Share

DADDY IN BLACK SUIT
DADDY IN BLACK SUIT
Author: The_BlueMoon

BAB I - Pria yang Tak Tahu Diri

“Bisa lebih cepet gak sih!” ujar seorang pria dengan nada tinggi.

Tanpa sepengetahuan pria itu, kini ia sudah menjadi pusat perhatian banyak pasang mata. Tentu saja badannya yang menonjol dari sebagian banyak orang menjadikannya lebih mudah terekspos walaupun berada di ujung ruangan sekalipun.

“Mohon maaf, Bapak. Tapi memang antreannya panjang,” jawab seorang wanita bertubuh kurang dari separuh pria tersebut.

“Kan kerjanya bisa lebih cepat sedikit, udah tahu antreannya panjang, lelet banget!” kata pria itu sambil menggebu-gebu.

Dua penjaga yang ada di depan pintu masuk pun berlari ke arah sumber keributan, karena sudah sangat mengganggu kenyamanan nasabah lainnya. Namun setelah sampai di titik keributan, yang ada penjaga tersebut malah pergi ke arah wanita kurus di belakang meja.

“Mbak, aduh kok bisa ini tadi Bapaknya ada di antrean,” ujar seorang security.

“Lah tadi yang kasih nomer siapa? Lagian kan emang harus antre, Pak.” Wanita itu tak menggubris sang security dan masih terus menjalankan pekerjaannya.

Nasabah yang ada di hadapannya pun juga nampak tertarik, karena memang ia terlebih dulu mengantre daripada pria yang tadi berteriak. Security itu pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menggelengkan kepala dan berjalan ke arah wanita customer service itu.

“Mbak, ini anggota prioritas,” bisik security itu.

Wanita berkulit putih itu pun langsung menaikan pandangan menuju pria yang tadi meneriakinya. Wajahnya masih terlihat sangat berapi-api, menyusul kesialannya nampak seorang wanita yang berjalan cepat ke arah tempat kejadian perkara itu. Rambutnya yang dicepol rapi masih tetap berkilau walaupun ia baru saja setengah berlari untuk menyelamatkan kehidupan banyak orang.

Ia pun segera menuju ke arah pria angkuh tersebut, dan membisikan sesuatu pada salah satu penjaga yang ada di dekatnya. Tak lama, pria angkuh tersebut berjalan mengikuti arahan dari wanita yang baru saja menghampirinya.

“Mbak Rachel, nanti jam istirahat di pangil Bu Santi di ruang meeting,” ujar security yang tadi mendapat pesan.

Mampus, pasti kena siding ‘Mak Lampir’ hari ini, batin Rachel dalam hati. Ia pun melanjutkan aktifitasnnya yang sempat terhenti karena kedatangan tak terduga dari tuan muda kaya raya yang ingin menjelma menjadi rakyat jelata.

--

“Sial!” umpat Rachel sambil menendang bangku yang ada di hadapannya.

“Sabar, Chel. Kenapa sih, sini-sini cerita jangan asal tending dong, itu bangku keliatannya murah tapi cicilannya belom kelar nih,” ujar Adelia yang sekarang sudah nampak nyaman di atas kasur dengan baju tidurnya.

“Sorry,” jawab Rachel singkat.

Adel masih sangat bingung dengan temannya satu ini, karena ia tak berbicara sedikit pun tentang masalahnya. Tadi saat mereka closing, Rachel tiba-tiba menghampirinya ke meja teller sambil menampakkan wajah kusut, lemah, letih, lesu, seperti vampire yang kekurangan darah. Rachel juga mengatakan bahwa ia ingin menginap satu hari di kosan Adel, dan memang itu sudah sering terjadi, apalagi saat weekend seperti ini.

Rachel yang notabene anak rantau, tentu saja tidak bisa sering bertemu dengan keluarganya, begitu juga dengan Adel. Karena mereka sama-sama anak rantau mungkin itulah salah satu alasan untuk memahami satu dengan lainnya. Jika Rachel sudah memutuskan untuk menginap di tempat Adel, itu berarti ia sedang memiliki masalah besar, dan tidak ingin memendamnya seorang diri.

“Kenapa sih cantik, lagi weekend gini kok malah nekuk sih wajahnya,” kata Adel menggoda.

“Abis dimarahin Mak Lampir,” jawab Rachel.

Mereka berdua memang benar-benar memahami satu sama lain, dan terbiasa memanggil atasan mereka dengan sebutan tertentu, sebagai ‘kode rahasia’. Mak lampir untuk kepala sie operasional, yang merupakan atasan Rachel dan juga sekaligus atasan Adel.

“Oh ya? Why? Karena salah input lagi atau gimana?” Adel menyahuti sambil bermain ponsel.

“Berantem sama nasabah prioritas,” jawab Rachel yang malah asik bermain dengan kukunya.

What?” Adel membenarkan posisi duduknya, dan menaruh ponsel. “Kok bisa ketemu nasabah prioritas? Kan gak mungkin nasabah prioritas antre lewat CS,” kata Adel melanjutkan.

“Udah gak waras emang dia, Del. Sok-sokan mau merakyat tapi malah bikin masalah, nyusahin orang lain banget sumpah,” ucap Rachel menggebu-gebu. Rachel masih sangat kesal dengan kejadian tadi siang. Berkat Tuan Muda itu, ia harus mengorbankan jam makan siangnya yang berharga.

“Then, Mak Lampir kenapa malah jadi marahnya ke kamu?” tanya Adel.

“Ya kan aku gak ngerti Del dia nasabah prioritas, jadi ya malah `ku cuekin lah dan lanjut kerjaan juga, orang di depan meja masih ada nasabah yang nungguin,” jawab Rachel.

“Terus?” Adel yang nampak tertarik, kini sudah menghadap ke arah Rachel dengan menyilangkan kedua kakinya di atas kasur.

“Pewe banget, Neng, berasa didongengin.” Rachel mencibir.

“Ya kan akunya jadi kena omel sama Mak Lampir karena gak hafal sama nasabah mana yang prioritas, dan ya ….” Rachel menaikan alisnya.

“Kok kentang, terus gimana Rachel astaga,” sahut Adel.

“Aku diancam sih lebih tepatnya sama beliau, katanya mau dipindah buat jadi customer advisor-nya nasabah prioritas,” ucap Rachel dengan nada yang semakin pelan.

Adel memilih diam, dan hanya menepuk ringan pundak Rachel. Ada baiknya berbagi cerita satu sama lain, dan mengumpat bersama, daripada harus memendamnya sendiri, dan akan menjadi luka sedikit demi sedikit.

Dengan begini Rachel dapat meringankan beban yang ada di pundaknya, begitu pula saat nanti Adel merasakan kesedihan, mereka akan terus bersama walaupun hanya sekedar berbincang kecil, santai maupun hanya untuk makan bersama. Jika ditanya siapa orang yang paling mengerti Rachel, mungkin ia akan mengatakan bahwa temannya inilah yang paling mengerti semua sisi dirinya.

--

Setelah menghabiskan malam untuk healing bersama Adel, ia memutuskan untuk kembali ke apartment nya. Karena orang tuanya yang tidak ingin anak semata wayangnya tersiksa, ia memiliki nasib yang lebih baik daripada sebagian besar temannya. Hidup di apartment, makan enak tidak peduli tanggal, atau bahkan ia bisa belanja kebutuhannya tanpa harus melihat label harga terlebih dahulu.

Namun di lain sisi, tentu saja hal ini sangat mengganjal, jauh di dalam dirinya ia ingin menjadi anak mandiri yang tidak menyusahkan orang lain. Banyak hal yang ingin Rachel rasakan, seperti senangnya saat memanen tabungan, atau bahkan hanya sekedar membeli barang dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Orang lain mungkin menganggapnya kurang syukur, namun itulah yang sebenarnya ia rasakan.

Ranjang empuk dengan selimut berwarna cerah, seakan menyambutnya yang sudah lelah semalaman berbaring di atas lantai kos Adel. Tentu saja harus begitu, karena memang kasur Adel adalah single bed, dan berarti hanya muat untuk satu orang saja. Lain halnya dengan ranjang Rachel yang agaknya bisa digunakan untuk berbaring tiga sampai empat orang dewasa.

“Hallo,” kata Rachel yang mengangkat teleponnya.

“Hallo, Chel kemana aja, kemarin malam mama telepon gak diangkat,” ujar mamanya di seberang telepon.

“Aduh maaf ma, Rachel kemarin nginep di tempat Adel dan lupa bawa cas jadi low battery,” jawab Rachel asal-asalan karena memang ia sengaja mematikan ponselnya semalam agar lebih menikmati healing time bersama Adel.

“Kenapa ma?” tanya Rachel.

“Gak sih, mama cuma mau kasih kabar, mungkin minggu depan mama sama papa main ke sana, ya?” jawab mama Rachel.

“Ok Ma, nanti Rachel kirimin aja tiketnya,” kata Rachel.

“Gampang itu, udah dulu ya mama lagi masak ini, nanti telepon lagi,” jawab mama Rachel, dan langsung disetujui olehnya.

Belum sempat Rachel berbaring di atas kasurnya yang tampak menggoda, satu lagi notifikasi dari orang yang pasti akan menghancurkan mood-nya hari ini. Sebuah berkas masuk dan jelas dicantumkan bahwa Rachel Mondy kini dipindah tugaskan pada bagian Customer Advisor khusus untuk nasabah prioritas. Entah ia harus senang atau sedih, karena memang itu berarti ia sudah naik tahta, namun ini juga merupakan hukuman baginya dari Mak Lampir karena Rachel harus menghafal nasabahnya satu persatu, mulai dari seluk beluk, hingga kebiasaanya.

--

“Siap, Neng?” tanya salah satu pegawai yang kini telah berada di belakang kemudi.

“Duh deg-degan, Pak Asep,” kata Rachel sambil memegang dadanya.

“Ini pertama, Neng. Nanti kalau udah biasa malah seneng kayak gini, bisa muter-muter liat rumah bagus, belum lagi kadang ada yang disuguhin cemilan enak,” jawabnya seraya mengemudi.

“Bapak udah hafal semua?” tanya Rachel.

“Aduh, udah di luar kepala kayaknya, Neng. Jangan kaget kalau missal ada yang baik dan baiknya kebangetan. Ada yang cuek, cueknya kebangetan, gak usah diambil pusing ya, Neng.” Pak Asep memberikan isyarat melalui kaca spion yang mengarah ke Rachel.

Benar saja apa yang dikatakan Pak Asep, baru saja rumah pertama namun sudah seperti istana. Bagi Rachel rumahnya sudah termasuk besar, namun ini seperti lima kali lipatnya, dan yang menarik semua serba putih. Bunga mawar putih berdampingan damai dengan melati tumpuk yang warnanya tak kalah putih, di tengahnya terdapat air mancur yang tepiannya sudah tak terlihat karena rimbunnya dedaunan.

Dengan langkah berat Rachel mulai menemui penjaga pintu utama, dan menyampaikan kebutuhannya di tempat mewah ini. Ia pun diantarkan menuju ruang seseorang yang sudah menantinya. Melewati lorong yang juga didominasi warna putih, dan emas membuatnya terlena hingga lupa untuk menjaga penampilan yang sudah dipersiapkannya sejak tiga jam yang lalu. Di tengah jalan, asisten tersebut berhenti dan menyapa seorang wanita paruh baya. Rambutnya dipotong sebahu, dan berwarna hitam legam, dari tampilannya saja, Rachel menyebutnya bau semerbak dollar.

“Siapa?” ucap wanita tersebut.

“Selamat pagi, Bu. Perkenalkan, saya Rachel customer advisor baru,” jawab Rachel yang lebih gugup daripada saat sidang skripsi.

“Oh oke. Masuk aja langsung ke ruang biasa,” ucapnya pada sang asisten.

Seketika Rachel hanya menunduk dan terus memikirkan apa yang akan terjadi padanya hari ini, itu tadi baru istrinya, dan ia harus menghadap suaminya yang pasti empunya rumah ini dan seisinya. Namun, saat ia mendongkrakan kepalanya, sebuah bingkai besar menyita perhatiannya. Ayah, Ibu, seorang anak lelaki yang menggendong bayi, terpotret rapi di dalamnya, aura dari foto itu sendiri tidak main-main, sudah dipastikan, harta mereka tidak akan habis selama tujuh turunan.

Satu hal yang baru disadari oleh Rachel, pria yang menggendong bayi tersebut, nampak tidak asing. Benar saja, ia baru saja berjumpa dengannya, pria yang membuat Rachel harus menjadi seperti ini. Tentu saja Rachel tak akan lupa, pada Tuan Muda berkemeja hitam dan tak tahu diri itu. Takdir macam apa lagi yang sudah direncanakan Tuhan untuk Rachel, hingga ia harus kembali berurusan dengan pria gila itu.

Semua hanya di simpan erat-erat oleh Rachel, karena kini pintu kayu jati telah terbuka, Rachel harus tetap professional dan mempertahankan harga dirinya. Setelah masuk ke ruangan Rachel dapat melihat seorang pria membelakangi dirinya, dan ia hanya bisa membeku di tempatnya sekarang berdiri.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
harsini aja
bagus sekali ceritanya
goodnovel comment avatar
Ruby Kimano
Sukaa ceritanya!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status