Share

6. Déjà vu

Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.

“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.

“Iya, seperti yang kau lihat.”

“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.

“Namanya Anna, Aldrich.”

“Apa si Anna ini teman ranjangmu atau kau mulai mengubah gaya hidup dengan menyantap darah manusia juga?” selidik Aldrich yang masih enggan mengalihkan pandangannya dari sekujur tubuhku.

“Jaga bicaramu, sialan,” bentak Xaferius.

“Kupikir—”

“Tutup mulutmu. Ini...” Xaferius melemparkan kantong-kantong darah itu pada Aldrich yang seketika menangkapnya dengan sigap. “Masukkan saja ke dalam lemari pendingin.”

Aku menyisir rambutku dengan jemari, berusaha menghilangkan perasaan gugup yang mendadak menyergapku. Werewolf lain... bagaimana caraku mengatasinya? Apa aku harus menyapa dan melambai padanya?

“Kemarilah, Anna. Apa kau baik-baik saja?” tanya Xaferius yang tampak khawatir, kedua alisnya yang tebal bertaut padaku.

“Iya, tentu saja. Aku hanya... um, sedikit tidak enak badan,” kilahku.

“Kau tahu kau tidak pintar berbohong, tetapi masih sering melakukannya. Lucu juga,” komentarnya.

“Aku baik-baik saja.”

“Beristirahatlah di kamar, Anna.”

Aku menurut, selain tidak ingin berdebat, aku juga ingin segera pergi dari hadapan Aldrich yang selalu mengawasi setiap langkah dan gerak-gerikku. Caranya memandang membuatku risi. Apa ada yang salah dari penampilanku? Aku mengecek pakaian yang sedang kukenakan, lengkap. Tidak ada kotoran atau robekan apa pun, semuanya masih wajar. Jadi, apa masalahnya?

“Aku... aku pergi ke kamar sekarang,” pamitku pada Xaferius sambil menyunggingkan senyum yang dipaksakan.

Xaferius mengedipkan kedua matanya sebagai balasan untuk ‘iya’. Dia memperhatikanku naik, kemudian beralih pada Aldrich yang masih tetap memberiku tatapan mengerikan itu. Aku bergidik membayangkan apa yang sedang pria itu pikirkan sekarang. 

Darahmu, sela suara dalam kepalaku. 

Tidak semua, tetapi sebagian besar dari golongan yang bertaring menggemari itu, bukan? Apa itu juga ada kaitannya dengan aroma tubuhku seperti yang Xaferius katakan tadi? Jika itu benar, aku dalam bahaya sekarang.

Setelah kaki kananku berpijak di anak tangga keempat, Aldrich bergerak dalam kecepatan luar biasa—tubuhnya melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya, dia menerkam punggungku. Aku terpental dari railing, tubuhku menghantam permukaan lantai marmer dan terguling ke sudut dinding. Semuanya terjadi begitu cepat seperti sebuah film yang dibuat dalam mode fast forward. Namun, anehnya, aku tidak merasa sakit sama sekali. Sesuatu yang seharusnya kurasakan saat jatuh atau membentur benda keras.

Xaferius. Dia lagi-lagi menyelamatkanku. Tubuhnya yang besar menghalangi tubrukan parah yang dapat terjadi, jika dia tidak bergerak lebih cepat untuk melindungiku. Aku tidak bisa melukiskan kata-kata yang cocok atas semua kecepatan yang mereka punya, kecuali mustahil.

“Apa kau terluka?” semburnya lewat sela giginya yang bergemeletuk nyaring.

Aku hanya mampu menggeleng, berusaha menormalkan degup jantung yang memukul dadaku. Apa yang terjadi? Mengapa Aldrich bertindak sekasar itu padaku? Aku menggulir sepasang mataku ke depan, tetapi justru mendapati pemandangan yang benar-benar tidak ingin kulihat. Aldrich belum berhenti memburuku, dia masih memasang sikap siaga. Tubuhnya condong ke depan, siap untuk menerjang.

Déjà vu. Aku mendadak teringat pada peristiwa pertemuan pertamaku dengan Xaferius dan lainnya. Adaire—pria berambut tembaga ikal itu juga nyaris menerkamku dengan sorot mata yang sama, lapar. Aku memekik, berharap kematian tidak datang secepat ini menjemputku. Aku masih ingin hidup, mewujudkan impian yang tertunda; membuka toko bunga... pergi ke makam Dad dan Mom dengan karangan bunga karyaku sendiri.

“Mundur!” raung Xaferius yang terlebih dahulu menerjang, dia melompat dalam gerakan luwes seketika berubah wujud menjadi serigala hitam.

Aldrich terjerembap ke belakang, tubuhnya membentur lemari yang digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pecah belah itu, menimbulkan suara debam yang memenuhi seantero ruangan. Dia balas meraung, lantas bangkit dan bertransformasi seperti yang Xaferius lakukan sebelumnya. Tubuh pria itu bergetar, berganti menjadi sosok lain dalam sekejap.

Serigala putih.

Serigala putih itu—Aldrich, surainya sedikit lebih pendek, tetapi indah. Potongannya rapi, menjuntai dari arah dagu ke tengkuk. Ukuran tubuhnya sama besar dengan Xaferius, garang dan tegap. Sorot matanya dikuasai obsesi. Ciri-ciri yang hanya dimiliki oleh seekor Alpha, persis seperti yang kulihat dalam diri Xaferius.

Hewan berkaki empat itu mendengking dan menghancurkan nyaris semua jenis perabotan hanya dengan satu lompatan dari tapak kakinya yang lebar. Dia menggeram, siap untuk menyerang. Namun, serigala hitam yang berdiri di hadapanku melancarkan aksi lebih dahulu. Mereka saling merangkul dan menjatuhkan, mengimpit satu sama lain. Pergulatan itu terus berlangsung, tidak terhitung jumlah barang-barang yang hanya tinggal menyisakan jejak serpihan kecil di atas lantai.

Warna bulu yang kontras itu mengingatkanku pada simbol yin-yang; hitam dan putih, dua sisi elemen yang bertentangan. Tidak dapat berdiri sendiri, tanpa didampingi hal lainnya yang bersifat kebalikan. Namun, mereka saling melengkapi dan membentuk aspek dalam kehidupan.

Duo werewolf itu masih bergumul, belum menunjukkan tanda untuk mengakhiri pertarungan. Xaferius terlempar ke meja, disusul suara berdebam yang mengejutkan. Benda berbentuk persegi panjang itu remuk menjadi kepingan. Dia dengan tangkas bergerak membalas, taringnya yang tajam menancap di punggung Aldrich, membuat serigala putih itu melolong kesakitan.

Suasana mendadak berubah mencekam, jika pertempuran itu tidak berhenti juga, maka mereka atau salah satu dari mereka pasti terluka. Apa yang harus kulakukan? Berpikirlah, Anna... pikirkan cara terbaik untuk menyudahi perkelahian ini.

Sepasang kakiku refleks melangkah menuju ke arah Aldrich dan Xaferius yang saling menggigit. Sesuatu yang berisiko, tetapi aku tidak memikirkan konsekuensinya, toh aku telah terlibat dengan kaum immortal. Sejak awal, aku juga mengetahui bahwa emosi para werewolf tidak stabil. Mereka cenderung ceroboh dalam mengelola luapan perasaan, sehingga menyakiti orang-orang atau siapa saja yang berada dalam radius dekat dengannya.

“Xaferius?” panggilku, berharap mereka berhenti.

Serigala hitam itu tersentak, seolah-olah baru menyadari aku masih berada di dalam ruangan yang sama dengannya. Sepasang matanya yang bulat mengerjap-ngerjap, sontak mengalihkan pandangannya dari Aldrich. Punggungnya bergetar, kemudian bertransformasi ke wujud manusia lagi. Dia menghampiriku dengan dua langkah yang panjang, memelukku begitu erat. Aroma parfumnya yang harum menguar melalui pori-pori kulitnya. Bau khas elemen kayu itu berpadu dengan buah apel dan bergamot—membungkus semua kekhawatiran yang menggantung di benakku, membuatnya menguap tanpa bekas.

“Dasar bodoh, seharusnya kau menjauhi area pertempuran. Jika aku benar-benar kehilangan pengendalian diri tadi, kau mungkin saja terluka karena kami. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri,” tandas Xaferius sambil mengelus puncak kepalaku.

“Aku tidak ingin kau terluka,” akuku.

“Aku tidak akan terluka semudah itu, Anna,” desah Xaferius, suaranya parau.

“Aku tahu, tetapi—”

Suara dengking lewat moncong serigala putih itu menyela, punggungnya ikut bergetar seiring dengan pandangan yang menyiratkan emosi dari balik pupil sempit matanya. Dia kembali menjelma menjadi sosok manusia yang menawan. Model rambutnya yang ditata ala undercut man bun itu sedikit berantakan, cepolnya miring ke kiri dan membuat sebagian helainya keluar dari jalur. Namun, gaya itu justru memberi kesan badass yang pas sebagai visual lengkap dari dirinya. Sepasang iris hijaunya yang serupa batu peridot mengerling pada kami—jernih, tetapi berbahaya. Kulitnya tampak mengilap diterpa sinar matahari yang masuk melalui celah jendela. Warnanya bukan cokelat, cenderung kuning, seperti buah-buahan daerah tropis yang ideal dan sesuai untuk figurnya yang sarat dengan kebebasan. Singkat kata, pria itu juga mempunyai daya tarik yang dapat memorak-porandakan fokusmu—fokusku juga. Tanpa cela, sempurna.

Aku bertanya-tanya, apa wajah seperti mereka memang umum dalam dunia immortal atau hanya berlaku untuk beberapa kaum tertentu saja?

“Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu, manusia,”  bisik Aldrich yang masih berdiri mematung di posisinya.

Dia mengusap-usap tengkuknya, canggung. Bibirnya berkedut-kedut membentuk seringai yang tidak bisa kutebak maknanya. Menyesal atau mengejek, aku tidak tahu.

“Anna,” koreksi Xaferius dengan nada kasar. “Apa yang kau pikirkan, bodoh? Apa kau ingin membunuhnya?”

“Aku tidak ingin membunuhnya,” kilah Aldrich. “A-aku... well, aku kehilangan pengendalian diri. Aroma tubuhnya membuatku gila. Aku tidak pernah mencium bau sekuat itu sejak sembilan puluh tahun terakhir, kecuali seseorang yang kukenal di sekolah dahulu.”

“Jadi, kau menyerangnya berdasarkan alasan konyol itu? Kau seorang Alpha dalam pack-mu, tetapi kau bahkan tidak bisa mengontrol dirimu sendiri. Kau memalukan,” cecar Xaferius.

Aldrich menggertakkan giginya, “Dan atas dasar apa kau mencercaku, hah?”

“Atas dasar nyawa yang ada di belakangku ini,” tunjuk Xaferius ke wajahku. “Kau bertindak sembrono! Jika sampai terjadi sesuatu pada Anna, aku benar-benar tidak akan memaafkanmu.”

“Aku sudah meminta maaf padanya, bukan? Itu tidak sengaja.”

“Pergilah dari sini, Aldrich.”

“Apa kau mengusirku?” tanya Aldrich, dia menatap Xaferius dengan sorot mata tidak percaya.

“Aku tidak mengusirmu,” seru Xaferius yang emosinya terusik lagi.

“Kau mendepakku keluar hanya karena seorang manusia. Apa kau sadar?”

“Jangan coba-coba membuatku marah, Aldrich. Aku harus merapikan semua kekacauan yang kau buat di sini. Pergilah, sekarang,” semburnya, tangan kirinya mengepal kuat-kuat.

Aku tidak sanggup menyaksikan pertarungan yang lain. Aku tidak ingin Aldrich dan Xaferius saling menyakiti. Itu salah, mereka keluarga. Namun, aku lupa, hubunganku dengan Paman Scott juga merupakan kerabat yang dinaungi ikatan bernama keluarga. Keluarga adalah segalanya, tetapi apa itu benar-benar berlaku untuk semua orang? Berapa banyak yang merasa terjebak di dalam keluarganya sendiri, menunggu agar dapat melarikan diri dalam bentuk keajaiban atau bahkan kematian?

“Ja-jangan berkelahi lagi, kumohon,” selaku pada mereka.

“Anna, ya?” komentar Aldrich, pandangannya beralih padaku. “Terus terang, kau tampak begitu... menggoda. Aku suka caramu berbicara dengan sorot mata yang takut. Kau memprovokasi insting lain dalam diriku. Apa kau ingin bergabung dengan pack-ku?”

Keningku mengerut, syok, “A-apa?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status