Share

Bab 7

“Selamat menikmati.”

Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.

“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”

Daisy mengangguk.

Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.

Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.

“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pada Daisy ketika melihat gadis itu sudah berganti pakaian dan mengenakan jaketnya.

Daisy hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Jam kerjanya sudah habis, waktunya dia pulang untuk membantu Eve di apartemen.

“Kau masih ada jam kerja?” tanya Daisy basa-basi.

“Sebentar lagi selesai, jika kau mau menunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang, Daisy.”

Dengan gelengan pelan, Daisy menolak secara halus tawaran Bram. “Aku ada janji dengan Eve di apartemen. Aku duluan, ya, Bram.”

Bram menatap punggung Daisy hingga hilang dari balik pintu khusus ruang karyawan. Menghela napas, Bram mengusap wajahnya yang kecewa. Sulit sekali mengajak Daisy untuk pergi bersamanya, padahal ia sudah berusaha dengan beberapa alasan, tapi tetap saja, Daisy sulit sekali ditaklukan.

***

Huek ... huek ...

“Kau serius tidak apa-apa?” tanya Eve, ia tetap memijat tengkuk Daisy, membiarkan gadis itu memuntahkan apa saja yang ada di perutnya.

“Aku, kan sudah bilang, tidak usah minum soda terlalu banyak.”

Ini kelemahan Daisy, ia tidak dapat minum soda terlalu banyak, tapi kuat minum alkohol dua liter tanpa mabuk. Heran juga, Daisy sangat lemah pada soda. Kemarin, Daisy mengajak Eve untuk memesan pizza dan meminum soda berukuran gelas besar. Entah apa yang dipikirkan gadis itu, mungkin Daisy sedang banyak pikiran yang mengganggu.

“Aku hanya ingin, Eve,” elak Daisy, membela diri.

Setelah tidak ada yang keluar dari mulut lagi, Daisy menyeka bibirnya. Ia berpegangan pada sisi wastafel untuk menatap wajahnya yang sedikit terlihat pucat akibat terlalu banyak muntah.

“Perutku sakit.”

“Ya sudah, besok jangan bekerja dulu. Aku akan telepon Bram untuk—“

“Jangan!” cegah Daisy. “Tidak perlu mengatakannya pada Bram, aku sudah tidak apa-apa dan besok akan bekerja.”

Eve mendengkus, sulit sekali bicara pada orang yang sangat keras kepala seperti Daisy.

***

“Kau ingin makan apa hari ini?” kepala Eve menyembul dari balik pintu kamar.

Ia menemukan Daisy yang baru saja meluruskan kakinya setelah berolahraga sebentar. Gadis itu menoleh, memperhatikan Eve yang masih memakai celemek bergambar sapi.

“Apa saja yang kau masak nanti kumakan.” Daisy tersenyum tulus.

“Aish, kau ini. Aku ingin mencoba resep baru kali ini. Jika tidak enak, nanti kita delivery saja, ya.” Eve terkekeh.

Eve memang sering mencoba beberapa resep makanan jika senggang. Ia terobsesi untuk membuka restoran jika ia memiliki banyak uang. Tidak salah juga sebenarnya, karena makanan yang dimasak Eve kebanyakan selalu enak. Daisy saja yang bekerja di restoran masih kalah enak dalam hal memasak.

“Iya, Eve. Aku mau mandi dulu.” Daisy mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi.

30 menit kemudian ...

Daisy menemui Eve yang sudah duduk di meja makan. Beberapa makanan sudah tersaji di sana. Seperti nugget, kari ayam, dan beberapa lauk lainnya.

“Kau memasak banyak sekali, Eve. Kita hanya makan berdua, memangnya kau sanggup menghabiskan ini?” tanya Daisy.

“Austin akan ke sini, jadi sekalian saja aku masak banyak.”

Daisy mengerti. Ia mulai mengambil nasi dan menuangkan kari ayam buatan Eve yang tampak lezat. Tetapi, ketika ia mencium aroma kari itu, ia langsung mual. Secepat mungkin Daisy berlari ke kamar mandi.

“Daisy?” Eve menyusul Daisy yang tiba-tiba berlari ke kamar mandi. “Kau kenapa, Daisy?” Eve mengetuk pintu kamar mandi, menunggu Daisy selesai memuntahkan sesuatu.

Beberapa menit kemudian, Daisy keluar dari kamar mandi dengan wajah yang merah padam, ia bersandar pada kusen pintu. “Maaf, bukannya tidak menghargai makananmu, Eve. Tapi, perutku sedang tidak nyaman akhir-akhir ini," Ucap Daisy menyesal.

Eve tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, kau mau makan apa?” tanya Eve. “Mungkin aku bisa memasakkan untukmu.”

Daisy menggeleng. “Tidak perlu Eve, aku akan pergi tidur saja.”

“Tapi kau belum makan apa-apa.” Eve menuntun Daisy ke kamarnya.

“Jika dipaksa aku akan memuntahkan makanannya lagi, nanti saja jika sudah tidak mual aku makan.” Daisy sudah mencoba makan sesuatu di tempat kerjanya juga, tapi berakhir dengan dirinya yang mual hebat.

Eve menyelimuti tubuh Daisy, dan entah kenapa semakin hari gadis itu semakin terlihat kurus.

“Nanti aku belikan obat jika keluar dengan Austin, ya.”

Daisy mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Eve.”

***

Ini sudah hampir tengah malam, ketika perut Daisy mendadak kembali mual disertai pusing yang hebat. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju kamar mandi, memuntahkan sesuatu yang cair dan terasa pahit di tenggorokannya. Sejak tadi, ia memang belum makan apa pun. Tubuhnya seperti menolak semua makan yang coba Daisy makan.

Ia juga tidak tahu kenapa ia merasa begitu mual mencium bau-bauan. Aneh sekali.

“Akh ....” Daisy berpegangan pada tembok di belakang dengan napas terengah menahan sakit kepala.

Sayang sekali, malam ini Daisy tidak tidur sekamar dengan Eve. Ia jadi harus bersusah payah berjalan menuju kamar samping dengan berusaha berpegangan pada tembok ruangan. Ia menahan sekuat tenaga tubuhnya yang hampir-hampir ambruk.

“Eve,” panggil Daisy, kakinya sudah sangat gemetar.

Ia mengetuk pelan pintu kamar Eve, tapi tidak kunjung dibuka.

“Eve, tolong aku, Eve.” Daisy mulai meluruh ke lantai, karena sudah tidak mampu menahan berat tubuhnya.

Apa mungkin Eve belum pulang dari kencan butanya bersama Austin, kenapa tidak menjawab ketukan Daisy dan keluar dari kamar?

Rasanya tubuh Daisy sudah sangat lemas untuk berdiri. Ia tidak dapat melakukan apa pun lagi selain menunggu.

“Eve, buka!” ketukan Daisy mulai melemah.

Ia terjatuh ke lantai yang dingin, napasnya memburu dengan bulir keringat yang membasahi sebagian pakaian. Daisy menarik napas dalam, mencoba mengusir kabur di matanya karena rasa sakit kepala yang begitu kuat. Namun, pada akhirnya, Daisy justru pingsan.

***

Eve bersenandung kecil di depan apartemen, ia mencari kunci yang ia masukkan ke dalam salah satu sepatu yang tersusun di rak untuk membuka pintu.

Hari ini lelah sekali, ia juga harus mengantarkan Austin ke apartemennya dulu karena lelaki itu mabuk.

Eve berhasil masuk ke dalam apartemen, ia melepas jaketnya dan berjalan menuju kamar. Awalnya, ia berpikir akan mengecek keadaan Daisy dulu, tapi ia sudah menemukan tubuh Daisy yang tergeletak di depan pintu kamarnya.

"Daisy!" teriak Eve panik.

Ia menepuk beberapa kali pipi Daisy dengan keras, tapi masih belum ada respon. Karena sudah sangat larut malam dan takut Daisy kenapa-napa, Eve akhirnya memanggil ambulans.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status