“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.
“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.
Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.
“Apa yang kau katakan?”
Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”
“Tentu saja. Kau tidak boleh menyukainya,” raung Xaferius.
“Mengapa?”
“Anna milikku, Aldrich.”
“Milikmu?” jawab Aldrich sambil menyeringai, nadanya terdengar mengejek. “Aku tahu Anna masih murni. Kau belum memberikan tanda di tubuhnya. Itu artinya Anna tidak terikat dengan siapa pun, termasuk kau.”
Aku terenyak, tanda apa yang Aldrich maksud? Dan murni? Apa yang sedang mereka bicarakan?
“Aku tidak ingin memaksanya terikat padaku, Aldrich. Hanya itu.”
“Apa maksudnya?” tanyaku pada Xaferius, jemariku menarik-narik ujung kaos bermereknya yang robek di beberapa bagian; kerah dan perut, karena pertempuran mereka sebelumnya.
“Aku tidak peduli, Xaferius. Aku hanya tahu, jika aku harus mendapatkan apa yang kuinginkan dan itu adalah Anna,” lanjut Aldrich tanpa memedulikan aku yang sedang menuntut penjelasan.
“Kau benar-benar keras kepala,” maki Xaferius yang berusaha keras menahan tinjunya tetap mengejang di samping tubuhnya.
“Tidak, aku menyebutnya ambisius,” kekeh Aldrich sambil mengerling padaku.
Tawa Aldrich terdengar melengking, sekaligus menyebalkan. Dia mempunyai dua sisi berlawanan itu dari sosoknya. Jerat yang dapat menangkapmu ke dalam pesonanya.
Aku tidak menyadari posisi Aldrich yang berpindah, mendekatiku pelan-pelan. Sampai salah satu tangannya terulur, menjamah daguku, lantas mencondongkan wajahnya padaku. Apa yang sedang dia lakukan?
Xaferius menepis gerakan itu secara tiba-tiba, membuat akal sehatku yang sempat tertutup kembali. Aldrich terlihat kecewa, tetapi senyumnya merekah dengan segera. Lebar, memamerkan deretan giginya.
“Jika kau berani menyentuhnya, aku pasti akan mematahkan rahangmu,” ancam Xaferius, sepasang matanya berkilat gusar.
“Benarkah?”
“Kau menguji kesabaranku, Aldrich.”
Aldrich lagi-lagi terkekeh. Dia berjalan mengitari kami dengan pandangan yang tidak biasa. Ada perasaan kelam yang aneh dari sorot matanya, seolah-olah ada sesuatu yang—aku tidak tahu itu apa, tidak mengizinkanku lengah atau sesuatu itu akan berbalik menyerangku.
“Aku tidak keberatan berbagi,” tawar Aldrich, sudut bibirnya mengurai senyum penuh arti.
Detik itu juga, Xaferius kembali mengamuk. Dia menarik kerah kemeja Aldrich dengan satu tangan, melempar pria itu ke arah tangga sampai sebagian materialnya berderak patah dan hancur. Aku terkesiap, tidak menyangka perkelahian lagi-lagi terulang di hadapanku. Aldrich bangkit dengan luka memar yang tampak membiru di area sekitar bibir dan pelipisnya. Namun, luka di dalam kulit itu menghilang pelan-pelan. Aku menyaksikan proses tidak wajar itu dengan bingung, setengah tidak percaya. Sejak kapan penyembuhan cedera berlangsung sesingkat itu?
“Salah satu keistimewaan kaum kami,” sahut Xaferius yang meregangkan otot lengannya, memandangku lewat sudut matanya.
Xaferius memang selalu bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.
“Aku tidak ingin kalian bertarung,” bisikku sambil menggeleng padanya.
“Jika kau tidak ingin berbagi, maka Anna hanya akan menjadi milikku,” kata Aldrich sambil menyeringai.
“Tutup mulutmu, Aldrich! Bagaimana aku bisa menjadi milikmu?” tanyaku dengan nada getir.
Tidak ada sahutan dari Aldrich.
“Jangan teruskan, kumohon,” tambahku lagi.
Kupikir hasutan dari Aldrich mulai membuat Xaferius muak atau tidak tahan, aku tidak tahu yang mana. Akhirnya, dia menyentak dan menarik tubuhku, mengaitkan kedua tangannya di pinggangku. Dekapannya tidak seerat sebelumnya, tetapi tangan kiri pria itu lantas beralih merayap ke bibirku. Aku tercekat menyadari keintiman yang tercipta di antara kami, mengabaikan Aldrich yang mematung di posisinya.
Sepasang mata Xaferius menatapku dengan sorot yang berbeda, penuh gelora. Warna samudra itu tidak pernah gagal menyeretku ke dalam arusnya. Wajahnya bergerak membungkuk, menyejajarkan wajahku dalam satu baris yang imbang. Dia mengecup dengan lembut, menyatukan bibirnya dan bibirku. Manis, panas, menciptakan debaran lain di dadaku. Hasrat itu membenamkanku ke pusat gravitasi. Ciuman pertamaku. Aku rela karam di sana, selamanya.
“Maaf,” bisik Xaferius setelah bibirnya merambat ke permukaan kulit leherku.
Maaf? Maaf untuk apa? Belum sempat aku mengajukan pertanyaan, Xaferius sudah menghunjamkan taringnya. Tidak ada rasa lain selain sakit. Nyeri itu menjalari puncak kepalaku, menimbulkan denyut yang memusingkan. Sementara darahku terus mengalir melalui dua lubang terbuka yang sedang diisap dan dinikmati olehnya.
Aku panik, tidak tahu harus memekik atau menampar wajah Xaferius terlebih dahulu. Kedua lututku goyah, nyaris meluncur ke bawah. Namun, dia langsung merangkul perutku sebelum itu terjadi. Pria itu menjilat setiap tetesnya sampai menimbulkan suara decap yang menggetarkan sekujur tubuhku, seolah-olah sedang dilanda tremor yang berkepanjangan.
Panas. Rasa itu kembali muncul, tetapi bukan sebagai pemantik gairah yang sempat menggodaku. Panasnya seperti api, kobaran yang membakar dan menghanguskan pergelangan kaki kiriku. Aku menggertakkan gigi, kemudian tersedak teriakanku sendiri. Sesuatu yang bercahaya timbul dari sana, membentuk sebuah... —aku tidak yakin, apa itu sebuah rajah tato? Polanya saling merapat, menciptakan gurat yang menyembul bergambar kepala serigala; warna bulu yang hitam dan sepasang mata biru, mirip dengan wujud werewolf dari Xaferius. Coraknya terjalin dengan elok, dirangkai bersama simbol bulan sabit yang terletak di tengah, antara kedua matanya.
Aku meronta-ronta selama proses itu masih berlanjut, ingin mengusap dan menyirami kulitku dengan air, mengenyahkan rasa tidak nyaman yang bercokol di titik itu. Setelah runtunan perubahan selesai, aku menyadari rasa lain mengganti panas menjadi dingin. Sejuk, memberi sensasi tenang padaku.
Aku tertegun sambil memandangi peralihan baru itu, tidak mengira Xaferius meninggalkan jejak dirinya padaku. Dia telah mengklaimku. Aku miliknya. Otakku menggaris bawahi kalimat itu secara otomatis, mempertegas susunan kata yang terakhir.
“Kau terikat padaku sekarang, Anna. Kau milikku,” bisiknya lagi.
Aku tidak menyahut. Jemariku bergerak menelusuri area kulit leherku, menggapai-gapai bekas gigitan yang kupikir masih mengalir dari sana. Namun, ternyata luka itu sudah menutup dengan sempurna.
“Lu-lukanya?”
“Tidak ada, Anna. Tenanglah.”
“Kau mengklaimnya?” hardik Aldrich dengan nada kasar. “Apa yang kau lakukan? Berani-beraninya kau merebut targetku. Jangan kau pikir karena kau anak tertua dalam keluarga Black, maka aku tidak bisa membunuhmu!”
Aldrich bertindak jauh lebih agresif dari sebelumnya. Dia meraung dan menghantam tubuh Xaferius, membuat pertarungan yang hasilnya timpang. Xaferius sedang berada dalam kondisi yang tidak siap untuk menerima serangan secara tiba-tiba, dia pun terpental sejauh dua meter. Darah segar mengalir melalui sudut bibirnya, tetapi pulih dengan segera.
“Jangan menyentuhnya!” pekikku, suara parauku membuat Aldrich mengurungkan niatnya untuk kembali melancarkan aksi berikutnya. “Jika kau berani maju selangkah lagi, maka kau akan menyesalinya.”
Aldrich memandangku dengan sorot geli, menganggap laranganku hanya sebuah gertakan biasa. Dia lagi-lagi mencondongkan tubuhnya, nyaris menerjang Xaferius. Namun, aku menghalangi gerakannya, membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Kuacungkan pisau jenis peeler—alat pengupas kulit buah-buahan itu padanya, tidak terlalu tajam memang, tetapi cukup berguna untuk pertahanan diri.
Setidaknya, Aldrich berhenti menyerang dan mempertimbangkan ancamanku. Aku tahu dia bisa saja memiting atau merebut benda yang ada dalam genggamanku dengan mudah, tetapi pria itu tidak melakukannya. Apa dia mempunyai rencana lain dalam kepalanya?
“Lihat, betapa manisnya, si Luna melindungi Alpha-nya. Kuharap itu aku yang berada di posisi Xaferius sekarang,” komentar Aldrich sambil menyeringai padaku.
Aku kembali mengacungkan benda yang terbuat dari bahan stainless steel itu ke arahnya. “Berhentilah berkelahi, kumohon.”
“Ah, apa kau tahu, Sayang? Aku suka orang yang memohon,” balas Aldrich, dia menjilat ibu jarinya setelah selesai menanggapi.
“Tidak lagi. Pergilah. Pergi. Sekarang,” pinta Xaferius pada pria itu dengan tatapan dingin dan tajam.
Aldrich mengedikkan kedua bahunya tanpa suara, dia menyambar jaket varsitasnya yang tergeletak di atas lantai dan beranjak pergi menuju ke arah lift. Suara gemeretak beling yang terinjak mengiringi langkahnya yang pendek. Sosok itu kemudian lenyap seiring dengan tertutupnya pintu yang berdenting, membawanya turun.
Ada perasaan lega sekaligus gelisah yang mengusikku, seolah-olah kepergian Aldrich mengandung arti kehadiran pria itu lagi di besok atau lusa berikutnya. Dia tidak benar-benar menyerah. Tatapan matanya yang mengatakan itu padaku.
“Anna?” panggil Xaferius dengan hati-hati.
Aku menoleh, memandangi wajahnya yang tampak bersalah. “Ya?”
“Maaf. Aku melakukan—”
Aku seketika menghambur diriku ke pelukannya, tidak ingin mendengar pria itu menyesali keputusan yang telah dia ambil. Aku tidak marah. Aku justru menyukainya. Aku menyukai caranya menyatakan bahwa dia menginginkanku—aku yang manusia, lemah dan tidak abadi.
“Apa kau menyesal?”
“Menyesal?” ulang Xaferius, keningnya berkerut bingung. “Kau adalah satu-satunya hal terbaik yang pernah hadir di sepanjang eksistensiku, Anna.”
“Benarkah?”
Xaferius menghela napas. Dia menyentuh rahangku, membelai dan menciumnya dengan lembut. Pria itu mengangguk, lantas tersenyum, membuatku yakin pada perasaan yang sedang bersemayam dalam diriku.
Aku mencintai Xaferius.
***
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa