Home / Romansa / DAISY / Bab 7

Share

Bab 7

Author: Min_Jikyu
last update Last Updated: 2021-06-22 16:52:42

“Selamat menikmati.”

Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.

“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”

Daisy mengangguk.

Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.

Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.

“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pada Daisy ketika melihat gadis itu sudah berganti pakaian dan mengenakan jaketnya.

Daisy hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Jam kerjanya sudah habis, waktunya dia pulang untuk membantu Eve di apartemen.

“Kau masih ada jam kerja?” tanya Daisy basa-basi.

“Sebentar lagi selesai, jika kau mau menunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang, Daisy.”

Dengan gelengan pelan, Daisy menolak secara halus tawaran Bram. “Aku ada janji dengan Eve di apartemen. Aku duluan, ya, Bram.”

Bram menatap punggung Daisy hingga hilang dari balik pintu khusus ruang karyawan. Menghela napas, Bram mengusap wajahnya yang kecewa. Sulit sekali mengajak Daisy untuk pergi bersamanya, padahal ia sudah berusaha dengan beberapa alasan, tapi tetap saja, Daisy sulit sekali ditaklukan.

***

Huek ... huek ...

“Kau serius tidak apa-apa?” tanya Eve, ia tetap memijat tengkuk Daisy, membiarkan gadis itu memuntahkan apa saja yang ada di perutnya.

“Aku, kan sudah bilang, tidak usah minum soda terlalu banyak.”

Ini kelemahan Daisy, ia tidak dapat minum soda terlalu banyak, tapi kuat minum alkohol dua liter tanpa mabuk. Heran juga, Daisy sangat lemah pada soda. Kemarin, Daisy mengajak Eve untuk memesan pizza dan meminum soda berukuran gelas besar. Entah apa yang dipikirkan gadis itu, mungkin Daisy sedang banyak pikiran yang mengganggu.

“Aku hanya ingin, Eve,” elak Daisy, membela diri.

Setelah tidak ada yang keluar dari mulut lagi, Daisy menyeka bibirnya. Ia berpegangan pada sisi wastafel untuk menatap wajahnya yang sedikit terlihat pucat akibat terlalu banyak muntah.

“Perutku sakit.”

“Ya sudah, besok jangan bekerja dulu. Aku akan telepon Bram untuk—“

“Jangan!” cegah Daisy. “Tidak perlu mengatakannya pada Bram, aku sudah tidak apa-apa dan besok akan bekerja.”

Eve mendengkus, sulit sekali bicara pada orang yang sangat keras kepala seperti Daisy.

***

“Kau ingin makan apa hari ini?” kepala Eve menyembul dari balik pintu kamar.

Ia menemukan Daisy yang baru saja meluruskan kakinya setelah berolahraga sebentar. Gadis itu menoleh, memperhatikan Eve yang masih memakai celemek bergambar sapi.

“Apa saja yang kau masak nanti kumakan.” Daisy tersenyum tulus.

“Aish, kau ini. Aku ingin mencoba resep baru kali ini. Jika tidak enak, nanti kita delivery saja, ya.” Eve terkekeh.

Eve memang sering mencoba beberapa resep makanan jika senggang. Ia terobsesi untuk membuka restoran jika ia memiliki banyak uang. Tidak salah juga sebenarnya, karena makanan yang dimasak Eve kebanyakan selalu enak. Daisy saja yang bekerja di restoran masih kalah enak dalam hal memasak.

“Iya, Eve. Aku mau mandi dulu.” Daisy mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi.

30 menit kemudian ...

Daisy menemui Eve yang sudah duduk di meja makan. Beberapa makanan sudah tersaji di sana. Seperti nugget, kari ayam, dan beberapa lauk lainnya.

“Kau memasak banyak sekali, Eve. Kita hanya makan berdua, memangnya kau sanggup menghabiskan ini?” tanya Daisy.

“Austin akan ke sini, jadi sekalian saja aku masak banyak.”

Daisy mengerti. Ia mulai mengambil nasi dan menuangkan kari ayam buatan Eve yang tampak lezat. Tetapi, ketika ia mencium aroma kari itu, ia langsung mual. Secepat mungkin Daisy berlari ke kamar mandi.

“Daisy?” Eve menyusul Daisy yang tiba-tiba berlari ke kamar mandi. “Kau kenapa, Daisy?” Eve mengetuk pintu kamar mandi, menunggu Daisy selesai memuntahkan sesuatu.

Beberapa menit kemudian, Daisy keluar dari kamar mandi dengan wajah yang merah padam, ia bersandar pada kusen pintu. “Maaf, bukannya tidak menghargai makananmu, Eve. Tapi, perutku sedang tidak nyaman akhir-akhir ini," Ucap Daisy menyesal.

Eve tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, kau mau makan apa?” tanya Eve. “Mungkin aku bisa memasakkan untukmu.”

Daisy menggeleng. “Tidak perlu Eve, aku akan pergi tidur saja.”

“Tapi kau belum makan apa-apa.” Eve menuntun Daisy ke kamarnya.

“Jika dipaksa aku akan memuntahkan makanannya lagi, nanti saja jika sudah tidak mual aku makan.” Daisy sudah mencoba makan sesuatu di tempat kerjanya juga, tapi berakhir dengan dirinya yang mual hebat.

Eve menyelimuti tubuh Daisy, dan entah kenapa semakin hari gadis itu semakin terlihat kurus.

“Nanti aku belikan obat jika keluar dengan Austin, ya.”

Daisy mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Eve.”

***

Ini sudah hampir tengah malam, ketika perut Daisy mendadak kembali mual disertai pusing yang hebat. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju kamar mandi, memuntahkan sesuatu yang cair dan terasa pahit di tenggorokannya. Sejak tadi, ia memang belum makan apa pun. Tubuhnya seperti menolak semua makan yang coba Daisy makan.

Ia juga tidak tahu kenapa ia merasa begitu mual mencium bau-bauan. Aneh sekali.

“Akh ....” Daisy berpegangan pada tembok di belakang dengan napas terengah menahan sakit kepala.

Sayang sekali, malam ini Daisy tidak tidur sekamar dengan Eve. Ia jadi harus bersusah payah berjalan menuju kamar samping dengan berusaha berpegangan pada tembok ruangan. Ia menahan sekuat tenaga tubuhnya yang hampir-hampir ambruk.

“Eve,” panggil Daisy, kakinya sudah sangat gemetar.

Ia mengetuk pelan pintu kamar Eve, tapi tidak kunjung dibuka.

“Eve, tolong aku, Eve.” Daisy mulai meluruh ke lantai, karena sudah tidak mampu menahan berat tubuhnya.

Apa mungkin Eve belum pulang dari kencan butanya bersama Austin, kenapa tidak menjawab ketukan Daisy dan keluar dari kamar?

Rasanya tubuh Daisy sudah sangat lemas untuk berdiri. Ia tidak dapat melakukan apa pun lagi selain menunggu.

“Eve, buka!” ketukan Daisy mulai melemah.

Ia terjatuh ke lantai yang dingin, napasnya memburu dengan bulir keringat yang membasahi sebagian pakaian. Daisy menarik napas dalam, mencoba mengusir kabur di matanya karena rasa sakit kepala yang begitu kuat. Namun, pada akhirnya, Daisy justru pingsan.

***

Eve bersenandung kecil di depan apartemen, ia mencari kunci yang ia masukkan ke dalam salah satu sepatu yang tersusun di rak untuk membuka pintu.

Hari ini lelah sekali, ia juga harus mengantarkan Austin ke apartemennya dulu karena lelaki itu mabuk.

Eve berhasil masuk ke dalam apartemen, ia melepas jaketnya dan berjalan menuju kamar. Awalnya, ia berpikir akan mengecek keadaan Daisy dulu, tapi ia sudah menemukan tubuh Daisy yang tergeletak di depan pintu kamarnya.

"Daisy!" teriak Eve panik.

Ia menepuk beberapa kali pipi Daisy dengan keras, tapi masih belum ada respon. Karena sudah sangat larut malam dan takut Daisy kenapa-napa, Eve akhirnya memanggil ambulans.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAISY   Bab 40

    "Bagaimana jika honeymoon bersama?"Austin yang ada di sebelah Arthur sampai tersedak ketika sang istri mengatakan hal itu.Mereka berempat---Arthur, Daisy, Eve, dan Austin. Sedang makan malam bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari toko kue Daisy. Reunian dadakan, setelah hampir empat bulan tidak bertemu karena Eve menemani Austin ke luar negeri."Honeymoon lagi?" Austin agaknya keberatan. "Bulan kemarin kau sudah memintanya, sayang."Daisy yang mulai tahu akan ada perdebatan di antara pasangan itu, akhirnya bersuara. "Honeymoon, ke mana?""Ya, ke mana saja. Berempat.""Aku keberatan," sahut Arthur yang sejak tadi hanya diam, menyimak.Daisy sebenarnya ingin protes, tetapi ketika ia tahu mata Arthur mengarah ke mana, ia tidak jadi protes. "Aku tidak bisa untuk beberapa bulan ini.""Ya, tidak seru sekali." Eve menghela napas, kecewa."Tunggu sampai bayiku lahir dulu," ucap Daisy.Kehamilannya sudah memasuk

  • DAISY   Bab 39

    "Aku sudah memaafkan mereka," ungkap Daisy, mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya bersama Arthur. Arthur yang hanya terpejam, mengangguk singkat. "Aku tahu kau sangat baik," bisiknya, mengecup puncak kepala Daisy begitu lama. "Mungkin, hukuman itu membuat Layton dan Seryl tidak bisa menikmati kebersamaan merawat anak mereka. Aku sering berpikir, apakah aku terlalu jahat menjebloskan lelaki itu ke penjara?" Arthur terkekeh. "Tidak ada yang jahat. Itu sudah menjadi tanggung jawab Layton. Berani berbuat berarti berani menanggung konsekuensi, sayang." Sejenak, Daisy menikmati usapan lembut Arthur di perut besarnya. Sebelum merespon ucapan Arthur. "Termasuk Seryl juga?" "Ya, Seryl dan mamanya juga pantas mendapatkan semuanya. Kau sudah lama tersiksa, sayang. Sekarang giliranmu bahagia, bukan?" Balas dendam bukan solusi terbaik untuk sebuah masalah. Meski Daisy sempat kesal dan membenci, bagaimana pun juga Seryl adalah keluarga.

  • DAISY   Bab 38

    Kring ... kring ....Bel yang menandakan pelanggan baru saja masuk ke dalam toko kue kembali terdengar. Daisy menunjukkan senyum manisnya dan berdiri dari tempatnya duduk."Selamat datang di toko DaisyMilk, ada yang bisa saya bantu?"Daisy memberikan buku menu yang berisi bermacam-macam roti yang ada di toko ini. Toko kue peninggalan Mama Erisya yang sedikit diubah Arthur menjadi toko minimalis.Setelah usia kandungan Daisy memasuki enam bulan. Ia diberi kesibukan untuk mengurus toko bernama DaisyMilk ini bersama empat karyawan lain yang bertugas di dapur."Baik, satu kue tart yang akan diambil besok, ya. Mohon dicek kembali pesanan anda."Daisy menyodorkan tulisan pesanan yang sudah ia tulis di note pada pelanggan.Sudah pukul dua lewat lima belas menit. Waktunya Daisy untuk pulang ke rumah, tetapi masih ada beberapa pesanan yang belum dicek ulang."Nona, lebih baik istirahat saja. Nanti biar saya yang menyelesaikan pesanan."

  • DAISY   Bab 37

    Dokter dan beberapa perawat mencoba untuk menenangkan Seryl yang histeris karena kontraksi. Sementara Daisy sudah tidak tahan lagi harus terus berdiri dengan tangan yang di genggam Seryl kuat-kuat. "Dokter, aku sudah tidak kuat," lirih Daisy, memegang perutnya sendiri yang sejak tadi kram. Arthur sedang keluar untuk menelepon polisi. Tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi dan satu-satunya orang yang dapat menemani Seryl melahirkan adalah Layton. "Nona, kau bisa duduk dulu di sini. Perutmu kram?" Daisy mengangguk. Seorang suster memberikan kursi pada Daisy dan membantu gadis itu untuk duduk. Jeritan Seryl sama sekali tidak bisa membuatnya tenang. Daisy diselimuti rasa khawatir juga mengenai persalinan ini. Tadi, ia sempat mendengar percakapan Arthur dengan dokter yang menangani Seryl. Ketuban yang pecah dini, membuat bayi di dalam rahim Seryl kekurangan oksigen. "Daisy," panggil Arthur. Bagaimana?" "Perizinan

  • DAISY   Bab 36

    2 bulan kemudian .... Arthur menatap setiap inci rumah peninggalan Erisya. Menyerap semua memori dan memutarnya kembali dalam kepala. Kenangan demi kenangan muncul, bagai skenario indah yang Tuhan ciptakan untuk Arthur. "Jika memang belum siap, kenapa terburu-buru?" Daisy mengusap bahu Arthur sebagai bentuk menenangkan. "Menunggu terlalu lama akan semakin membuatku sulit melepaskan ini semua, Daisy." Arthur memilih untuk menjual rumah peninggalan Erisya, karena tidak ada yang akan menempati rumah itu. Ia sudah bertekad untuk pindah ke rumah sederhana yang dibangun untuk Daisy. "Apa kita pindah lagi saja di sini? Kita bisa menjual rumah baru kita, sayang," putus Daisy. "Tidak, kita harus bisa merelakan Mama dan semua kenangannya." Dua bulan kepergian Mama, baik Arthur dan Daisy, mereka sama-sama merasakan ruang kosong di hati masing-masing. Mereka kehilangan sosok yang paling berjasa dan dicintai. Terlalu larut dalam kes

  • DAISY   Bab 35

    "Mama!"Arthur berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat sampai di ruang rawat inap Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga peralatan medis yang mereka bawa terjatuh.Dia tidak peduli lagi, Arthur terus berlari.Tapi, ternyata sudah terlambat.Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan Daisy yang menangis meraung-raung memeluk jasad Mama. Entah sejak kapan gadis itu ada di sini, Arthur bahkan lupa jika Daisy ada di sini. Ia terlalu kalut.Arthur berjalan perlahan untuk mendekat. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. "Mama." Hanya itu yang bisa ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mamanya lagi, beliau akan menjawab dengan suara merdunya."Mama," panggil Arthur sekali lagi, membuka penutup kain di wajah Mama dengan tangan yang gemetar.Arthur dapat melihat wajah Mama yang begitu pucat dan bibir yang sudah membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Lelaki itu tidak dapat menggambarkan bagaimana ha

  • DAISY   Bab 34

    Awan mendung yang bergumul di langit, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Gemuruh petir terdengar bersahutan, menambah kesan kelabu untuk malam ini.Brankar pesakitan itu terus didorong melewati lorong-lorong rumah sakit. Sampai pada akhirnya berhenti, setelah berhasil masuk ke dalam ruang unit gawat darurat.Tepat ketika pintu ruangan itu ditutup. Hujan deras mengguyur kota, membasahi sebagian bumi dan membuat beberapa orang berusaha menghindarinya."Duduk dulu." Suara berat seseorang menyentak lamunan Daisy."Aku tidak mau," tolak Daisy, ia tetap berdiri di depan pintu UGD yang tertutup rapat.Air mata gadis itu terus mengalir, bersama tubuhnya yang menggigil kedinginan karena terkena gerimis malam ini."Kau kedinginan, aku tidak mau kau ikut sakit juga setelah ini. Tolong dengarkan aku sebentar.""Tapi, Arthur----" Daisy tidak dapat meneruskan ucapannya karena tangisnya semakin pecah."Tidak apa-apa, tidak akan

  • DAISY   Bab 33

    Seorang wanita tidak akan bisa hidup tanpa lipstik, itu menurut Arthur. Meski Daisy tidak pernah berdandan yang berlebihan, dia selalu mengedepankan lipstik ke mana pun dia pergi."Kau mau beli di mana, sayang?"Arthur masih menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menunggu Daisy menemukan lipstiknya yang tiba-tiba saja tidak ada di dalam tas gadis itu.Mall besar dan toko kosmetik sudah terlewat jauh dari jalan ini. Bisa putar balik, tetapi acara mereka untuk makan siang bersama Mama akan berantakan. Mama sudah menunggu mereka di rumah sejak tadi."Ceroboh sekali aku meninggalkan benda itu.""Di kamarku, memang tidak ada kosmetik yang kau simpan di sana?" tanya Arthur."Tidak ada, sayang. Aku sudah membawa semuanya ke rumah baru kita."Arthur mengetukkan jemarinya di setir. "Kita bisa membelinya, ketika akan mengunjungi Bibi Calyn nanti, bagaimana?" putus Arthur."Ya sudah, aku tidak memakai lipstik juga tidak apa-apa." Daisy m

  • DAISY   Bab 32

    Seryl masih belum bisa menghubungi Daisy, entah kenapa ponsel gadis itu tidak aktif berhari-hari.Kecemasan terhadap kondisi Mama yang semakin menurun membuat Seryl sering merasakan kontraksi palsu pada kehamilannya yang genap berusia enam bulan."Bagaimana ini." Seryl berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Mama.Mencoba memutar otak untuk bisa menemukan Daisy, setelah gadis itu pindah dari rumah ibu mertuanya. Seryl dengar, Daisy dan Arthur membeli rumah di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Arthur bekerja.Lama Seryl berpikir, seseorang dari kejauhan memanggil namanya."Sedang apa kau di sini, Seryl?"Seperti mendapatkan sebotol air di gurun pasir, Seryl sangat senang bisa bertemu Eve tanpa sengaja. Meski gadis ini kelihatan sangat tidak menyukai Seryl, tetapi Eve masih mau menyapanya."Kau tahu di mana, Daisy?"Eve mengedikkan bahu. "Untuk apa bertanya, dia sudah bahagia dengan suaminya."Nada b

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status