Selangkah lagi, maka aku akan mengetahui siapa yang tengah bersembunyi di balik sana. Namun, Aldrich mendadak meneriakkan namaku dengan intonasi nyaring. Nada sumbang yang serta-merta memekakkan kedua telingaku saat makhluk misterius yang mulanya mengintip itu lantas keluar dari cabang-cabang berakar dengan gerakan melompat ke arahku dan seluruhnya berganti menjadi hitam—warna gelap yang hanya ada di dalam kepalaku.
Aku kehilangan kesadaran.
Hanya selama dua atau tiga menit sebab mataku kembali terbuka setelah Aldrich dan wanita cantik itu terlibat aksi saling dorong-mendorong tak jauh dari hadapanku. Aku meringis selepas pergerakan yang kulakukan mengirim segenap reaksi lain di bagian belakang kepalaku—rasa pusing mendadak menyerang—melengkapi ketidakberdayaan yang melandaku sekarang.
Keningku berkerut bingung, kemudian menoleh ke arah yang tengah wanita vampir itu soroti sekarang. Aku sontak mendapati gerombolan sosok yang kukenali berjalan mendekat pada kami—Xaferius dan kelompoknya. Pria itu dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Dia terluka.Xaferius-ku.“Apa yang terjadi?” bisikku yang lantas mengambil posisi berdiri tanpa memedulikan jalanku yang masih sempoyongan.“Lihatlah, Aldrich. Manusiamu langsung bergerak ke arah Xaferius berada sekarang. Bukankah itu menakjubkan? Mereka saling merindukan satu sama lain,” komentar Pavla yang memancing emosi Aldrich naik ke permukaan.“Tutup mulutmu!” bentak Aldrich sambil menggertakkan giginya.
“Dia akan baik-baik saja setelah istirahat,” ungkap Alastair yang mencoba menenangkanku.“Dia kurang tidur, Anna. Dia juga tidak makan dengan benar selepas kepergianmu,” sambung Matthew yang datang dari arah belakang.“Mereka benar. Biarkan dia istirahat. Berikan dia waktu untuk pulih. Itu saja,” tambah Simon yang ikut menimpali.“Baiklah, tetapi bagaimana dengan keadaan portal? Apa Pavla masih berbuat ulah di sana?” bisikku yang masih enggan mengalihkan pandangan dari Xaferius yang sedang tidur di kamarnya sekarang.“Ada Adaire dan yang lainnya. Mereka akan mengurus vampir pembuat onar itu,” sahut Simon dengan nada lembut yang memberikan pengaruh nyaman.
“Itu Shaunn. Dia tahu kau pasti bersamanya.”Jadi, Shaunn yang mengirimkan kabar itu pada Aldrich. Entah apa yang sedang pria itu lakukan sekarang. Aku langsung meninggalkannya di portal setelah mendapati Xaferius tak sadarkan diri. Namun, kuharap dia tetap baik-baik saja.“Baiklah. Kami harus pergi sekarang,” ungkap Matthew yang mengangguk padaku.Aku kemudian balas mengangguk dan mengulas senyum tipis padanya, “Ya. Kalian berhati-hatilah. Kabari aku lagi.”“Kau tidak perlu khawatir mengenai hal itu.”Mereka bertiga melenggang keluar dari dalam ruangan dengan langkah panjang. Alastair berada di lini terdepan,
“Aku juga tahu perbuatan yang coba kau sembunyikan dariku, Anna. Aku tahu di bagian tubuhmu yang mana yang telah dia lihat dan sentuh,” sambungnya dengan tersenyum samar—tipis dan nyaris seperti bayangan—atau barangkali indra penglihatanku memang membuat kesalahan lain.“Be-benarkah?”“Itu benar. Bukankah sudah pernah kukatakan padamu? Kau tidak akan sanggup menutupi sesuatu dariku, dari kaum werewolf. Aku mencium bau Aldrich di seluruh tubuhmu.”Sial, pikirku. Semua karena Aldrich. Tidak. Bukan, sama sekali bukan. Aku tak boleh menyalahkan pria malang itu sebab kami melakukannya dengan kesediaan diri kami masing-masing.
“Kau milikku, Anna. Milikku. Tidak peduli apa yang terjadi, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengubah status itu dariku.”Xaferius seketika menarik tubuhku dan menjatuhkannya dalam dekapan. Kami saling memagut dengan berjuta perasaan yang berkecamuk di benakku. Sulit mengingkari bahwa aku merindukan sekaligus mendambakan sentuhan yang lebih jauh daripada ini.“Aku akan menghilangkan bau sialan ini dari tubuhmu,” geram Xaferius yang mengangkat kepalaku ke atas—mendongakkannya ke arah wajahnya sendiri—dan menciumku dengan lumatan yang luar biasa.Bibir Xaferius mengecupku berulang-ulang kali. Dia merebut napasku dariku—membuatku limbung—nyaris memohon untuk dilemparkan ke dunia yang sering kali membutakanku. Aku terengah-eng
Xaferius seketika menarik gigitannya dengan bibir yang masih dipenuhi darah, lantas mengarahkan tatapannya padaku, “Sakit? Bagus, kau memang layak mendapatkannya.”“Sakit sekali,” rengekku sambil menahan tangis.“Apa kau masih berpikir bahwa aku pasangan yang sempurna sekarang setelah hukuman yang kau dapatkan?”Air mataku pun serta-merta tumpah di hadapan Xaferius dan bergumam, “Maafkan aku.”“Aku memang akan selalu memaafkanmu, tetapi kau harus membayar pengkhianatan yang telah kau lakukan secara sadar di belakangku dengan cara yang berbeda.”“Apa maksudmu?”
Kami duduk di atas sofa sekarang—berpelukan dan menikmati dua cangkir minuman cokelat panas—seperti pasangan normal. Aku membuka percakapan yang rasanya sudah lama hilang di antara kami. Xaferius merangkul pundakku dengan lembut sambil sesekali mengangguk atau menggeleng sebagai tanggapan.“Jadi, bagaimana kondisi portal? Apa semuanya baik-baik saja?”“Kau tidak perlu mencemaskan hal itu, Anna. Mereka telah mengurusnya.”“Aku hanya penasaran.”“Gadisku memang selalu ingin tahu,” seloroh Xaferius yang tersenyum samar padaku.“Kau belum menceritakan tentang lukamu. Bagaimana kau mendapatkannya?
Hari-hari yang kulalui bersama Xaferius selalu menyenangkan—penuh afeksi—di setiap detiknya. Bulan-bulan bergeser dengan cepat. Kami pun tiba di penghujung tahun dan musim dingin datang jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Suhu turun drastis di titik minus, sementara salju terus berjatuhan sejak tadi malam. Rasanya seolah-olah embusan napasku sanggup membeku kapan saja.Kehidupan kami terasa monoton, tetapi tenang selepas Pavla menghilang dari insiden mengerikan yang telah terjadi di kawasan portal waktu itu. Dia tak lagi muncul atau bahkan terdengar kabarnya oleh para kawanan, begitu juga dengan Aldrich. Aku sudah lama sekali tak bertemu dengan pria itu. Ikatan yang pernah terjalin di antara kami berdua pun serta-merta berakhir setelah dia menjauh.“Apa kau sudah siap, Anna?” tanya Xaferius yang masih sabar