Share

BAB II - Pertemuan Ketiga Tandanya Bukan Kebetulan

Pintu di hadapan Rachel terbuka lebar-lebar, jika halaman tadi ia ibaratkan pintu surga ini adalah salah satu “brankas”-nya surga. Bagaimana tidak, bahkan tempat abu rokok yang ada di ruangan ini jika ditimbang dan dijual, sudah bisa mendapatkan satu rumah. Belum lagi lemari buku yang nampak klasik itu, mungkin ini adalah salah satu warisan turun temurun dari nenek moyang, nenek, dari neneknya, entah sudah berapa generasi.

Buku-buku berjajar rapi membentuk sebuah garis lurus, sebuah chandelier menggantung pasti di langit-langitnya yang tak kalah mewah. Seorang pria sudah menunggunya di ujung meja, badan lelaki itu membelakangi Rachel, dan seklias cahaya lampu mengungkapkan rahasia di balik rambut yang hitam legam tersebut. Sekretaris pribadinya membisikan beberapa hal sampai akhirnya beliau membalikkan badannya. Ia tersenyum sekilas, dan menimbulkan garis-garis halus di tepian mata, namun itu semua tak mengurangi betapa tegas tulang wajahnya.

“Selamat pagi, Bapak Abimayu,” sapa Rachel dengan menunduk sesopan mungkin.

“Pagi, santai saja. Silakan duduk dulu.” Ia menunjuk kursi yang tepat ada di sisi depannya.

Seorang wanita masuk sambil membawa dua cangkir yang nampak sangat elegan, bahkan membuat Rachel takut terkena bala sangat menyentuhnya. Pak Abimanyu memberikannya isyarat untuk meminum apa yang disajikan wanita tadi.

“Perkenalkan Pak, saya Rachel Mondy selaku customer advisor yang baru,” kata Rachel membuka percakapan dengannya.

“Iya, saya sudah dikabari terlebih dulu tadi. Senang rasanya punya CA baru, saya kurang cocok dengan yang sebelumnya,” jawabnya sambil menyesap teh. Bahkan cara bicaranya pun sangat melambangkan sebuah kasta yang tinggi, dan pastinya tidak bisa Rachel gapai.

“Mohon beri tahu saya Pak, kalau misalkan ada perilaku saya yang kurang pantas,” katanya yang lumayan panik mendengar pernyataan pria itu tadi.

“Saya sudah hidup lumayan lama di duna ini. Bertemu banyak orang, dan kadang bisa menebak sifat seseorang hanya dengan melihat caranya duduk.” Pria itu mengatakannya sambil menatap Rachel lamat-lamat.

Dengan respon secepat kilat, Rachel segera memperbaiki caranya duduknya. Menegakkan punggung, dan menaruh tangannya di atas pangkuan. Memastikan bahwa kepalanya tidak miring, dan pandangannya fokus ke depan. Sudah seperti saat foto KTP.

“Tidak usah seperti itu, kan ini bukan interview kerja,” katanya sambil tertawa lebar, dan hanya dibalas dengan senyuman manis oleh Rachel yang di dalam hatinya sudah merapalkan doa-doa keselamatan.

“Memang tampak depannya CA, tapi pasti dari keluarga mengajarkan attitude yang luar biasa, hal seperti itu tidak bisa ditutupi.” Pak Abimanyu memperbaiki posisi duduknya tanpa menjelaskan apa yang Ia katakan.

“Oke, kita balik ke masalah bisnis, selain yang kalian bawa hari ini, sebenarnya saya juga mau bertanya beberapa hal,” lanjutnya.

“Baik Pak, untuk uang tunainya sudah kami serahkan pada sekretaris bapak, dan ini bukti terimanya,” kata Rachel sambil mengeluarkan secarik kertas berisi berbagai pernyataan.

“Wah, saya suka kerja kamu, cepat walaupun masih anak baru,” katanya.

“Terima kasih, Bapak,” jawab Rachel singkat.

Next, saya mau tanya kalau semisal saya membuka rekening untuk cucu yang masih berusia enam tahun, bisa?” Pak Abimanyu kini menegakkan punggung, dan meletakkan kedua tangannya di atas meja.

“Tentu saja bisa, Pak. Ingin dibukakan rekening untuk diambil masa depan, atau untuk kebutuhan lain, Bapak? Jadi bisa saya sarankan pembukaan rekening terbaik. Kebetulan saya dulunya ada di posisi customer service,” jawab Rachel yang kini mulai percaya diri karena ini adalah makanannya sehari-hari.

“Oh, pantas saja auranya beda. Sebenarnya saya butuh rekening yang biasa saja, untuk mengenalkan dia acara menabung, dan ya hitung-hitung mulai melatihnya mengelola keuangan,” katanya menjelaskan.

Seketika Rachel baru sadar bahwa ada satu anak di foto yang ia lihat sebelumnya, bayi laki-laki yang tampan dan dipangku oleh pria angkuh tersebut. Tapi tidak mungkin itu anaknya kan, mungkin ayah, dan ibu dari anak itu sibuk, jadi tidak ikut berfoto.

“Benar-benar pendidikan sejak dini ya, Pak.” Jujur saja Rachel memang kagum dengan pola pikir beliau. Hingga hari ini Rachel masih merenungi hidupnya karena dulu ia selalu bergantung pada Mama, Papa, dan asisten rumah tangganya sehingga ia susah menyesuaikan diri dengan banyak hal.

“Jadi kalau untuk pembukaan rekening bagi anak di bawah umur, bisa menggunakan data diri walinya, dan juga akta kelahiran dari anak tersebut, Pak,” jelas Rachel.

“Begitu ya, oke kalau begitu besok biar dia ke sana langsung sepulang sekolah. Terima kasih atas bantuannya,” katanya.

“Suatu kehormatan, Pak. Saya akan sampaikan ke pihak CS yang baru, agar langsung dilayani secepat mungkin,” kata Rachel meyakinkan.

“Jangan, biarkan dia melakukan semua itu seperti yang lain, agar dia tidak terbiasa manja,” jawabnya.

Mereka pun membincangkan beberapa hal, hingga memakan waktu yang lumayan lama. Sebenarnya masih banyak perbincangan yang belum usai, namun sekretarisnya menyela perbincangan mereka untuk mengingatkan jadwal beliau selanjutnya yang sudah tidak bisa ditunda.

“Terima kasih atas waktunya hari ini, Bapak. Mohon maaf apa bila saya ada salah perilaku, dan mengganggu waktunya,” kata Rachel menutup pertemuan mereka.

“Tentu saja, saya sangat senang kalau bisa bertemu seseorang yang enak diajak berbincang. Mungkin lain kali di luar jadwal, silakan kemari dan hanya sekedar minum teh,” jawabnya sambil mengulurkan tangannya, dan Rachel membalas tangan tersebut dengan secepat kilat.

Rachel mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruangan yang berkilau tersebut. Masih sama sebelumnya, Rachel diantarkan oleh salah satu asisten yang bertugas menangani tamu, dan itu membuatnya sedikit tidak enak karena semasa hidupnya ia tak pernah diperlakukan begini.

Lorong di rumah ini pun sangat menarik, beberapa jendela tinggi sangat indah membingkai pemandangan taman yang ada di depannya. Namun, nampaknya ketenangan Rachel tidak bertahan lama, saat pria itu datang dan melihat wajahnya. Langkah kakinya terhenti, pria dengan setelan jas hitam tersebut berbalik ke arah Rachel yang masih terus menunduk di belakang asisten Pak Abimanyu.

Hey, You!” sapanya dengan suara tegas.

“Saya, Pak?” tanya Rachel yang langsung segera berbalik ke arah pria tersebut.

Mereka berhenti di tengah lorong yang menghubungkan bangunan utama, dengan bangunan yang tadi ia sebut “brankas”. Pria angkuh itu memandang Rachel mulai dari atas hingga ujung kakinya. Jujur saja hal tersebut juga sekaligus membuatnya risih, dan tak nyaman.

“Ada perlu apa di rumah saya?” tanya pria itu masih dengan nada beratnya.

“Saya CA baru untuk Bapak Abimanyu, jadi saya ada urusan penting dengan beliau,” jawab Rachel yang masih menjaga kesopanannya. Tentu saja di dalam hati Rachel ia sudah mengutuk pria tersebut, dengan kata-kata yang tidak bisa diterjemahkan dalam KBBI.

“Kerja yang becus. Jangan malas-malasan kalau kerja sama beliau,” kata pria tersebut.

“Pak Royan, Bapak sudah menunggu di ruangan,” ujar asisten yang ada di sampingnya.

 Sambil melanjutkan langkahnya, Royan kembali berbalik ke arah Rachel dan menunjuk ke arah bibirnya.

“Apa sebenarnya yang kau lakukan sampai lipstikmu berantakan seperti itu. Dan juga, ganti warnanya, apa kau baru saja minum darah?” ujar Royan sambil berlalu.

Wajah mencemooh, sangat terlihat dari Royan. Ingin sekali Rachel melemparkan berkas yang ada di tangannya saat ini. Namun di sisi lain, ia merasa bahwa ini semua sangat tidak adil, mengapa pria dengan kata-kata busuk seperti dirinya harus memiliki wajah setampan malaikat - yah walaupun Rachel sendiri belum pernah betemu malaikat. Rachel tak menyadarinya saat mereka pertama kali bertemu, karena memang kondisi saat itu sangat tidak memungkinkan. Di tengah lamunannya, kini jiwa Rachel telah kembali pada raganya, dan ia memilih untuk segera pergi menjauh dari pria angkuh tersesebut.

***

Weekend kali ini sudah dipastikan Rachel tidak bisa istirahat dengan damai, karena mama dan papanya kini sudah berada di depan tv sambil mengunyah beberapa makanan kering. Jika biasanya baju, dan sepatu di taruh sembarangan seperti saat diskon 50+40% kini semuanya tertata rapi di tempatnya masing-masing. Semua anak rantau pasti tahu, betapa kerasnya kehidupan, saat orang tua tiba-tiba datang berkunjung, jika ada sebuah mantra untuk merapikan barang sudah pasti akan mereka gunakan.

“Chel, mama kok kepengen es oyen depan apart, ya?” kata mama Rachel yang masih fokus pada berita gossip di tv.

“Mau? Papa juga mau? Sekalian aja Rachel mau buang sampah ke bawah,” jawab Rachel.

“Boleh, ini panas banget ya di kota. Kamu kok bisa betah sih begini tiap hari, Nak?” tanya papa Rachel.

“Betah lah, Pa. Orang cuan nya gede, bisa pacaran bebas lagi kalo beda kota, iya kan Chel?” sahut Mama sambil memandang penuh curiga.

“Gak punya pacar, jomblo aja enak cuan abisin sendiri,” jawab Rachel asal-asalan.

Daripada ia semakin pusing berlama-lama membahas hal tidak jelas bersama mama dan papanya, Rachel memilih untuk mengangkat beban berat di tangannya sambil membuka pintu. Namun entah memang karena terlalu berat, atau cerobohnya Rachel yang tidak menaruh sampahnya dulu, kini dua bulatan keresek putih tersebut sudah lepas dari tangan mungilnya. Bahkan parahnya, salah satu keresek tersebut, tepat di depan pintu kamar yang ada di sebrang Rachel, tidak cukup sampai di situ, terlihat keresek tersebut mengenai ujung sepatu dari seseorang yang ada di depan pintu.

“Maaf, saya tidak sengaja,” kata Rachel yang masih menunduk untuk membereskan sampah yang keluar dari plastiknya.

“Kenapa harus bertemu denganmu lagi, bahkan di sini!” ujar pria yang kini sudah berada di depan Rachel.

Ia tahu suara ini, perlahan Rachel menaikkan pandangannya, dan matanya bertemu dengan mata tajam, berwarna coklat terang. Badannya yang tinggi membuat Rachel semakin susah untuk menatapnya lebih dalam. Pria yang kini memegang plastik sampah itu terus menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan nafas kencang-kencang.

Kesialan Rachel tidak hanya sampai di situ, saat ia mencoba berdiri sandalnya yang licin malah membuatnya hilang keseimbangan dan tak dapat mengendalikan dirinya. Sebuah tangan besar, nan kokoh menangkap tangan mungil Rachel dengan cepat, menggenggamnya, hingga memastikan bahwa wanita ceroboh itu baik-baik saja. Jika biasanya Rachel mencemooh Adel yang sering salah tingkah karena adegan drama Korea, kini Rachel bahkan mengalaminya.

“Siapa? Pacarnya Rachel ya!” ujar mama Rachel yang tiba-tiba sudah di ambang pintu.

“Bukan!” jawab mereka berdua serentak.

Really?” Mama Rachel pun memandang keduanya yang kini masih bergandengan, dan tangan lainnya yang masing-masing membawa satu kantung plastik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status