“Ta, kamu ga apa-apa?” tanya Ayu mendekap Tatu yang gemetaran
Sementara, kakak tirinya melarikan diri setelah sebagian penghuni kost berhamburan dan berteriak meminta tolong.
“Minum dulu, Ta,” Dinda salah satu penghuni kost lain mengulurkan mug teh hangat untuk Tatu minum. Air mata masih menganak sungai dari kelopak mata bulat milik Tatu. Hanya beberapa tegukan, penghuni kost lain dan beberapa warga terdekat masih berkerumun di depan kost. Ya, mereka memang mengenal Tatu. Karena semenjak mulai bekerja di pabrik Fiskar lima tahun lalu. Tatu tidak pernah berpindah kost, dan ia tidak ragu untuk bersosialisasi terhadap warga sekitar.
“Neng Tatu, atuh kenaon … “ Bu Iroh, penjual pecel depan kost berhambur masuk, logat khas sundanya menggema di kesunyian kamar Tatu. Dinda, Mbak Ayu dan beberapa penghuni kost hanya menemani dan menenangkan Tatu yang masih gemetaran, dan menangis tanpa suara.
“Ada yang mau jahatin Tatu, Bu,” jawab Dinda dengan suara pelan. Mereka masih syok, karena penghuni kost yang memang khusus putri, dan tidak ada satpam yang mengawasi. Tentu kejadian Tatu malam ini membuat mereka khawatir.
“Aku ga apa-apa, Bu,” sela Tatu dengan suara parau.
“Udah makan belum, Neng? Ibu bikinkan pecel ya?” tawar Bu Iroh. Biasanya pulang kerja Tatu akan memesan soto atau pecel telor. Tapi beberapa hari Tatu tidak ke warungnya.
“Makasih, Bu. Tatu udah makan tadi, pengen tidur aja,” ujar Tatu, suaranya parau dan sengau.
Mbak Ayu mengelus punggung Tatu menawarkan diri, “Aku temenin ya, Ta? Tidur sini?”
“Iya, Ta. Biar Mbak Ayu temenin,” sambar Dinda. Tatu mengangguk menyetujui. Ya, dia butuh teman kali ini. Sebelum kehamilannya, Tatu akan di jemput Josh, dan beberapa hari dari seminggu pasti ia akan menginap di apartemen pria itu. Kecuali Josh ada pekerjaan di luar negeri.
“Makasih semuanya, maaf sudah merepotkan,” ucap Tatu, pada orang-orang yang sudah perhatian dan menenangkannya.
“Ga usah sungkan, Neng. Kalau ada apa-apa ke Ibu juga boleh,” timpal Bu iroh” Tatu hanya mengangguk.
Selepas kepergian mereka, suasana menjadi sunyi. Tatu berpamitan membersihkan diri pada Mbak Ayu. Air mata masih menggenangi pelupuk matanya, mengambil air wudhu Tatu ingin memohon ampunan. Tapi rasa tak pantas menggelayuti hati. Kesialan seperti datang bertubi-tubi, sepertinya Tuhan memang sedang murka padanya.
“Ta, lama amat sih, kamu ga pingsan ‘kan?” Mbak Ayu menggedor pintu kamar mandi.
“Ga, Mbak. Bentar lagi,” seru Tatu. Tak lama ia keluar, membawa handuk dan menyampirkan pada tempat handuk yang ada di luar kamar mandi. Ia segera menjalankan ibadah, setelah itu berbaring di ranjangnya.
“Sini, Mbak!” Tatu menggeser badannya, mempersilakan Mbak Ayu tidur di sampingnya. Tempat tidur Tatu hanya spring bed queen size. Yang ia beli beberapa tahun lalu, dengan gaji pertamanya. Karpet Turki KW menjadi alasnya. Mbak Ayu yang duduk bersandar pada nakas kecil di samping tempat tidur Tatu menatap lamat-lamat
“Ta, sorry ni. Lelaki itu siapa? Cowok yang naksir kamu apa gimana?” tanya Mbak Ayu memberanikan diri, demi memupus rasa penasaran dan jiwa keponya.
“Itu kakak tiri aku, Mbak. Sedang dalam perjalanan menyebrang mungkin. Dia kernet truk,” info Tatu singkat.
“Kakak tiri? Kok bisa mau perkosa kamu sih?” timpal Mbak Ayu dengan nada jengkel, memutar badannya demi memberi atensi pada Tatu seluruhnya.
“Dari kecil memang suka iseng, Mbak. Apalagi kalau kemauannya tidak dituruti, aku sering di pukul, dulu. Tapi tidak tahu, kenapa tadi Mas Ganjar seperti itu,” ucap Tatu dengan pandangan menerawang. Hatinya hancur, kakak tirinya sudah keterlaluan. Mengusap lehernya, tiba-tiba Tatu panik. Berdiri dan menuju ke kaca panjang di sudut.
“Ada apa, Ta?” Mbak Ayu juga ikut berdiri, heran dengan Tatu yang tiba-tiba panik.
“Kalung aku, Mbak. Ga ada di leherku, jatuh di situ ga ya mbak?” Tatu berjalan ke arah Ganjar menghambur isi tasnya. Masih meraba-lehernya.
“Jangan-jangan masmu tadi ga niat perkosa kamu, tapi mau narik kalung kamu, Ta. Coba aku lihat,” Mbak Ayu berspekulasi, melihat leher Tatu yang memerah bekas gesekan.
“Gimana mbak?” tanya Tatu panik.
“Merah baret, Ta. Keknya emang iya. Dompet kamu ada ga?” tanya mbak Ayu lagi. Tatu memeriksa setiap sudut kasurnya. Dompet yang tadi sempat ia dan kakaknya perebutkan terlempar di ujung kasur. Tatu bernapas lega.
“Ada, Mbak. Makasih mbak udah di ingetin,” ucap Tatu tulus. Tubuhnya terkulai lemas, di situ ada ATM yang diberikan Josh, isinya Tatu tak pernah tahu. Karena ia hanya menggunakan dalam posisi kepepet.
“Ya udah, istirahat aja. Beresinnya besok aja ya?” tawar Mbak Ayu, Tatu menyanggupi. Mbak Ayu mengunci pintu kamar, dan segera merebahkan diri di samping Tatu.
“Makasih, Mbak. Udah mau nemenin aku,” ucap Tatu tulus. Walau suka membuat kesal, Tatu beruntung Mbak Ayu masih mau menemaninya. Seandainya Lara di sini pasti kakaknya sudah di hajar. Walau kalem dan terlihat pendiam, Lara pandai bela diri. Ia pernah ikut Tapak Suci di sekolahnya dulu. Saat seperti ini, Tatu tidak hanya merindukan Lara, ia juga merindukan Josh. Pria brengsek itu, tidak menghubunginya lagi.
***
Bukan masalah berapa berat derita yang ia tanggung, Tatu tak akan pernah menyerah melawannya. Berusaha keras mengais bahagia di sela-selanya. Walau tercabik dan tertatih, Tatu tetap menguatkan hati.
“Ta, sarapan bubur mau?” Mbak Ayu menawari Tatu esok harinya. Mereka sudah segar, dan siap berangkat ke tempat kerja masing-masing.
“Boleh, Mbak. Tatu ambil mangkoknya dulu,” Tatu bergegas ke dapur mininya, mengambil mangkok dan sendok. Menunggu tukang bubur yang sedang meracik pesanannya. Seorang pria dengan baju batik menghampiri Tatu dan Mbak Ayu.
“Assalamu’alaikum, benarkan ini kost Mbak Tatuania?” tanya pria itu ramah.
“Iya Pak, Ada apa?” jawab Tatu heran. Berdiri dan mempersilakan tamunya duduk.
Mbak Ayu yang terlihat kepo menyingkir, tidak ingin dilibatkan. Sepertinya lelaki yang datang sepagi ini adalah orang yang berkedudukan penting.
“Oh, tidak Mbak. Saya ketua RT di lingkungan ini. Saya mendengar tadi malam ada keributan dan Mbak Tatu hampir di perkosa?” tanya Pak RT. Tatu meringis, ‘Sialan Mas Ganjar’ umpat Tatu dalam hati.
“Sebenarnya dia kakak tiri saya, Pak. Datang kesini hendak meminta bantuan, tapi saya sedang tidak bisa membantu. Jadi dia berniat mencelakai saya, saya mohon maaf sudah menimbulkan keributan.” Ucap Tatu dengan sopan. Ia ingin semua selesai saat ini.
“oh, masih saudara? Tapi begini ya, Mbak. Demi menjaga lingkungan tetap kondusif sepertinya, Mbak harus melapor atau meminta Ibu Hamsyah mengikuti program lingkungan kami. Ya, memang harus membayar retribusi keamanan. Tapi penghuni kost ini kan kebanyakan buruh wanita yang belum berkeluarga. Supaya petugas kami bisa berjaga-jaga,” jelas Pak RT. Tatu mendesah tak kentara.
“Kalau itu saya tidak bisa memutuskan Pak, mungkin bapak bisa berkomunikasi dengan Ibu Hj. Kami hanya penyewa di sini. Dan selama ini kami tidak pernah mempunyai masalah keamanan,” kilah Tatu masih dengan kesopanan.
“Memang benar, Tapi Mbak Tatu hampir di perkosa loh!”
“Apa! Perkosa?!” Tatu mendongak ke sumber suara.
“Josh??” lirih Tatu.
Tatu hanya membatu, saat rindu menjadi temu yang ia sudah nyatakan tak akan mau. Namun Tuhan tahu, kepada siapa hatinya hanya merindu dan bibir ingin berucap ‘aku membutuhkanmu’. Saat iris mata bertemu tak ada yang bisa meragu, keduanya tak bisa berpaling dari rasa yang sama-sama menggebu. Dengan jantung yang bertalu, Tatu memberanikan diri menyapa. "Ng-ngapain kamu di sini Josh?" cicitnya gagu. Josh naik ke teras, menatap nyalang pria dengan baju batik di hadapan Tatu. "Siapa yang hampir di perkosa? Jawab saya Pak!" seru Josh, dengan tak sabaran. Pak RT berdiri wajahnya memucat, tubuhnya sedikit gemetar. Berhadapan dengan pria asing, membuat nyali Pak RT menciut. "Bukan, eh maaf bapak siapa?" tanya Pak RT gugup. "Saya? Pengacara. Ada apa? Kenapa anda datang ke kost Tatu pagi-pagi seperti ini? Bukan seharusnya bertamu itu sore atau malam hari?" Josh mencoba mengintimidasi, tapi malah membuat Tatu menahan kekehannya. 'Lha dia nyuruh orang bertamu jangan pagi-pagi, dia sendiri nga
Tatu terhenyak namun enggan membuka mata, semburan dingin dari arah depan juga aroma terapi yang sangat familiar menyamankan indra penciumannya, terdengar suara-suara berisik dan raungan knalpot yang mengganggu telinganya. Mencoba merenggangkan badan, tangan kanannya menangkap wajah seseorang. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan Ganjar tidur di samping membuat Tatu segera memaksa matanya untuk terbuka. “Arrrgghhh, di mana ini … di mana ini …!!” teriak tatu panik, ia terbangun menoleh ke kanan dan ke kiri terkejut bukan main, karena di depan matanya adalah jalan toll dengan truk yang berjalan pelan. Bayangan ganjar menculiknya membuat Tatu ketakutan. Cengkraman di tangan kanannya, membuat Tatu menoleh dengan cepat. “Ania sayang, calm down. Baby,” ucap Josh dengan suara pelan, membawa jemari Tatu ke mulutnya dan mengecupinya. “Bagaimana bisa kamu membawaku, Josh!” seru Tatu tak terima, otaknya masih mencerna dan memikirkan. Bagaimana Josh bisa membawanya ke dalam mobil dan sekaran
“Josh! Aku mau pulang!” Tatu berdiri, meraih tas di sofa. Dia hendak berjalan ke arah pintu, saat tangan besar mencekal pergelangan tangannya. “Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini.” Josh menarik Tatu hingga tubuhnya membentur tubuh lelaki besar itu. Josh segera mengungkung wanita yang masih memakai seragam itu dalam dekapannya. Tatu mendesah lelah, mendongakkan kepala demi melihat wajah pria pemaksa yang sudah membawanya ke apartemen mewah itu. “Kamu tidak punya hak untuk memaksaku tinggal di tempat ini,” katanya, membawa dua tangannya ke dada Josh dan mendorong pelan. Namun sia-sia, tenaganya tak sebanding dengan tenaga pria kekar itu. Josh menunduk, menatap lekat iris sewarna jelaga yang menjadi favoritnya. “Humm, seperti itu?” ucap Josh dengan seringai licik. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada pinggang Tatu dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya bergerak ke atas hingga tengkuk. Dia sangat hapal, bagaimana menjinakkan gadis keras kepala yang sudah mengisi hari-ha
Tatu mencoba memuka pintu kamar Josh. Sialnya, lelaki itu mengunci dari luar, entah apa yang ada di pikirannya. Padahal Tatu tak berencana kabur, percuma saja ‘kan? Sudah lewat tengah malam. “Josh!” Tatu masih tidak menyerah memanggil. Setelah terbangun tadi dan tak menemukan Josh di sampingnya. Tatu mengabaikan kantuk dan rasa lelah, ia segera ke kamar mandi mencuci muka lalu mencari baju. Ia termangu di depan almari, antara lega dan juga merasa tak mempunyai harga diri. Tumpukan baju yang Josh persiapkan untuknya masih tersusun rapi. Lengkap, mulai dari pakaian dalam hingga dress. Dengan lemas ia menarik celana panjang dan sweater segera memakainya. Bunyi kunci yang diputar, memaksa Tatu untuk mundur. Dan Josh berdiri dengan celana pendek yang menggantung tak sopan di pinggang rampingnya. “Ada apa, Baby? Kenapa bangun? Apa lapar lagi?” tanya Josh perhatian. Tatu menggeleng, mengabaikan Josh. Ia berjalan keluar kamar, menuju dapur dan mengambil air minum. “Siapa tadi yang dat
Tatu mengusap air matanya kasar, ia seharusnya tak menjadi lemah. Sudah terbiasa diabaikan sejak kecil, seharusnya dia tidak terbawa perasaan. Ibunya memang seperti itu ‘kan? Entah bagaimana perlakuan ayah tirinya saat pria itu datang nanti. Setelah ibunya kembali, Tatu segera makan. Mandi dan mengunci kamar. Ia menyumpal telinganya dengan earphone, mencoba mengistirahatkan badannya yang lelah dan matanya yang sudah memberat. Hampir empat jam ia mengistirahatkan otak dan tubuhnya. Suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terjaga. Dan riuh suara tawa yang terdengar tak terlalu jauh membuat tatu berdecak. Pasti kawan-kawan preman sang ayah tiri. Sepertinya pulang ke rumah orang tuanya bukan pilihan yang tepat. Ini sama saja seperti keluar dari kandang buaya masuk ke dalam mulut ular. Tatu duduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya lalu meraih air mineral di samping ranjang kecilnya dan menenggak sampai habis. Ketukan tak sabaran membuatnya harus keluar, dengan muka ku
Tatu memutar badannya dengan pelan, lelaki tinggi dengan kulit coklat itu tersenyum simpul. Sudah hampir enam tahun tak bertemu, lelaki itu masih terlihat sama. tatu tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.“Arga?” Tatu maju selangkah, tidak tahu harus mengatakan apa. Fakta bahwa lelali di depannya adalah seseorang yang pernah ibunya jodohkan demi hal yang belum Tatu ketahui.“Apa kabar?” Pertanyaan singkat Arga yang terdengar ramah membuat tatu meringis. Pria berwajah manis itu mengulurkan tangan dengan senyum masih tersungging.“Baik, kamu?” Tatu menyambut uluran tangan lelaki itu.“Baik juga, mau kemana? Lama gak ketemu, jarang pulang?” Pe
Pertanyaan Arga tak membuat Tatu terkejut, ia sudah memantapkan hati untuk semua kemungkinan terburuk. Bibir tipis wanita itu tersunging hanya pada bagian ujungnya saja. “Hebat kamu, Ar, bisa tahu. Apa terlihat sekali?” Tatu memalingkan wajah, memandang kemanapun asal tidak pada lelaki di hadapannya. “Di bawah kakimu ada susu yang aku tahu hanya untuk ibu hamil,” kata Arga santai, lelaki itu kembali menyuap makanannya dan menghabiskan dengan cepat. Tatu tak tertarik untuk membahas susu itu. Biarkan Arga dengan asumsinya, ia hanya cukup melihat reaksi pria yang menjadi teman sekolahnya dulu. “Aku tidak akan menghakimimu, bahkan di sini juga banyak kok. Hanya saja kenapa bisa sampai kebobolan. Kita sudah sama-sama dewasa Ta, kamu gak usah sungkan.” Arga menyerup
Berkat kekesalan dan kepenatan pikirannya, Tatu yang sempat berikrar hanya akan menggunakan uang yang di beri Josh untuk kebutuhan mendesak saja. Hari itu ia resmi menjadi ingkar pada apa yang telah ia janjikan pada dirinya sendiri. Josh memang bukan pribadi yang pelit, lelaki itu sangat royal terhadap semua kebutuhan juga apa yang Tatu inginkan. Bahkan seperti seorang suami yang menyayangi isterinya. Josh selalu mengingatkan gadis itu untuk pergi ke klinik kecantikan ataupun salon. Josh selalu berkilah, jika itu untuk memanjakan mata juga untuk kesenangannya mengapa tidak. Berapapun harga treathmentnya katakan saja, maka lelaki itu akan menganggukkan kepala. Jika memang semua perlakuan manis Josh dilakukan saat status mereka sudah suami isteri, tentu itu akan sangat mambanggakan. Namun, dengan kondisinya yang hanya kekasih musiman. Tatu merasa Josh membeli tubuh dan pelayanannya, dan bodohnya ia baru menyadari sekarang. Saat semuanya sudah terlambat. Ya, Tatu selalu merasa dia ada