaferius berdecak jengkel, “Tutup mulutmu, Tavish.”
Saudara kembar itu menanggapi sang Alpha dengan tawa yang terdengar menggoda, begitu juga yang lain. Namun, belum ada yang menjawab pertanyaanku. Luna. Aku belum pernah mendengarnya.
“Luna adalah pasangan dari Alpha—cintanya, mate-nya, ratunya. Xaferius merupakan Alpha dalam pack kami, dia werewolf terkuat yang pernah kulihat sepanjang eksistensiku sebagai makhluk immortal. Usianya seratus-dua-puluh-dua tahun depan, tetapi dia masih belum bertemu dengan Luna-nya,” sindir Bernard sambil memasang mimik wajah yang pura-pura sedih.
Aku mengerti sekarang. Alpha dan Luna berperan sebagai pemimpin yang mengatur dan menjaga keutuhan dalam pack. Dan... apa aku tidak salah dengar tentang usia Xaferius? Apa itu benar? Pria itu tidak menua dalam rentang angka yang mengitari siklus hidupnya, seolah-olah dia selalu melawan kodrat alam. Aku mengumpulkan semua pertanyaan demi pertanyaan yang bergelayut di dalam benakku, menyimpan dan menguncinya pada sebuah ‘laci’ untuk dipikirkan kembali setelah keadaan menjadi tenang.
“Apa kalian belum cukup bermain-mainnya?” sembur Xaferius yang wajahnya merona merah.
“Kau harum sekali, Anna. Kami bisa mencium aroma tubuhmu dari jarak beberapa mil jauhnya,” komentar Edmund tanpa memedulikan Xaferius yang kedua alisnya bertaut sekarang.
“Kau membuat kaum immortal mabuk, kecuali para peri,” timpal Matthew, dia menoleh sekilas ke arah pendaran yang masih bergerak terbang di ujung sana.
“Peri?” pekikku.
“Kau sudah melihatnya tadi,” seru Xaferius yang terlihat heran dengan reaksiku.
“Tidak,” bantahku.
“Apa maksudmu tidak? Aku bertanya padamu apa kau menikmati sesuatu yang kau lihat dan kau menjawab iya. Ugh, ingatanmu buruk seperti ikan,” keluh Xaferius.
“Ku-kupikir... itu sekumpulan kunang-kunang.”
Shaunn tergelak-gelak oleh pengakuanku yang menurutnya lucu. Sementara itu Xaferius berusaha membelaku dari bahan tertawaan, dia berkacak pinggang sambil memasang sorot mata tajam pada Shaunn. Werewolf remaja itu tiba-tiba berhenti dan mengangkat kedua bahunya.
“Itu tidak lucu, Shaunn.”
“Itu lucu bagiku.”
Aku mengabaikan pembicaraan mereka. Langkahku bergerak menuju ke arah para peri yang sedang bermain di antara sarang lebah. Aku mengamati gerak-gerik makhluk bersayap itu dari jauh, memastikan jarak yang kuambil cukup aman untuk dapat menonton kegiatan yang mereka lakukan.
Saat salah satu peri dengan sayap ungunya menyadari kehadiranku di dekat mereka, dia terlihat panik dan mengepakkan sayapnya yang cemerlang ke dahan yang lebih tinggi. Kelompoknya yang lain ikut memekik, kemudian melesat dalam kecepatan yang mengagumkan. Ukuran tubuh mereka seperti ibu jari, kurus dan mungil. Bentuk telinganya panjang, makin ke ujung makin kecil.
Para peri itu terbang memutar, mengelilingi pepohonan yang daun-daunannya lancip, sebelum akhirnya terbang ke arah jalan setapak yang menggelitik keingintahuanku. Aku ikut bergerak—setengah berlari, tidak ingin kehilangan mereka yang meninggalkan jejak serbuk berwarna emas dan merah muda di setiap kibasan sayapnya yang tipis. Debu dari para peri itu menuntunku ke sebuah tempat terbuka di bawah siraman cahaya bintang; padang ilalang lapang yang luas.
Aku terpukau dengan pesona alam yang terasa menyihir. Angin mendesau membelai rambutku, menerbangkan butiran pasir yang halus ke angkasa. Semua tanaman berbunga mengeluarkan kelap-kelip jernih yang mencengangkan dari balik kelopak dan putiknya. Awan menyapu langit dengan lembut, sementara rasi Orion bersinar terang di arah barat yang melintasi garis ekuator.
“Indah, bukan?” tegur Xaferius yang datang dari belakang.
“Tidak, lebih dari sekadar indah. It’s make me realize how tiny my problems are,” bisikku, takjub, berdiri mematung, menikmati diorama yang tersuguh utuh di hadapan kami.
***
Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan.Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit.Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa s
Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.“Iya, seperti yang kau lihat.”“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.“Namanya Anna, Aldrich.”
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.“Apa yang kau katakan?”Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”“Tentu saja
Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya.Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya.“Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya.Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Aku memekik, terbangun dari mimpi buruk dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhku. Pakaian yang sedang kukenakan terasa lengket, menjiplak di beberapa bagian anggota tubuh tertentu. Aku baru menyadari sepasang tanganku terikat, saat aku bermaksud ingin menyeka bulir yang jatuh meleleh di ujung hidungku. Siapa yang melakukannya?Aku panik, berusaha melepaskan diri dari bebatan itu. Aku meronta-ronta dan menggigitnya dengan gigiku. Namun, hasilnya nihil. Tali itu masih tetap mengekang, membuatku tidak bisa bergerak leluasa.“Ah, rupanya Tuan Putri sudah bangun,” celetuk suara itu dari arah pintu yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuhnya.“Aldrich?”“Ya, ini aku.”
Rabu.Kamis.Jumat.Sabtu.Aku berulang kali memandangi almanak meja di samping tempat tidur, menghitung hari-hari yang terasa panjang. Sesekali menyibak tirai sutra hijau zamrud yang selaras dengan warna cat di dinding, menengok ke arah jalanan yang selalu sibuk. Rumah Aldrich terletak di tepi lembah yang langsung mengarah ke kelompok permukiman, jadi aku sering memperhatikan detail kecil dari diorama kota yang hanya menawarkan sisi metropolis dan hingar bingarnya, melupakan sisi lain kawasan urban yang juga berperan sebagai arena kontestasi. Tidak banyak yang kulihat, selain laju kendaraan memadati lalu lintas. Mereka saling beradu cepat untuk mengklakson dan mendahului, seolah-olah sedang dikejar waktu.
Aku berterima kasih pada suara ketukan di pintu yang—lagi-lagi terdengar seperti garukan, membuyarkan aksi Aldrich yang nekat dan tidak pantas. Aku berkelit dari dekapannya, merapikan posisi pakaianku dengan benar, memastikan tidak ada bagian yang terlipat agar para pelayan itu tidak menyadari perbuatan memalukan kami. Perbuatan majikan mereka—Aldrich, ralatku.Aldrich bergerak ke tepi ranjang, sikapnya masih tetap tenang. Dia merapikan kerah kemeja buntungnya yang berantakan, kemudian berdiri menepuk-nepuk celana jengkinya yang kusut sambil mencuri pandang ke arahku lewat sudut matanya. Aku membuang muka, memandang sebuah tanaman echinocactus grusoni—jenis kaktus yang berasal dari Meksiko, berbentuk gentong, berduri-duri besar, kuat, dan tajam dengan warna kuning emas, di atas rak gantung. Ide untuk melempar wajah pria itu dengan kaktus mendadak muncul, tindakan ya