Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit.
Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa sosok wajah yang tidak asing—aku yakin pernah melihat mereka sebelumnya, tetapi di mana? Ugh, kupikir pria itu memang benar. Ingatanku buruk seperti ikan.
Xaferius.
Nama itu secara tiba-tiba merasuk dalam kepalaku, memutar memori demi memori yang terlupakan—selama aku pingsan atau tidur, aku tidak tahu, mengembalikan semua ingatan dengan citra visual yang detail. Hutan belantara yang dihuni para makhluk misterius itu... portal... werewolf... dan vampir... dan peri, juga padang ilalang serta langitnya yang memantrai diriku untuk terikat pada sejuta pesonanya. Aku yakin bahwa aku masih seratus persen waras, aku tidak gila.
“Selamat pagi, Anna. Bagaimana tidurmu semalam?” sapa suara bariton yang sama dari arah pintu kamar.
Itu Xaferius, itu benar-benar dirinya. Dia menyandarkan satu sisi tubuhnya di dinding sambil bersedekap dan mengumbar senyum padaku. Aku memperhatikan wajahnya lekat-lekat, tidak berubah. Pria itu masih terlihat sama seperti terakhir kali aku mengingatnya. Tampan dan sempurna.
“Tidak pernah senyenyak tadi malam. Apa ini rumahmu?”
“Tentu saja. Apa yang kau harapkan? Gua? Rumah pondok di atas pohon?” kekehnya sambil mengerling padaku.
Aku tidak terkejut para werewolf ternyata dapat bergaul dengan mudah di antara kami, tanpa harus berjuang untuk menyembunyikan keberadaan mereka. Xaferius dan para kawanannya berbaur dengan leluasa, seolah-olah perbedaan itu tidak pernah ada. Setidaknya, itu melalui perspektifku.
Apa Alexandr dan klannya yang lain juga begitu? Hidup seperti manusia normal—bekerja, sekolah, berinteraksi dengan orang-orang... makan... atau ada pengecualian bagi kaum pemburu? Aku penasaran, tetapi tidak tertarik untuk menelusuri lebih jauh lagi. Aku sadar, jika setiap hal mempunyai batasan yang tidak boleh dilanggar.
“Apa kau lapar?”
“Tidak, aku—”
“Benarkah? I can hear your stomach growling so loud.”
Aku tertunduk menyembunyikan rasa panas di kedua pipiku, “Maaf. Itu terjadi di luar kendali. Biarkan aku memasak makananku sendiri.”
“Kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Ikutlah denganku ke lantai bawah,” kata Xaferius, dia menelengkan kepalanya memberi kode untuk menurutinya.
Aku membalasnya dengan tatapan bimbang. Apa Xaferius makan seperti kami? Aku tahu dia juga separuh manusia, tetapi aku tidak tahu seberapa dominan darah serigala itu di dalam dirinya—mempengaruhi sebagian besar selera dan tabiatnya, atau dia hanya memangsa hewan-hewan lain. Berakting makan dengan normal hanya sebagai kedok untuk menutupi identitasnya.
“Baiklah,” sahutku, mengekor di belakang punggungnya yang bidang.
Kami bergerak menuruni tangga yang railing-nya dihiasi oleh ornamen ukir berwarna emas dan hitam. Tidak panjang, hanya sekitar tujuh atau delapan anak tangga, kemudian membawa kami tiba di lorong dapur. Ruangan itu dipenuhi nuansa yang sama, arsitektur megah di setiap corak dan polanya. Kabinet-kabinet yang dikombinasi warna-warni cerah. Ubinnya dipilih secara elektif untuk menguatkan kesan antik. Peralatan makan, minumnya bermotif abstrak tribal dan mozaik.
“Your breakfast is served, Sir.”
Aku menoleh ke asal suara. Seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian ala koki lengkap dengan celemek, coat, dan topinya membungkuk takzim pada kami—atau Xaferius, lebih tepatnya. Sudut bibirnya terangkat, membentuk segaris senyum. Sementara kedua tangannya terulur ke depan, mengarah pada meja persegi panjang yang terbuat dari bahan kayu solid lengkap bersama set taplak dan lilin-lilin diameter sedang yang diletakkan dalam sebuah penyangga berjumlah lima lengan.
“Ah, bagus, Pablo. Apa menunya hari ini?” komentar Xaferius, dia melirik deretan masakan yang tersaji di hadapannya dengan sorot lapar.
Aku terpana pada sikap Xaferius yang terlihat natural, tidak berpura-pura atau melebih-lebihkan. Apa dia selalu berakting seperti itu setiap harinya? Jika itu memang benar, ternyata dia juga seorang aktor yang andal.
“Sesuai seperti yang Anda minta, Sir.”
“Kau tidak pernah mengecewakanku, Pablo. Terima kasih,” puji Xaferius sambil menggandengku menuju ke arah kursi. “Ah, omong-omong, perkenalkan, ini Anna. Anna, dia Pablo, juru masak pribadiku.”
Wow, juru masak pribadi? Xaferius selalu menyimpan kejutan yang membuatku tidak pernah mengerti dengan hedonisme dan gaya hidup orang-orang kaya seperti dirinya—atau para werewolf kaya seperti dirinya, ralatku.
“Selamat pagi, Tuan Pablo. Aromanya lezat sekali,” sapaku, melemparkan seulas senyum padanya.
Pablo lagi-lagi membungkuk, “Terima kasih atas pujiannya, Nona Anna. Cukup panggil Pablo saja.”
“Anna saja,” koreksiku, membalas permintaannya.
Pablo tersenyum, lebar sekali, sampai-sampai sepasang matanya menghilang, “Baiklah, Anna. Selamat menikmati sarapan Anda.”
Aku memperhatikan Pablo yang bergerak ke arah lift, dalam waktu singkat, sosoknya pun lenyap ke ruangan lain yang ada di baliknya. Xaferius memanggil dan memintaku duduk di sampingnya. Dia menyodorkan segelas air putih padaku, memberi kode agar aku segera meminumnya hanya lewat tatapan matanya.
“Terima kasih,” kataku langsung mengangkat gelas itu, agar menghindari canggung karena tidak terbiasa dilayani.
“Kau boleh makan apa pun yang kau mau, Anna.”
Aku menaruh gelas itu kembali setelah menenggaknya beberapa kali, “Baiklah.”
Sebagian dari hidangan masih mengepul, begitu menggugah selera dan menerbitkan air liur. Ada bacon, baked beans, sosis, telur, juga tumis jamur. Tidak ketinggalan haggis—makanan yang terbuat dari bahan dasar jeroan domba dan cranachan—dessert berbahan dasar oatmeal yang dicampur madu, rasberi, dan whipped cream. Terus terang, aku tidak pernah disuguhkan sarapan sebanyak ini. Roti tawar gandum atau sereal biasanya sudah lebih dari cukup untuk memulai sebuah hari bagiku.
“Aku sengaja menyuruh semua pelayan untuk pergi agar kau bisa makan dengan lebih nyaman. Makanlah, kau sudah dua hari tidak makan, bukan?”
Suara perutku kembali berbunyi, mengiyakan pertanyaan yang Xaferius lontarkan. Aku menyembunyikan wajahku sambil menggumamkan permintaan maaf. Memalukan sekali, pikirku.
Akhirnya, kami—aku dan Xaferius, makan dengan tenang. Dia duduk dan menyendoki sepiring bacon, telur, juga tumis jamur ke dalam mulutnya dengan potongan yang besar. Pria itu tampak menikmati setiap gigitan di porsinya, tanpa merasa jijik atau terpaksa.
Aku tercengang menonton dirinya sampai satu suapan kembali dikunyah dan Xaferius mulai menyadari jika gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, “Ada apa, Anna? Apa kau tidak suka menunya?”
“Eh? Tidak, bukan itu.”
“Apa kau seorang vegetarian?” tebaknya, satu alisnya terangkat.
“Apa steik termasuk dalam kategori makanan vegetarian?"
"Kuanggap jawabannya adalah tidak."
"Aku penasaran,” sahutku mengakui sambil menggigit bibir.
“Sepanjang yang kuamati, kau memang selalu penasaran.”
“Apa... aku boleh menanyakan sesuatu padamu?” lanjutku dengan hati-hati.
Xaferius menghela nafas, sebelum bibirnya melengkung membuat senyuman, “Tentu saja, Anna. Kau tidak perlu takut padaku. Darah manusia tidak terlalu lezat bagiku. Namun, kau adalah pengecualian untuk itu.”
Xaferius memperhatikan ekspresi wajahku yang membeku, dia tergelak-gelak, merasa senang saat lelucon itu sukses menipuku, “Mengapa kau serius sekali? Aku hanya bercanda.”
“Tidak adakah yang pernah memberitahumu bahwa takut dan humor tidak pernah selaras?”
“Jangan marah, Anna. Jadi, apa yang ingin kau tahu?”
“Itu... kau... bisa makan sepertiku?”
Xaferius mengangkat segelas kopi, dia mengedipkan salah satu matanya padaku, lantas menyesap minuman berkafein itu sampai menimbulkan suara decap yang terdengar olehku, “Aku bisa makan, Anna. Mengapa kau pikir aku tidak bisa?”
“Kupikir were—maksudku, kalian, tidak bisa makan makanan seperti ini.”
“Kami bisa bertahan dengan keduanya. Darah hewan atau makanan manusia, tetapi akhir-akhir ini aku lebih suka bacon dan steik.”
“Mengapa?” cetusku lagi, masih ingin terus-menerus mengoceh dan mengetahui lebih banyak tentang dirinya—sesuatu yang akhirnya kusesali.
“Mengapa? Well, sejak kau datang, aroma tubuhmu memaksaku untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak boleh kulakukan. Contohnya, berada terlalu dekat denganmu.”
Aku terkesiap, saat Xaferius mendadak bergerak meraih pinggangku. Kedua tangannya merayap di punggungku, menekan dan mendekap begitu erat. Sentuhan itu mengirim sinyal baru yang membuat sekujur tubuhku menggigil karena nyaris kehilangan akal sehat.
“Mereka benar, Anna. Kau memabukkan bahkan untuk ukuran Alpha sepertiku. Jika pengendalian diri itu tidak pernah ada, kau mungkin sudah berada di bawahku sekarang, mengerang atau menangis oleh kenikmatan yang bisa kuberikan padamu. Aku hanya takut obsesiku makin lama makin besar dan percayalah, itu tidak akan berakhir baik,” bisik Xaferius, suaranya serak dibungkus gairah yang menyala di dalam sepasang matanya.
“Apa kau mencoba untuk membuatku takut?”
“Sayangnya, aku serius. I’m not most guys, try me.”
“Aku bukan pengecut,” tantangku—sial, apa yang kulakukan?
Aku tahu aku seharusnya takut pada Xaferius. Reaksi yang sebagaimana mestinya terjadi, tetapi dorongan untuk menyentuh dan merasakan bibirnya sangat kuat. Tangan kananku terulur, nyaris menyapukan jemariku di sana, memastikan sosoknya memang nyata, bukan hanya sekadar imaji siang bolongku yang lain. Namun, suara dering ponsel Xaferius tiba-tiba terdengar, membuyarkan aksi kami untuk bertindak lebih jauh dari itu.
Aku langsung tergagap-gagap dan mengambil jarak, mempersilakan Xaferius untuk menerima panggilan yang terlihat penting—benda elektronik berlogo buah apel itu terus berdering dari balik saku kemejanya, menuntut perhatian dari si empunya. Dia bergerak menjauh ke arah jendela, berbicara pada si pemanggil. Pria itu kembali setelah selesai, dia mendekat dan membelai ujung rambutku. Gerakannya lembut, seolah-olah ingin merasakan gelombang di setiap helainya.
“I’ve had always my whole life wanted to brush a girl’s hair over her ear. Akhirnya, aku mempunyai kesempatan itu sekarang,” tutur Xaferius yang memandangku dengan tatapan memuja.
Dadaku seketika dipenuhi gelembung-gelembung panas yang membuatku senewen. Perasaan itu membuncah dan menyesaki pikiranku. Aku bertanya-tanya apa yang kurasakan merupakan sesuatu yang lazim untuk seorang pria—yang bukan berasal dari kalangan sepertiku, atau apa aku telah terjebak dalam sebuah hubungan terlarang dengan makhluk immortal, tetapi Xaferius sama sekali bukan subjek yang salah.
“Kita kedatangan tamu hari ini, Anna. Aldrich, sepupuku akan datang berkunjung,” tambahnya.
“Apa dia juga seorang...?”
“Iya. Apa kau takut sekarang?” goda pria itu sambil tersenyum menyeringai padaku.
Bersiaplah, bisik suara dalam kepalaku. Kau tahu hidupmu tidak lagi sama setelah kau mengenalnya, bukan?
***
Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.“Iya, seperti yang kau lihat.”“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.“Namanya Anna, Aldrich.”
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.“Apa yang kau katakan?”Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”“Tentu saja
Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya.Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya.“Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya.Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Aku memekik, terbangun dari mimpi buruk dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhku. Pakaian yang sedang kukenakan terasa lengket, menjiplak di beberapa bagian anggota tubuh tertentu. Aku baru menyadari sepasang tanganku terikat, saat aku bermaksud ingin menyeka bulir yang jatuh meleleh di ujung hidungku. Siapa yang melakukannya?Aku panik, berusaha melepaskan diri dari bebatan itu. Aku meronta-ronta dan menggigitnya dengan gigiku. Namun, hasilnya nihil. Tali itu masih tetap mengekang, membuatku tidak bisa bergerak leluasa.“Ah, rupanya Tuan Putri sudah bangun,” celetuk suara itu dari arah pintu yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuhnya.“Aldrich?”“Ya, ini aku.”
Rabu.Kamis.Jumat.Sabtu.Aku berulang kali memandangi almanak meja di samping tempat tidur, menghitung hari-hari yang terasa panjang. Sesekali menyibak tirai sutra hijau zamrud yang selaras dengan warna cat di dinding, menengok ke arah jalanan yang selalu sibuk. Rumah Aldrich terletak di tepi lembah yang langsung mengarah ke kelompok permukiman, jadi aku sering memperhatikan detail kecil dari diorama kota yang hanya menawarkan sisi metropolis dan hingar bingarnya, melupakan sisi lain kawasan urban yang juga berperan sebagai arena kontestasi. Tidak banyak yang kulihat, selain laju kendaraan memadati lalu lintas. Mereka saling beradu cepat untuk mengklakson dan mendahului, seolah-olah sedang dikejar waktu.
Aku berterima kasih pada suara ketukan di pintu yang—lagi-lagi terdengar seperti garukan, membuyarkan aksi Aldrich yang nekat dan tidak pantas. Aku berkelit dari dekapannya, merapikan posisi pakaianku dengan benar, memastikan tidak ada bagian yang terlipat agar para pelayan itu tidak menyadari perbuatan memalukan kami. Perbuatan majikan mereka—Aldrich, ralatku.Aldrich bergerak ke tepi ranjang, sikapnya masih tetap tenang. Dia merapikan kerah kemeja buntungnya yang berantakan, kemudian berdiri menepuk-nepuk celana jengkinya yang kusut sambil mencuri pandang ke arahku lewat sudut matanya. Aku membuang muka, memandang sebuah tanaman echinocactus grusoni—jenis kaktus yang berasal dari Meksiko, berbentuk gentong, berduri-duri besar, kuat, dan tajam dengan warna kuning emas, di atas rak gantung. Ide untuk melempar wajah pria itu dengan kaktus mendadak muncul, tindakan ya
Aku bolak-balik menoleh ke arah dinding—tempat di mana alat pengukur waktu itu tergantung, benda berbentuk segitiga itu terus berdetak dari detik ke menit, dari menit ke jam. Jarum penunjuknya menuju ke angka enam, tetapi langit masih tetap terang.Aku menunggu, duduk di pinggir jendela geser yang terbuka sambil melongok ke bawah dan mengutuk Aldrich. Mengapa dia harus membangun rumah di area terpencil? Aku telah memperhitungkan jarak untuk melompat—tinggi sekali, aku bahkan tidak yakin kedua kakiku masih dalam kondisi baik-baik saja jika aku nekat melakukannya.Tenanglah, Anna.Pikirkan cara yang lain.Aku menarik napas, mengembuskannya dengan kasar. Apa yang harus kulakukan? Ide untuk melompat ternyata