Share

7. Cinta Terlarang

“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.

“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.

Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.

“Apa yang kau katakan?”

Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”

“Tentu saja. Kau tidak boleh menyukainya,” raung Xaferius.

“Mengapa?”

“Anna milikku, Aldrich.”

“Milikmu?” jawab Aldrich sambil menyeringai, nadanya terdengar mengejek. “Aku tahu Anna masih murni. Kau belum memberikan tanda di tubuhnya. Itu artinya Anna tidak terikat dengan siapa pun, termasuk kau.”

Aku terenyak, tanda apa yang Aldrich maksud? Dan murni? Apa yang sedang mereka bicarakan?

“Aku tidak ingin memaksanya terikat padaku, Aldrich. Hanya itu.”

“Apa maksudnya?” tanyaku pada Xaferius, jemariku menarik-narik ujung kaos bermereknya yang robek di beberapa bagian; kerah dan perut, karena pertempuran mereka sebelumnya.

“Aku tidak peduli, Xaferius. Aku hanya tahu, jika aku harus mendapatkan apa yang kuinginkan dan itu adalah Anna,” lanjut Aldrich tanpa memedulikan aku yang sedang menuntut penjelasan.

“Kau benar-benar keras kepala,” maki Xaferius yang berusaha keras menahan tinjunya tetap mengejang di samping tubuhnya.

“Tidak, aku menyebutnya ambisius,” kekeh Aldrich sambil mengerling padaku.

Tawa Aldrich terdengar melengking, sekaligus menyebalkan. Dia mempunyai dua sisi berlawanan itu dari sosoknya. Jerat yang dapat menangkapmu ke dalam pesonanya. 

Aku tidak menyadari posisi Aldrich yang berpindah, mendekatiku pelan-pelan. Sampai salah satu tangannya terulur, menjamah daguku, lantas mencondongkan wajahnya padaku. Apa yang sedang dia lakukan?

Xaferius menepis gerakan itu secara tiba-tiba, membuat akal sehatku yang sempat tertutup kembali. Aldrich terlihat kecewa, tetapi senyumnya merekah dengan segera. Lebar, memamerkan deretan giginya.

“Jika kau berani menyentuhnya, aku pasti akan mematahkan rahangmu,” ancam Xaferius, sepasang matanya berkilat gusar.

“Benarkah?”

“Kau menguji kesabaranku, Aldrich.”

Aldrich lagi-lagi terkekeh. Dia berjalan mengitari kami dengan pandangan yang tidak biasa. Ada perasaan kelam yang aneh dari sorot matanya, seolah-olah ada sesuatu yang—aku tidak tahu itu apa, tidak mengizinkanku lengah atau sesuatu itu akan berbalik menyerangku.

“Aku tidak keberatan berbagi,” tawar Aldrich, sudut bibirnya mengurai senyum penuh arti.

Detik itu juga, Xaferius kembali mengamuk. Dia menarik kerah kemeja Aldrich dengan satu tangan, melempar pria itu ke arah tangga sampai sebagian materialnya berderak patah dan hancur. Aku terkesiap, tidak menyangka perkelahian lagi-lagi terulang di hadapanku. Aldrich bangkit dengan luka memar yang tampak membiru di area sekitar bibir dan pelipisnya. Namun, luka di dalam kulit itu menghilang pelan-pelan. Aku menyaksikan proses tidak wajar itu dengan bingung, setengah tidak percaya. Sejak kapan penyembuhan cedera berlangsung sesingkat itu?

“Salah satu keistimewaan kaum kami,” sahut Xaferius yang meregangkan otot lengannya, memandangku lewat sudut matanya.

Xaferius memang selalu bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.

“Aku tidak ingin kalian bertarung,” bisikku sambil menggeleng padanya.

“Jika kau tidak ingin berbagi, maka Anna hanya akan menjadi milikku,” kata Aldrich sambil menyeringai.

“Tutup mulutmu, Aldrich! Bagaimana aku bisa menjadi milikmu?” tanyaku dengan nada getir.

Tidak ada sahutan dari Aldrich.

“Jangan teruskan, kumohon,” tambahku lagi.

Kupikir hasutan dari Aldrich mulai membuat Xaferius muak atau tidak tahan, aku tidak tahu yang mana. Akhirnya, dia menyentak dan menarik tubuhku, mengaitkan kedua tangannya di pinggangku. Dekapannya tidak seerat sebelumnya, tetapi tangan kiri pria itu lantas beralih merayap ke bibirku. Aku tercekat menyadari keintiman yang tercipta di antara kami, mengabaikan Aldrich yang mematung di posisinya.

Sepasang mata Xaferius menatapku dengan sorot yang berbeda, penuh gelora. Warna samudra itu tidak pernah gagal menyeretku ke dalam arusnya. Wajahnya bergerak membungkuk, menyejajarkan wajahku dalam satu baris yang imbang. Dia mengecup dengan lembut, menyatukan bibirnya dan bibirku. Manis, panas, menciptakan debaran lain di dadaku. Hasrat itu membenamkanku ke pusat gravitasi. Ciuman pertamaku. Aku rela karam di sana, selamanya.

“Maaf,” bisik Xaferius setelah bibirnya merambat ke permukaan kulit leherku.

Maaf? Maaf untuk apa? Belum sempat aku mengajukan pertanyaan, Xaferius sudah menghunjamkan taringnya. Tidak ada rasa lain selain sakit. Nyeri itu menjalari puncak kepalaku, menimbulkan denyut yang memusingkan. Sementara darahku terus mengalir melalui dua lubang terbuka yang sedang diisap dan dinikmati olehnya.

Aku panik, tidak tahu harus memekik atau menampar wajah Xaferius terlebih dahulu. Kedua lututku goyah, nyaris meluncur ke bawah. Namun, dia langsung merangkul perutku sebelum itu terjadi. Pria itu menjilat setiap tetesnya sampai menimbulkan suara decap yang menggetarkan sekujur tubuhku, seolah-olah sedang dilanda tremor yang berkepanjangan.

Panas. Rasa itu kembali muncul, tetapi bukan sebagai pemantik gairah yang sempat menggodaku. Panasnya seperti api, kobaran yang membakar dan menghanguskan pergelangan kaki kiriku. Aku menggertakkan gigi, kemudian tersedak teriakanku sendiri. Sesuatu yang bercahaya timbul dari sana, membentuk sebuah... —aku tidak yakin, apa itu sebuah rajah tato? Polanya saling merapat, menciptakan gurat yang menyembul bergambar kepala serigala; warna bulu yang hitam dan sepasang mata biru, mirip dengan wujud werewolf dari Xaferius. Coraknya terjalin dengan elok, dirangkai bersama simbol bulan sabit yang terletak di tengah, antara kedua matanya.

Aku meronta-ronta selama proses itu masih berlanjut, ingin mengusap dan menyirami kulitku dengan air, mengenyahkan rasa tidak nyaman yang bercokol di titik itu. Setelah runtunan perubahan selesai, aku menyadari rasa lain mengganti panas menjadi dingin. Sejuk, memberi sensasi tenang padaku.

Aku tertegun sambil memandangi peralihan baru itu, tidak mengira Xaferius meninggalkan jejak dirinya padaku. Dia telah mengklaimku. Aku miliknya. Otakku menggaris bawahi kalimat itu secara otomatis, mempertegas susunan kata yang terakhir.

“Kau terikat padaku sekarang, Anna. Kau milikku,” bisiknya lagi.

Aku tidak menyahut. Jemariku bergerak menelusuri area kulit leherku, menggapai-gapai bekas gigitan yang kupikir masih mengalir dari sana. Namun, ternyata luka itu sudah menutup dengan sempurna.

“Lu-lukanya?”

“Tidak ada, Anna. Tenanglah.”

“Kau mengklaimnya?” hardik Aldrich dengan nada kasar. “Apa yang kau lakukan? Berani-beraninya kau merebut targetku. Jangan kau pikir karena kau anak tertua dalam keluarga Black, maka aku tidak bisa membunuhmu!”

Aldrich bertindak jauh lebih agresif dari sebelumnya. Dia meraung dan menghantam tubuh Xaferius, membuat pertarungan yang hasilnya timpang. Xaferius sedang berada dalam kondisi yang tidak siap untuk menerima serangan secara tiba-tiba, dia pun terpental sejauh dua meter. Darah segar mengalir melalui sudut bibirnya, tetapi pulih dengan segera.

“Jangan menyentuhnya!” pekikku, suara parauku membuat Aldrich mengurungkan niatnya untuk kembali melancarkan aksi berikutnya. “Jika kau berani maju selangkah lagi, maka kau akan menyesalinya.”

Aldrich memandangku dengan sorot geli, menganggap laranganku hanya sebuah gertakan biasa. Dia lagi-lagi mencondongkan tubuhnya, nyaris menerjang Xaferius. Namun, aku menghalangi gerakannya, membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Kuacungkan pisau jenis peeler—alat pengupas kulit buah-buahan itu padanya, tidak terlalu tajam memang, tetapi cukup berguna untuk pertahanan diri.

Setidaknya, Aldrich berhenti menyerang dan mempertimbangkan ancamanku. Aku tahu dia bisa saja memiting atau merebut benda yang ada dalam genggamanku dengan mudah, tetapi pria itu tidak melakukannya. Apa dia mempunyai rencana lain dalam kepalanya?

“Lihat, betapa manisnya, si Luna melindungi Alpha-nya. Kuharap itu aku yang berada di posisi Xaferius sekarang,” komentar Aldrich sambil menyeringai padaku.

Aku kembali mengacungkan benda yang terbuat dari bahan stainless steel itu ke arahnya. “Berhentilah berkelahi, kumohon.”

“Ah, apa kau tahu, Sayang? Aku suka orang yang memohon,” balas Aldrich, dia menjilat ibu jarinya setelah selesai menanggapi.

“Tidak lagi. Pergilah. Pergi. Sekarang,” pinta Xaferius pada pria itu dengan tatapan dingin dan tajam.

Aldrich mengedikkan kedua bahunya tanpa suara, dia menyambar jaket varsitasnya yang tergeletak di atas lantai dan beranjak pergi menuju ke arah lift. Suara gemeretak beling yang terinjak mengiringi langkahnya yang pendek. Sosok itu kemudian lenyap seiring dengan tertutupnya pintu yang berdenting, membawanya turun.

Ada perasaan lega sekaligus gelisah yang mengusikku, seolah-olah kepergian Aldrich mengandung arti kehadiran pria itu lagi di besok atau lusa berikutnya. Dia tidak benar-benar menyerah. Tatapan matanya yang mengatakan itu padaku.

“Anna?” panggil Xaferius dengan hati-hati.

Aku menoleh, memandangi wajahnya yang tampak bersalah. “Ya?”

“Maaf. Aku melakukan—”

Aku seketika menghambur diriku ke pelukannya, tidak ingin mendengar pria itu menyesali keputusan yang telah dia ambil. Aku tidak marah. Aku justru menyukainya. Aku menyukai caranya menyatakan bahwa dia menginginkanku—aku yang manusia, lemah dan tidak abadi.

“Apa kau menyesal?”

“Menyesal?” ulang Xaferius, keningnya berkerut bingung. “Kau adalah satu-satunya hal terbaik yang pernah hadir di sepanjang eksistensiku, Anna.”

“Benarkah?”

Xaferius menghela napas. Dia menyentuh rahangku, membelai dan menciumnya dengan lembut. Pria itu mengangguk, lantas tersenyum, membuatku yakin pada perasaan yang sedang bersemayam dalam diriku.

Aku mencintai Xaferius.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bumb
omg! omg! .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status