Jemari anak perempuan itu berkedut. Matanya mengerjap-ngerjap lemah. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya yang kering. Anak itu merintih saat kepala dan telinganya bekernyut nyeri.
(Mus?)
Venus meringis saat ia menghela tubuhnya hingga duduk tegak. Selimut kelabu tebal merosot dari dadanya. Untuk sesaat, Venus hanya memejamkan mata dan meremas kepalanya yang pening. Telinganya masih berdenging ngilu, dan Venus berharap semoga saja indranya yang satu itu nanti masih berfungsi.
Venus membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya, anak itu harus menghela napas, seakan-akan sudah merasa cukup dengan hidupnya dan karenanya jadi lelah.
Gadis itu berada di sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu hanya diterangi oleh dua buah obor yang diletakkan di kiri-kanan pintu. Perabot dan benda yang ada di sana hanyalah tempat tidur yang kini diduduki Venus, sebotol air di atas meja kusam, dan tiga buah kursi yang anehnya tampak mengilat.
Venus menatap langit-langit dan semua dinding di ruangan itu. Tak ada jendela atau yang sejenisnya, sehingga Venus berpikir pastilah dia berada di semacam ruang bawah tanah.
(Mustaka?) Venus mencoba lagi. (Silakan muncul. Kalau tidak, akan kupanggil kau—)
(Ya, Venus, tidak perlu mengancam saya. Anda tadi sudah melakukan ancaman itu.)
Venus mendengus, tak lagi merasa harus malu. (Kau bilang kau akan langsung menyahut kalau aku memanggil. Tapi, Mustaka, kenyataannya berbeda. Kau lelet sekali.)
Mustaka tertawa sinis. (Andai saja Anda menjadi saya, Venus. Saya juga perlu tidur.)
Alis kanan Venus terangkat. Itu berita baru baginya. Dia pikir, seorang roh harusnya tidak pernah tidur.
(Kau, 'kan, kekal.) Venus membatin. (Masa masih perlu ngiler?)
(Saya tidak ngiler, terimakasih.) Nada suara Mustaka terdengar sebal. (Dan Anda harus tahu satu hal; saya ikut tertidur saat Anda tidur. Kita berada di raga yang sama, Anda ingat?)
Kalimat terakhir entah mengapa membuat Venus sedikit terganggu, tapi ia mengabaikannya. Ada hal-hal yang lebih penting daripada sekadar bagaimana selembar arwah bisa menempel di bokongnya begitu saja.
Yang paling penting adalah, apakah pikiran-pikiran pribadi juga bisa terdengar oleh Mustaka?
(Tidak bisa,) sahut Mustaka saat Venus bertanya padanya. (Percakapan kita kurang lebih sama seperti telepati atau manusia yang sedang mengobrol seperti biasa.)
Maka, legalah perasaan Venus. Sungguh mengerikan jika pikiran Venus tentang bokong diketahui oleh Mustaka.
(Kau tahu di mana kita sekarang?) Venus bertanya sambil memijit dahinya keras-keras. Sakit di kepalanya tak kunjung mereda.
(Ruang ba—)
(Aku sudah tahu itu!) Venus memotong jengkel. (Cobalah katakan jawaban yang lebih membantu, Mustaka.)
Mustaka berdeham-deham. (Kita berada di penjaranya musuh, Venus.)
(Kenapa hidupku penuh dengan musuh? Sial! Siapa pula musuh kita itu?)
(Sebenarnya, Venus, dia adalah musuh Anda, bukan saya.)
(Katakan saja!)
(Musuh yang ini juga sama menginginkan kematian Anda.)
Venus meradang. “KAU BILANG KAISAR AKAN MENYELAMATKAN AKU?!”
(Memang. Hanya saja, Kaisar menetapkan harga untuk hal itu. Dan beliau ingin Anda melunasinya terlebih dahulu.)
Venus tidak percaya ia harus bersakit-sakit dahulu sebelum mendapatkan kebebasan. Dan diharuskan membayar di muka! Kaisar pikir mereka ini sedang saling menawar celana dalam para dewa atau apa?!
(Memangnya apa yang harus kulakukan?!) Venus menggeram marah.
Mustaka menyahut dengan tenang. (Anda harus menaklukkan musuh yang satu ini. Membunuh, melucuti senjatanya, apapun. Asal dia tidak membuat onar lagi.)
Venus mendengus. (Kalau Kaisar tidak bisa menak—)
(Kaisar bukan tidak bisa,) potong Mustaka tegas. (Dia hanya merasa Anda adalah yang paling pantas untuk melakukan pekerjaan itu.)
Kepala Venus semakin nyeri. Ia sampai harus memukul-mukul puncak kepalanya dengan kepalan tangan karena geram.
(Dari tadi kau hanya menyebut musuh yang ini, musuh yang itu! Bla bla bla!) Venus uring-uringan. (Siapa dia ini sebenarnya?!)
Hening sejenak. Venus menggunakan momen itu untuk membekap-bekap telinganya yang terasa seperti ditusuk-tusuk oleh benda tumpul.
(Dia adalah Amerta Adiwangsa.)
Venus mematung. Matanya mengunci api yang tengah berkobar di samping pintu dengan horor.
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.“Halo, Anak Haram.”Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala
Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di ku
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.Di
Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya. Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya. Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran. “A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?” Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.” Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya. “Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.” “Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam. “Dengar
Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja.Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya.Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan.Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka.Yang tersisa hanyalah kehampaan.Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjuk
“Kenapa Illdara tidak ikut kemari?”“Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.”Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju.Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri.Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik.Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta.“Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebenci
Venus terlempar sejauh beberapa meter bersama Artha yang mencengkeram kedua bahunya. Mereka nyaris menyentuh tepi jurang.“Akh!”Artha berdiri di atas dua kakinya yang serupa kaki serigala. Aul itu mencekik leher Venus dan mengangkat tubuh gadis itu setinggi hampir tiga puluh sentimeter dari tanah.Kaki Venus menendang-nendang liar menggunakan kakinya yang sehat. Wajahnya pucat dan nyaris berubah biru. Dalam kesusahan untuk bernapas, benaknya mati-matian berkonsentrasi pada satu Bakat.Tanpa sadar salah satu tangan Venus membentuk tinju. Lalu, kepalan itu mengentak sekali ke bawah; seakan sedang memindahkan konsol dengan gerakan tegas.Sejurus kemudian, langit menggelegar. Awan gelap berkumpul tepat di atas puncak gunung itu. Petir menyambar-nyambar dengan suara menggemuruh.Venus hampir hilang kesadaran, tapi ia sekuat tenaga mempertahankan konsentrasi Bakat Petir-nya. Tangannya membuat gerakan menarik dari atas.BLAR!
Venus terlontar lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu. Petir telah menyambar tubuhnya. Bau gosong menyentak hidungnya.(Untung kau cepat melindungi diri dengan listrik!)“Diam, Mustaka!” geram Venus marah.Tiba-tiba jantung Venus tersentak. Ia membungkuk rendah, tetapi tak sampai lima detik sakitnya telah hilang.(Anda akan mati.) Mustaka mengumumkan.“Kubilang diam,” dengus Venus di antara napasnya yang pendek-pendek.Venus tak tahu apa Bakat dominan Amerta, tapi ia tak peduli. Ia memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini.Ia berteriak keras ke udara; menyalurkan konsentrasi benaknya pada Bakat Petir paling kuat yang ia miliki.Jantung Venus menyentak lagi, tapi ia mengabaikannya.“Itu baru mengagumkan!” Amerta berteriak di antara gelegar guntur yang ia dan Venus ciptakan.Namun, Venus tak berhenti di satu kekuatan. Masih mempertahankan gemuruh petir di atasnya, Venus mer