Share

5. Terjebak

Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan.

Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit.

Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa sosok wajah yang tidak asing—aku yakin pernah melihat mereka sebelumnya, tetapi di mana? Ugh, kupikir pria itu memang benar. Ingatanku buruk seperti ikan.

Xaferius.

Nama itu secara tiba-tiba merasuk dalam kepalaku, memutar memori demi memori yang terlupakan—selama aku pingsan atau tidur, aku tidak tahu, mengembalikan semua ingatan dengan citra visual yang detail. Hutan belantara yang dihuni para makhluk misterius itu... portal... werewolf... dan vampir... dan peri, juga padang ilalang serta langitnya yang memantrai diriku untuk terikat pada sejuta pesonanya. Aku yakin bahwa aku masih seratus persen waras, aku tidak gila.

“Selamat pagi, Anna. Bagaimana tidurmu semalam?” sapa suara bariton yang sama dari arah pintu kamar.

Itu Xaferius, itu benar-benar dirinya. Dia menyandarkan satu sisi tubuhnya di dinding sambil bersedekap dan mengumbar senyum padaku. Aku memperhatikan wajahnya lekat-lekat, tidak berubah. Pria itu masih terlihat sama seperti terakhir kali aku mengingatnya. Tampan dan sempurna.

“Tidak pernah senyenyak tadi malam. Apa ini rumahmu?”

“Tentu saja. Apa yang kau harapkan? Gua? Rumah pondok di atas pohon?” kekehnya sambil mengerling padaku.

Aku tidak terkejut para werewolf ternyata dapat bergaul dengan mudah di antara kami, tanpa harus berjuang untuk menyembunyikan keberadaan mereka. Xaferius dan para kawanannya berbaur dengan leluasa, seolah-olah perbedaan itu tidak pernah ada. Setidaknya, itu melalui perspektifku.

Apa Alexandr dan klannya yang lain juga begitu? Hidup seperti manusia normal—bekerja, sekolah, berinteraksi dengan orang-orang... makan... atau ada pengecualian bagi kaum pemburu? Aku penasaran, tetapi tidak tertarik untuk menelusuri lebih jauh lagi. Aku sadar, jika setiap hal mempunyai batasan yang tidak boleh dilanggar.

“Apa kau lapar?”

“Tidak, aku—”

“Benarkah? I can hear your stomach growling so loud.”

Aku tertunduk menyembunyikan rasa panas di kedua pipiku, “Maaf. Itu terjadi di luar kendali. Biarkan aku memasak makananku sendiri.”

“Kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Ikutlah denganku ke lantai bawah,” kata Xaferius, dia menelengkan kepalanya memberi kode untuk menurutinya.

Aku membalasnya dengan tatapan bimbang. Apa Xaferius makan seperti kami? Aku tahu dia juga separuh manusia, tetapi aku tidak tahu seberapa dominan darah serigala itu di dalam dirinya—mempengaruhi sebagian besar selera dan tabiatnya, atau dia hanya memangsa hewan-hewan lain. Berakting makan dengan normal hanya sebagai kedok untuk menutupi identitasnya.

“Baiklah,” sahutku, mengekor di belakang punggungnya yang bidang.

Kami bergerak menuruni tangga yang railing-nya dihiasi oleh ornamen ukir berwarna emas dan hitam. Tidak panjang, hanya sekitar tujuh atau delapan anak tangga, kemudian membawa kami tiba di lorong dapur. Ruangan itu dipenuhi nuansa yang sama, arsitektur megah di setiap corak dan polanya. Kabinet-kabinet yang dikombinasi warna-warni cerah. Ubinnya dipilih secara elektif untuk menguatkan kesan antik. Peralatan makan, minumnya bermotif abstrak tribal dan mozaik.

Your breakfast is served, Sir.”

Aku menoleh ke asal suara. Seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian ala koki lengkap dengan celemek, coat, dan topinya membungkuk takzim pada kami—atau Xaferius, lebih tepatnya. Sudut bibirnya terangkat, membentuk segaris senyum. Sementara kedua tangannya terulur ke depan, mengarah pada meja persegi panjang yang terbuat dari bahan kayu solid lengkap bersama set taplak dan lilin-lilin diameter sedang yang diletakkan dalam sebuah penyangga berjumlah lima lengan.

“Ah, bagus, Pablo. Apa menunya hari ini?” komentar Xaferius, dia melirik deretan masakan yang tersaji di hadapannya dengan sorot lapar.

Aku terpana pada sikap Xaferius yang terlihat natural, tidak berpura-pura atau melebih-lebihkan. Apa dia selalu berakting seperti itu setiap harinya? Jika itu memang benar, ternyata dia juga seorang aktor yang andal.

“Sesuai seperti yang Anda minta, Sir.”

“Kau tidak pernah mengecewakanku, Pablo. Terima kasih,” puji Xaferius sambil menggandengku menuju ke arah kursi. “Ah, omong-omong, perkenalkan, ini Anna. Anna, dia Pablo, juru masak pribadiku.”

Wow, juru masak pribadi? Xaferius selalu menyimpan kejutan yang membuatku tidak pernah mengerti dengan hedonisme dan gaya hidup orang-orang kaya seperti dirinya—atau para werewolf kaya seperti dirinya, ralatku.

“Selamat pagi, Tuan Pablo. Aromanya lezat sekali,” sapaku, melemparkan seulas senyum padanya.

Pablo lagi-lagi membungkuk, “Terima kasih atas pujiannya, Nona Anna. Cukup panggil Pablo saja.”

“Anna saja,” koreksiku, membalas permintaannya.

Pablo tersenyum, lebar sekali, sampai-sampai sepasang matanya menghilang, “Baiklah, Anna. Selamat menikmati sarapan Anda.”

Aku memperhatikan Pablo yang bergerak ke arah lift, dalam waktu singkat, sosoknya pun lenyap ke ruangan lain yang ada di baliknya. Xaferius memanggil dan memintaku duduk di sampingnya. Dia menyodorkan segelas air putih padaku, memberi kode agar aku segera meminumnya hanya lewat tatapan matanya.

“Terima kasih,” kataku langsung mengangkat gelas itu, agar menghindari canggung karena tidak terbiasa dilayani.

“Kau boleh makan apa pun yang kau mau, Anna.”

Aku menaruh gelas itu kembali setelah menenggaknya beberapa kali, “Baiklah.”

Sebagian dari hidangan masih mengepul, begitu menggugah selera dan menerbitkan air liur. Ada bacon, baked beans, sosis, telur, juga tumis jamur. Tidak ketinggalan haggis—makanan yang terbuat dari bahan dasar jeroan domba dan cranachandessert berbahan dasar oatmeal yang dicampur madu, rasberi, dan whipped cream. Terus terang, aku tidak pernah disuguhkan sarapan sebanyak ini. Roti tawar gandum atau sereal biasanya sudah lebih dari cukup untuk memulai sebuah hari bagiku.

“Aku sengaja menyuruh semua pelayan untuk pergi agar kau bisa makan dengan lebih nyaman. Makanlah, kau sudah dua hari tidak makan, bukan?”

Suara perutku kembali berbunyi, mengiyakan pertanyaan yang Xaferius lontarkan. Aku menyembunyikan wajahku sambil menggumamkan permintaan maaf. Memalukan sekali, pikirku.

Akhirnya, kami—aku dan Xaferius, makan dengan tenang. Dia duduk dan menyendoki sepiring bacon, telur, juga tumis jamur ke dalam mulutnya dengan potongan yang besar. Pria itu tampak menikmati setiap gigitan di porsinya, tanpa merasa jijik atau terpaksa.

Aku tercengang menonton dirinya sampai satu suapan kembali dikunyah dan Xaferius mulai menyadari jika gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, “Ada apa, Anna? Apa kau tidak suka menunya?”

“Eh? Tidak, bukan itu.”

“Apa kau seorang vegetarian?” tebaknya, satu alisnya terangkat.

“Apa steik termasuk dalam kategori makanan vegetarian?"

"Kuanggap jawabannya adalah tidak."

"Aku penasaran,” sahutku mengakui sambil menggigit bibir.

“Sepanjang yang kuamati, kau memang selalu penasaran.”

“Apa... aku boleh menanyakan sesuatu padamu?” lanjutku dengan hati-hati.

Xaferius menghela nafas, sebelum bibirnya melengkung membuat senyuman, “Tentu saja, Anna. Kau tidak perlu takut padaku. Darah manusia tidak terlalu lezat bagiku. Namun, kau adalah pengecualian untuk itu.”

Xaferius memperhatikan ekspresi wajahku yang membeku, dia tergelak-gelak, merasa senang saat lelucon itu sukses menipuku, “Mengapa kau serius sekali? Aku hanya bercanda.”

“Tidak adakah yang pernah memberitahumu bahwa takut dan humor tidak pernah selaras?”

“Jangan marah, Anna. Jadi, apa yang ingin kau tahu?”

“Itu... kau... bisa makan sepertiku?”

Xaferius mengangkat segelas kopi, dia mengedipkan salah satu matanya padaku, lantas menyesap minuman berkafein itu sampai menimbulkan suara decap yang terdengar olehku, “Aku bisa makan, Anna. Mengapa kau pikir aku tidak bisa?”

“Kupikir were—maksudku, kalian, tidak bisa makan makanan seperti ini.”

“Kami bisa bertahan dengan keduanya. Darah hewan atau makanan manusia, tetapi akhir-akhir ini aku lebih suka bacon dan steik.”

“Mengapa?” cetusku lagi, masih ingin terus-menerus mengoceh dan mengetahui lebih banyak tentang dirinya—sesuatu yang akhirnya kusesali.

“Mengapa? Well, sejak kau datang, aroma tubuhmu memaksaku untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak boleh kulakukan. Contohnya, berada terlalu dekat denganmu.”

Aku terkesiap, saat Xaferius mendadak bergerak meraih pinggangku. Kedua tangannya merayap di punggungku, menekan dan mendekap begitu erat. Sentuhan itu mengirim sinyal baru yang membuat sekujur tubuhku menggigil karena nyaris kehilangan akal sehat.

“Mereka benar, Anna. Kau memabukkan bahkan untuk ukuran Alpha sepertiku. Jika pengendalian diri itu tidak pernah ada, kau mungkin sudah berada di bawahku sekarang, mengerang atau menangis oleh kenikmatan yang bisa kuberikan padamu. Aku hanya takut obsesiku makin lama makin besar dan percayalah, itu tidak akan berakhir baik,” bisik Xaferius, suaranya serak dibungkus gairah yang menyala di dalam sepasang matanya.

“Apa kau mencoba untuk membuatku takut?”

“Sayangnya, aku serius. I’m not most guys, try me.”

“Aku bukan pengecut,” tantangku—sial, apa yang kulakukan?

Aku tahu aku seharusnya takut pada Xaferius. Reaksi yang sebagaimana mestinya terjadi, tetapi dorongan untuk menyentuh dan merasakan bibirnya sangat kuat. Tangan kananku terulur, nyaris menyapukan jemariku di sana, memastikan sosoknya memang nyata, bukan hanya sekadar imaji siang bolongku yang lain. Namun, suara dering ponsel Xaferius tiba-tiba terdengar, membuyarkan aksi kami untuk bertindak lebih jauh dari itu.

Aku langsung tergagap-gagap dan mengambil jarak, mempersilakan Xaferius untuk menerima panggilan yang terlihat penting—benda elektronik berlogo buah apel itu terus berdering dari balik saku kemejanya, menuntut perhatian dari si empunya. Dia bergerak menjauh ke arah jendela, berbicara pada si pemanggil. Pria itu kembali setelah selesai, dia mendekat dan membelai ujung rambutku. Gerakannya lembut, seolah-olah ingin merasakan gelombang di setiap helainya.

I’ve had always my whole life wanted to brush a girl’s hair over her ear. Akhirnya, aku mempunyai kesempatan itu sekarang,” tutur Xaferius yang memandangku dengan tatapan memuja.

Dadaku seketika dipenuhi gelembung-gelembung panas yang membuatku senewen. Perasaan itu membuncah dan menyesaki pikiranku. Aku bertanya-tanya apa yang kurasakan merupakan sesuatu yang lazim untuk seorang pria—yang bukan berasal dari kalangan sepertiku, atau apa aku telah terjebak dalam sebuah hubungan terlarang dengan makhluk immortal, tetapi Xaferius sama sekali bukan subjek yang salah.

“Kita kedatangan tamu hari ini, Anna. Aldrich, sepupuku akan datang berkunjung,” tambahnya.

“Apa dia juga seorang...?”

“Iya. Apa kau takut sekarang?” goda pria itu sambil tersenyum menyeringai padaku.

Bersiaplah, bisik suara dalam kepalaku. Kau tahu hidupmu tidak lagi sama setelah kau mengenalnya, bukan?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status