Share

BAB 3 - Ancaman

Author: Sally Diandra
last update Last Updated: 2025-08-27 21:13:11

Oma Dayana tak mampu lagi menahan tangisnya. Air mata mengalir deras di pipinya, sementara tubuhnya semakin gemetar. "Hyra... apa yang harus kita lakukan?" isaknya dengan suara lemah.

Hyra berlutut di samping perempuan tua itu, memeluknya erat. "Tenang, Oma. Aku akan cari jalan keluar," ucapnya, berusaha menenangkan. Tetapi dalam hatinya, Hyra merasa terhimpit. Tekanan yang ia hadapi semakin berat.

Tak berapa lama kemudian para preman pergi dengan ancaman yang masih terngiang di telinga, suasana rumah terasa begitu sunyi. Hyra segera menyiapkan teh hangat untuk Oma, berharap minuman hangat itu bisa menenangkan hati neneknya yang masih terguncang.

Oma Dayana, dengan tubuh ringkih, duduk di kursi makan. Rambutnya yang berwarna perak tampak tertata rapi, mengenakan daster bunga-bunga kecil yang terlihat sudah sering dipakai.

Wajahnya masih menyisakan bekas tangis, tetapi ia berusaha tersenyum kecil saat Hyra mendekat sambil membawa secangkir teh hangat.

“Ini, Oma. Diminum dulu, biar Oma sedikit tenang,” ujar Hyra sambil menyerahkan cangkir teh tersebut.

"Hyra," panggil Oma dengan suara lembut. "Maafkan Oma ya, Sayang. Kalau bukan karena hutang ini, kamu nggak akan mengalami kesulitan seperti ini."

Hyra menggenggam tangan Oma dengan lembut. "Oma, jangan bicara begitu. Aku akan mencari solusi. Aku janji, kita nggak akan kehilangan rumah ini. Oma tenang saja."

***

Seminggu kemudian …

Rumah Oma Dayana malam itu terasa sunyi. Sebuah rumah sederhana dengan dinding berwarna krem yang sudah mulai kusam dan pekarangan kecil di depan yang dihiasi beberapa pot bunga. Meskipun tidak besar, rumah ini adalah istana bagi Oma Dayana dan Dokter Hyra. Namun, malam ini, suasana tenang itu tiba-tiba berubah menjadi mencekam.

Oma Dayana duduk di ruang tamu, tangannya gemetar menggenggam secangkir teh hangat. Pandangannya sesekali tertuju pada jam dinding yang berdetak pelan. Sementara itu, Dokter Hyra masih sibuk dengan laptop di meja makan, mencoba menyelesaikan laporan medis yang harus dikumpulkan esok hari.

Ketukan keras di pintu depan memecah keheningan. Suaranya menggema, seperti pukulan palu yang menghantam tembok. Oma Dayana tersentak, hampir menjatuhkan cangkirnya. Hyra berdiri dengan alis berkerut. Ketukan itu tidak terdengar biasa, ada sesuatu yang tidak beres.

“Hyra, siapa itu malam-malam begini?” suara Oma terdengar serak, penuh kecemasan.

“Sebentar, Oma. Surti! Tolong lihat siapa yang datang?”

Seorang perempuan muda tampak keluar dari dapur dan berjalan perlahan ke arah pintu utama sambil mengangguk kecil ke Hyra yang kembali tenggelam di laptop. Tak lama kemudian, gadis itu kembali menghampiri Hyra dengan tatapan yang cemas dan ketakutan sambil menunjuk ke arah pintu.

“Ada apa, Ti?” tanya Hyra sambil menatap asisten rumah tangga itu yang sudah bekerja dengannya selama dua tahun ini. “Siapa yang datang malam-malam begini, Ti?”

“Itu mbak, itu.. ada… ada polisi di depan,” ujar Surti terbata-bata, wajahnya terlihat pucat pasi.

“Polisi?” Suara Hyra dan Oma Dayana terdengar bersamaan dengan ekspresi wajah yang kaget. Bergegas dokter muda itu berdiri dan berjalan menuju ke pintu, diikuti oleh Surti yang mengekor di belakang.

Saat Hyra membuka pintu, cahaya lampu teras menerangi dua orang pria berseragam polisi, lengkap dengan badge resmi di dada mereka. Di belakang mereka, terlihat dua pria bertampang garang, berpakaian seperti preman, yang sebelumnya pernah datang menagih utang.

Salah satu dari mereka, seorang pria dengan rambut gondrong dan jaket kulit hitam, memegang map berwarna merah. Wajahnya penuh amarah menatap ke arah Hyra.

“Selamat malam, Dokter Hyra Danurdara?” tanya salah satu polisi dengan nada tegas.

“Ya, saya sendiri,” jawab Hyra, mencoba menjaga ketenangannya.

“Kami dari kepolisian. Kami datang untuk menyampaikan surat eksekusi rumah ini. Berdasarkan putusan pengadilan, rumah ini resmi disita oleh pihak bank karena tunggakan pinjaman Oma anda yang belum dilunasi,” kata polisi itu sambil menyerahkan surat resmi tersebut.

Hyra hanya terdiam, terpaku. Tangannya gemetar saat mengambil surat itu. Sesaat gadis itu tampak sedang memikirkan sesuatu sambil memperhatikan surat tersebut. Kemudian dibukanya dan dibaca perlahan.

“Tunggu dulu! Ini pasti ada kesalahan, Pak! Saya sedang dalam proses menyelesaikan hutang ini!” ujar Hyra lugas sambil mengangkat surat itu ke atas. “Mediasinya ‘kan baru dilakukan sekali, dan belum ada waktu lebih untuk menyelesaikan masalah ini!” protesnya dengan suara meninggi.

“Maaf, Nona,” pria preman berambut gondrong menyela dengan nada sinis. “Selama ini kami sudah mengikuti prosedur. Surat peringatan sudah kami kirimkan sebanyak tiga kali dan bank tidak mau tahu! Besok pagi rumah ini harus dikosongkan!”

Oma Dayana yang sejak tadi menguping dari ruang tamu, berjalan pelan ke pintu. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Dengan langkah tertatih, ia berdiri di samping Hyra, Surti yang berdiri di sebelahnya segera merangkul pundak perempuan tua itu, mencoba memberikan ketenangan.

“Hyra, apa yang terjadi? Apa maksud mereka?” tanya Oma dengan suara lirih. Matanya yang sudah keriput dipenuhi rasa takut.

“Oma, tenang, aku akan menyelesaikan ini,” Hyra mencoba menenangkan, meskipun ia sendiri merasa kepalanya berdenyut karena tekanan.

“Tidak ada waktu untuk menyelesaikan apapun, Nona,” kata pria lainnya, yang tampak lebih pendek dan gemuk, dengan nada mengejek. “Kalau Anda punya uang, lunasi sekarang. Kalau tidak, rumah ini resmi kami segel.”

“Berikan kami waktu!” Hyra mendesak, suaranya tegas, tapi getar emosionalnya terasa. “Ini tidak adil. Kami belum diberi kesempatan cukup untuk menyelesaikan masalah ini! Tolong, Pak! Pahami keadaan kami.”

Polisi itu hanya menggeleng. “Kami hanya menjalankan tugas, Nona. Besok pagi rumah ini harus dikosongkan, sesuai perintah pengadilan,” ujarnya sambil menunjuk ke lembar surat yang ada di tangan Hyra.

Di luar rumah, beberapa tetangga mulai keluar. Mereka berdiri di pagar masing-masing, berbicara pelan dengan wajah penasaran. Hyra bisa merasakan tatapan mereka yang tajam, bisikan mereka yang jelas-jelas membicarakan situasi di rumah Oma Dayana.

“Rumahnya mau disita, ya?” bisik seorang wanita dengan daster berwarna hijau kepada suaminya.

“Kasihan Oma Dayana, udah tua, kok bisa punya utang banyak,” balas suaminya.

Hyra menggertakkan gigi melihat para tetangga yang saling berbisik, membicarakan mereka. Dokter muda itu berusaha fokus, tidak membiarkan komentar tetangga memengaruhi pikirannya. Namun, dalam hati, ia merasa hancur.

Oma Dayana tiba-tiba terisak. Tangannya mencengkeram lengan Hyra dengan lemah. “Hyra, kita mau tinggal di mana? Rumah ini satu-satunya yang kita punya. Bagaimana kalau mereka benar-benar menyita semuanya?”

Suaranya pecah, tangisnya terdengar pilu. Surti hanya bisa mengelus-elus lengan atas Oma dengan perasaan sedih. Asisten rumah tangga itu bisa merasakan kesedihan majikan yang telah dilayaninya selama ini.

Hyra pun menggenggam tangan Oma dengan erat. “Oma, tenang. Aku janji, aku akan menemukan solusi. Tidak akan ada yang mengambil rumah ini, Oma. Percayalah padaku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 42 - MENEMUI MASA LALU

    Sore itu, jalanan Jakarta yang padat terasa bergerak sangat lambat seperti siput. Hyra menyewa mobil dengan sopir, meminta sang sopir untuk berkendara secepat mungkin menuju ke Bogor, dan terus masuk ke daerah pegunungan yang terpencil. Selama perjalanan, Hyra terus membolak-balik laporan investigasi tersebut, mencoba memahami psikologi wanita yang disebut Ibu kandung Ghaidan.Wanita itu, bernama asli Widiyana lalu berganti nama menjadi Adriana Wibisana. Dia adalah korban kemiskinan yang brutal dan melihat Ghaidan kecil sebagai penghalang untuk melarikan diri. Rasa bencinya terhadap kemiskinan lebih besar daripada ikatan biologisnya, itulah mengapa ia mengubah identitas dirinya.Hyra lalu menatap keluar jendela, saat itu pemandangan kota sudah berganti menjadi hutan pinus dan kabut. Jantungnya berdebar, bukan karena takut pada Ghaidan, tetapi takut pada apa yang akan ia temukan di sana. Pertemuan antara Ghaidan dan Adriana Wibisana bisa meledak kapan saja.Setelah lebih dari enam ja

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 41 - MENGUNTIT

    Dengan tangan gemetar, Hyra menarik dokumen itu keluar. Itu adalah laporan investigasi. Di halaman pertama, tertera sebuah foto berwarna, foto seorang wanita paruh baya yang tampak elegan. Namun, tatapan matanya kosong. Di bawah foto itu, tertera sebuah nama Adriana Wibisana dan alamat di luar kota yang sangat jauh.Hyra membaca keseluruhan ringkasan laporan itu dengan seksama. Napasnya tercekat, dokumen itu merinci bagaimana wanita di foto itu telah membangun kehidupan baru, didukung oleh seorang pria kaya. Semua itu dilakukan demi mencapai kemewahan dan menghindari trauma kemiskinan masa lalunya.Di bagian judul laporan, dengan huruf kapital yang tebal, tertulis “Laporan Penemuan Subjek : Ibu Kandung Ghaidan Ravindra Sumitra, Pelaku Pengkhianatan Ekonomi.”Hyra tersentak mundur hingga menjatuhkan dokumen tersebut ke lantai. Ia memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu dengan kencang. Jadi ini alasan kepergian Ghaidan. Dia tidak pergi karena urusan bisnis, tapi untu

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 40 - PENEMUAN BARU

    Ghaidan berjalan pelan ke tepi balkon, ponsel masih tertempel erat di telinga. Malam itu angin Jakarta terasa dingin, seolah ikut membekukan atmosfer di sekitarnya. Kata-kata Lukman yang baru saja ia dengar berputar-putar, merobek lapisan ketenangan palsu yang baru saja ia rasakan berkat Hyra. “Ulangi, Lukman, bicara yang jelas,” desis Ghaidan, suaranya kembali ke intonasi CEO yang kaku dan tanpa emosi. Luka yang tadi sempat ia perlihatkan di depan Hyra, kini terbungkus kembali oleh baja yang lebih tebal. “Kami berhasil mendapatkan informasi lagi, Boss. Data-data yang kemarin aku kirimkan dari hasil investigasi detektif yang kita sewa ternyata valid, semuanya benar.” Ghaidan terdiam, menyimak setiap ucapan Lukman. “Kami sudah mengeceknya, alamat itu juga benar, bahkan nama palsu yang dia gunakan juga benar, dia memang mengubah total identitasnya, Boss,” jawab Lukman dari seberang. “Sekarang dia menggunakan nama panggilan baru dan tinggal di lingkungan yang sangat eksklusif.” Gha

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 39 - RASA YANG JUJUR

    “Maaf, mas..... aku... nggak sengaja menemukannya,” jawab Hyra pelan. “Aku tadi cuma ingin membereskan koper kamu,” ujar Hyra bohong, karena sesungguhnya ia benar-benar penasaran dengan barang-barang milik sang suami. Sejak pulang dari panti asuhan dan ngobrol panjang lebar tentang masa lalu Ghaidan bareng Bu Rahayu, Hyra jadi semakin bersemangat ingin tahu segalanya tentang Ghaidan, bahkan ia ingin tahu barang apa saja yang dimiliki oleh sang suami yang mungkin bisa digunakan untuk mendekatkan dirinya dengan laki-laki itu. Namun, keheningan menggantung di antara mereka. Ghaidan tampak tidak suka saat melihat Hyra memegang gambar itu. Bergegas perempuan itu berdiri dan meletakkan gambar coretan Ghaidan saat masih kecil di atas tempat tidur dengan hati-hati, seolah-olah takut merusak sesuatu yang rapuh. Ibarat menjaga guci porselen yang harganya ratusan juta rupiah agar tidak jatuh dan pecah berkeping-keping. “Tadi siang, aku... aku ke panti asuhan Harapan Mulia,” ujar Nadine

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 38 - GAMBAR ANAK KECIL

    Hyra segera menunduk dengan sopan dan berkata, “Saya Hyra, istri Mas Ghaidan Sumitra. Dulu suami saya pernah tinggal di sini waktu dia masih kecil dan diadopsi oleh keluarga Sumitra.” Wajah Bu Rahayu langsung berubah terlihat begitu bersemangat, saat Hyra menyebut nama Ghaidan. “Oh, Ghaidan… sudah lama dia nggak ke sini, biasanya dia main ke sini. Ternyata sudah punya istri sekarang.” “Iya, Bu. Mungkin Mas Ghaidan terlalu sibuk, jadi belum sempat mampir. Bu Sumitra juga cerita kalau mas Ghaidan sering ke sini, bahkan keluarga mereka adalah donatur tetap panti ini.” “Iya betul! Ayoo.. ayo duduk! Ternyata ini istrinya Ghaidan... anak yang tidak pernah saya lupa,” ujar Bu Rahayu sambil mempersilakan Hyra duduk di ruang tamu panti yang sederhana, dengan aroma kayu tua dan lukisan anak-anak di dinding. “Terima kasih,” balas Hyra sambil menghempaskan tubuhnya di sofa seraya berkata, “Oh iya, ini ada sedikit hadiah untuk anak-anak dari kami sekeluarga dan Bu Sumitra juga titip pes

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 37 - BERKUNJUNG KE PANTI

    Malam itu, Hyra tidak langsung tidur, pikirannya masih melayang memikirkan Ghaidan. Saat itu ia sedang duduk termenung di balkon kamar sendirian. Ghaidan tidak ada di sana, mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja yang menjadi tempat favouritenya ahir-akhir ini. Angin malam menyapu rambut Hyra yang panjang, dipandanginya halaman belakang rumah keluarga Sumitra yang sunyi, hanya suara hewan malam yang terdengar, sementara suara lalu lalang kendaraan terdengar jauh di sana. “Aku masih punya waktu seminggu, sebelum terbang ke Singapura,” gumam Hyra sambil berpikir serius “aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya membuat Mas Ghaidan seperti itu? Kalau ini berkaitan dengan masa lalunya, aku harus mencari tahu dari Bu Sumitra, aku juga harus mencari tahu di panti asuhan mana dia tinggal saat itu?” Hyra sudah bertekad untuk mencari tahu tentang masa lalu Ghaidan, juga tentang luka yang disembunyikan suaminya selama ini.” *** Keesokan pagi, Setela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status