Ciuman keduaku bersama Aldrich kembali terjadi. Cepat. Tepat. Penuh rindu. Dia menumpahkan seluruh perasaannya di cumbuan itu dan aku tahu aku seharusnya memukul—atau mematahkan hidungnya saja seperti yang Xaferius pernah minta padaku. Namun, aku justru membiarkan pria itu menjamah bagian dari wajahku.
Barangkali, aksinya yang tiba-tiba sudah membuat otakku kehilangan fungsinya untuk merespons dan saat reaksi yang harus kutunjukkan hadir, suara kesiap spontan keluar dari mulutku. Kaki kananku refleks terangkat—bergerak menuju satu sasaran yang berada di tengah-tengah tubuhnya; selangkangan Aldrich. Aku menendang aset kebanggaannya sekeras yang kumampu hingga pria itu mengumpat, lantas melepaskan tautannya di bibirku.
Gotcha, you pea
Suasana hatiku memburuk tanpa sebab—aku tahu alasannya, tetapi hanya enggan membaginya. Aku baru saja selesai merangkai beberapa buket sederhana untuk dipajang. Hari ini toko bungaku cukup ramai, ada sejumlah pesanan yang harus kukirim nanti sore. Itu secara tak langsung membuat perhatianku teralih ke hal-hal lain yang memang harus dikerjakan.Sejak kembali dari pantai kemarin sore, aku lagi-lagi dihantui mimpi buruk—isinya kebanyakan berupa potongan masa kecilku, sementara sisanya tentang Aldrich. Mengapa nama itu terus-menerus muncul dalam kepalaku? Aku menggertakkan gigi, lantas meraup kasar sekuntum bunga mawar putih yang masih segar di dalam vas dengan maksud memindahkannya ke tempat lain.Aku sontak mengaduh setelah salah satu durinya berhasil menusuk dan melukai jari tengahku. Setitik darah kemudian merembes dari l
Sepasang mataku seketika melebar sesaat setelah Rowan memamerkan deretan kukunya yang runcing. Dia bergerak maju mendekati posisiku, sementara aku beringsut mundur ke belakang. Senyum keji di sudut bibirnya terbit; garis ekspresif yang menampilkan seringai dendam.“Ro-Rowan? Apa yang kau lakukan?”“Bunuh dia,” bisik Sarah yang memberi dukungan penuh pada Rowan untuk beraksi.Habislah, pikirku. Apa aku akan benar-benar menjemput takdirku sekarang? Aku mempercepat langkah mundurku, berharap tindakan itu dapat membantuku terlepas dari ancaman bahaya. Namun, sesuatu membentur salah satu kakiku—membuatku tersandung dan terjerembap ke atas lantai.Aku menahan pekikanku menjadi geraman pendek
Aku sedang duduk di balkon sekarang—memandangi bulan yang naik lebih tinggi di ujung langit, sementara bintang bertaburan seperti batu permata. Xaferius baru saja selesai mengoleskan obat dengan jenis salep pada leherku, agak perih, tetapi memberikan efek dingin yang seketika menyirami kulitku yang tergores setelah beberapa menit berlalu. Bukan tipe luka yang serius, tetapi pria itu masih sangat marah.Pertama kali datang, Xaferius terus menggertakkan giginya berulang kali dan menghancurkan dua buah guci bernilai fantastis di ruang tamu. Benda yang dibelinya secara khusus dari Negeri Tirai Bambu itu spontan pecah berkeping-keping, mengotori seluruh ruangan di lantai dasar. Dia melampiaskan emosinya pada barang malang itu—menyuruhku masuk ke kamar hingga perasaannya stabil, kemudian menyusul dan membantu membersihkan cedera yang kualami.
Aku tak bisa tidur—sungguh, hal sesederhana itu justru tak mampu kulakukan sekarang, seolah-olah memejamkan mata merupakan aktivitas yang berat untukku. Aku bukan tipikal orang yang suka begadang apalagi pengidap insomnia. Aku yakin Xaferius pun merasakan perihal yang sama dengan yang kurasakan.Jam dinding menunjuk ke angka tiga waktu dini hari, tetapi Xaferius juga masih belum kembali ke kamar. Ada rasa enggan yang memuncak di dadaku—aku tak ingin menyusul pria itu di ruang kerjanya atau ruang mini barnya hanya untuk melihatnya marah. Dia bukan Xaferius Black yang kukenal dalam kondisi itu.Aku beringsut ke samping ranjang yang menimbulkan bunyi gemeresik pendek, lantas duduk dan menyisir rambutku dengan jemari—memikirkan sesuat
Aku tertidur setelah pukul sembilan pagi—sendiri, Xaferius sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Kami berdua mendadak melakukan perang dingin—tanpa menyapa apalagi bicara. Durasi tidurku menjadi terpengaruh dan berantakan, aku terbangun dua jam kemudian karena hal yang sama; mimpi buruk.Aku pun beranjak dari ranjang, merendam tubuhku di bathub dan menolak semua pelayanan yang ditawarkan oleh para pelayan Xaferius—mengunci pintunya dari dalam agar mereka tak merecokiku dengan sejuta pertanyaan tentang jenis menu sajian apa yang ingin kumakan atau jenis pakaian apa yang ingin kukenakan, seolah-olah aku merupakan sang putri dari suatu negeri yang harus terus-menerus dilayani.Aku muak.
Aku selesai denganmu.Bagaimana aku sanggup dan otomatis berubah menjadi sekeji itu pada Xaferius? Apa aku justru menyesalinya sekarang? Aku meringkuk di balik dipan tipis yang menimbulkan suara derit panjang sesaat setelah aku menggerakkan salah satu kakiku—memeluk sekaligus mengutuk diriku sendiri; di toko bungaku.Berpisah dari Xaferius memang belum pernah tercetus dalam benakku—aku bahkan tak pernah membayangkan ada dunia yang lebih kelam dari duniaku sebelumnya—kehilangan orang tua di usia kanak-kanak. Kini aku memahami rasanya menjadi Aldrich yang merindukan Cattleya sepanjang waktu.Gelap.Hitam.
Jantungku seketika terasa mencelus ke rongga perut. Suara Aldrich terdengar seperti alunan musik yang paling ingin kuputar sekarang—menghalau kesepian yang telah meninggalkan jejaknya di seluruh sudut ruangan sejak perpisahanku dan Xaferius terjadi. Aku beranjak dari dipan yang lagi-lagi menjerit, seolah-olah mencegahku untuk beralih membuka pintunya.“Anna? Apa kau masih di sana? Bukalah, kumohon.”Sepasang kakiku berhenti melangkah—ragu-ragu, apa aku harus membiarkan Aldrich masuk dan melakukan sesuatu yang akan kusesali lagi? Rasa curigaku kembali mendominasi—mengapa pria itu mengunjungiku di waktu yang kurang tepat? Aku spontan menggeleng, lantas mencoba mengenyahkan segenap pikiran buruk yang muncul di dalam kepalaku—memutar kuncinya dan menarik kosen itu yang serta-merta membuatku menyaksikan
“Cium aku.”Aku terperangah, lantas membenturkan keningku pada pundak Aldrich sebab ukuran tubuhku memang hanya berkisar setinggi itu di hadapannya—berharap tindakan yang baru saja kulakukan dapat memberikan efek menyakitkan baginya. Namun, aku justru mencederai diriku sendiri. Aku mengaduh dan kepalaku mendadak jadi pening—astaga, mengapa tubuh pria itu seperti batu?“Apa yang kau lakukan?” tanya Aldrich—ekspresi wajahnya menahan geli.“Apa hanya itu yang ada di dalam otakmu? Mengapa kau tidak bisa mengontrol pikiranmu?” jeritku gusar sambil menggertakkan gigi padanya.“Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, Anna? Aku selalu kehilangan kendali jika aku