Home / Rumah Tangga / DALAM DEKAP LUKA / BAB 4 - Aksi Menegangkan

Share

BAB 4 - Aksi Menegangkan

Author: Sally Diandra
last update Huling Na-update: 2025-08-27 21:47:35

Namun, tatapan Oma yang penuh ketakutan dan tangisnya yang tak kunjung reda membuat Hyra semakin gelisah. Ia merasa seperti berada di ujung jurang, tanpa ada jalan keluar.

Polisi itu mengangguk pelan kepada preman-preman tadi, memberikan sinyal untuk memasang segel. Pria bertampang garang itu berjalan ke pintu dengan stiker besar bertuliskan “DISITA.” Mereka bersiap untuk menempelkan segel itu di pintu utama rumah Oma Dayana.

“Tunggu!” Hyra berseru, dengan penuh keberanian, dokter muda itu menatap ke polisi dan para preman, sorot matanya tegas. “Aku akan menghubungi pengacara besok pagi. Proses ini terlalu cepat, dan aku yakin ini melanggar aturan. Jika kalian berani menyentuh rumah ini malam ini, aku akan membawa ke jalur hukum!”

Meskipun nadanya penuh keberanian, dalam hati Hyra merasa gentar. Ini adalah ancaman terakhirnya, dan ia tidak tahu apakah itu akan berhasil. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain berjuang.

Polisi itu menatap Hyra dengan dingin. “Baiklah, Nona. Kami akan memberikan waktu sampai besok pagi untuk Anda mengosongkan rumah ini. Tapi, jangan berharap bisa mengubah keputusan yang sudah ditetapkan.”

Preman-preman itu tertawa kecil, nada mengejeknya jelas. “Besok pagi kami datang lagi. Pastikan semua barang sudah keluar,” kata pria gondrong sambil melangkah pergi dengan santai.

Setelah mereka pergi, Oma Dayana duduk di sofa yang ada di ruang tamu, wajahnya masih basah oleh air mata. Hyra berdiri di dekat jendela, melihat mereka menghilang dalam kegelapan malam. Ia menggenggam ponsel dengan erat, berpikir keras siapa yang bisa dihubungi untuk meminta bantuan.

Tetangga yang masih berkumpul di luar rumah perlahan mulai bubar. Tapi Hyra tahu, mereka pasti tidak akan berhenti membicarakan apa yang terjadi malam ini di rumah Oma Dayana.

“Hyra,” suara Oma memanggilnya pelan. “Kita harus bagaimana? Aku sudah tua, aku tidak sanggup hidup di jalanan…”

Hyra menoleh, matanya bertemu dengan pandangan Oma yang penuh ketakutan. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya sendiri. Dalam hati, ia merasa gagal melindungi Oma, satu-satunya keluarga yang ia miliki.

“Tenang, Oma. Aku akan mencari cara. Aku janji,” jawab Hyra, meskipun suaranya hampir pecah.

***

Malam itu, Hyra tidak tidur. Ia duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya terus berputar, mencari solusi. Satu-satunya opsi yang terus muncul di kepalanya adalah tawaran Ghaidan—pernikahan dan bayi tabung. Tapi, apakah itu benar-benar jalan keluar? Atau justru membawa dia ke dalam masalah yang lebih besar?

Di luar jendela, angin malam berembus kencang, membawa suara daun-daun yang bergesekan. Rumah yang biasanya hangat dan penuh kenangan kini terasa dingin dan penuh ancaman. Hyra menatap ponsel, jemarinya berhenti tepat di atas nama kontak Ghaidan.

Dengan napas yang berat, ia menutup mata. “Apakah aku benar-benar harus mengambil tawaran itu?” bisiknya pada diri sendiri.

Dan di saat itu, suara Oma terdengar lirih dari ruang tamu. “Hyra… apa kita benar-benar akan kehilangan rumah ini?”

Hyra tidak menjawab. Ia hanya menggenggam benda pipih berwarna hitam itu semakin erat, ia tahu bahwa keputusan yang dia ambil malam ini akan mengubah segalanya.

Hyra terdiam, memutar ulang kata-kata Oma dalam benaknya. Di satu sisi, tawaran Ghaidan tampak seperti jalan keluar dari semua masalahnya. Namun, di sisi lain, ada suara hati kecil yang meragu.

Setelah membersihkan meja makan dan membantu Oma ke kamar untuk istirahat, Hyra duduk sendirian di ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan menyala temaram. Hatinya penuh dilema. Apakah keputusan yang akan diambilnya nanti akan membawa kebahagiaan, atau justru menambah luka baru? Pertanyaan itu terus menghantuinya, tanpa jawaban yang pasti.

***

Malam itu hening terasa di rumah besar milik Ghaidan Ravindra. Jam dinding terdengar dua kali, menunjukkan pukul dua dini hari, dan keheningan hanya dipecahkan oleh suara detak jarum jam yang samar terdengar di ruang keluarga..

Di tengah lelapnya tidur, suara dering ponsel mengejutkan Ghaidan. Pria tampan itu meraba-raba meja nakas yang berada di sebelah tempat tidur, wajahnya terlihat kusut dengan kedua bola mata yang setengah terbuka.

“Siapa sih yang nelpon jam segini?” gumam Ghaidan dengan nada serak. “Nomer siapa ini?” ujarnya kaget setelah melihat nomer yang tidak dia kenal tertera di layar. Diusapnya kedua mata untuk memperjelas pandangannya.

“Hallo!” sapa Ghaidan penasaran karena siapapun orang ini yang menelpon di tengah malam buta seperti ini, pasti membawa sebuah informasi yang cukup penting. Itulah mengapa, pria itu memilih untuk mengangkatnya.

“Hallo, Tuan Ghaidan. Ini saya Hyra,” jawab Hyra dengan suara lemah di ujung sana, “Maaf kalau saya mengganggu anda malam-malam seperti ini. Apa saya mengganggu?”

Ghaidan, yang mulai sepenuhnya sadar segera duduk di tempat tidur, dia tersentak seraya berkata, “Hyra?” ujarnya kaget. “Nggak masalah. Ada apa? Apa ada masalah yang sangat mendesak?”

“Saya menerima tawaran anda, Tuan Ghaidan,” ujar Hyra pelan, hampir seperti bisikan yang lirih dan ragu-ragu.

Ghaidan terdiam sesaat, ada jeda di antara mereka. Dia tidak menyangka keputusan itu datang begitu cepat. “Benarkah? Anda yakin? Anda yakin dengan keputusan ini?” tanyanya ragu.

“Ya, saya yakin! Saya yakin 1000%, rasanya cuma anda jalan keluar dari semua masalah saya.” jawab Hyra lugas, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Dokter muda itu lalu menceritakan semua kejadian yang dialaminya seharian tadi bareng Oma Dayana yang didatangi oleh polisi dan para preman. Ghaidan hanya terdiam, menyimak, mendengarkan dengan seksama.

“Tapi dengan satu syarat. Setelah anak kita lahir, saya ingin kita bercerai. Saya nggak mau hubungan ini menjadi beban untuk masa depan. Jadi kita bisa melanjutkan kehidupan kita masing-masing. Anda setuju?”

Wajah Ghaidan mengeras. Pernyataan Hyra terasa seperti pukulan, entah mengapa dari dasar lubuk hatinya yang paling dalam, laki-laki itu tidak bisa menerima permintaan Hyra, akan tetapi dia memilih untuk tidak menunjukkan emosinya.

“Baiklah. Jika itu yang anda inginkan, saya setuju,” jawabnya dengan nada datar, meskipun hatinya sedikit terguncang dan resah.

“Terima kasih, Tuan Ghaidan,” jawab Hyra singkat. Suaranya terdengar lega sekaligus dingin. "Oh iya, satu lagi. Ini yang paling urgent, maaf kalau saya terlalu to the point. Rumah kami telah disita oleh pihak Bank hari ini dan besok pagi polisi meminta kami angkat kaki dari rumah ini. Apa anda bisa membereskan terlebih dulu?"

"Of course! Tentu! Besok akan saya bereskan semua. Anda tenang saja. Saya rasa malam ini anda bisa tidur dengan nyenyak, sampai jumpa besok."

"Ya, terima kasih. Sampai jumpa besok, selamat malam." Tanpa basa-basi, dokter muda itu segera memutus sambungan telpon mereka.

Setelah percakapan berakhir, Ghaidan kembali meletakkan ponsel di meja. Dia bersandar di kepala tempat tidur, memikirkan apa yang baru saja terjadi sambil mengirimkan sebuah pesan ke seseorang di ponsel.

Matanya lalu memandang langit-langit kamar. Dia tahu kesepakatan ini bukanlah pernikahan biasa. Ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka, bahkan sebelum semuanya dimulai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 50 - PROVOKATOR

    Kembali ke kantornya di Sumitra Tower, nasihat Profesor Zamar masih bergema di benaknya, membenturkan logika teknis Ghaidan dengan tuntutan emosional yang terasa menakutkan. “Berikan kepercayaan ke Hyra.” Ghaidan termenung seraya berfikir, “Kalau Hyra aman secara fisik, bisakah aku mempercayainya secara emosional?” Ghaidan duduk, memaksakan diri untuk bekerja, tetapi benaknya kembali pada ketenangan Hyra yang mencurigakan di rumah sakit. Kepercayaan berarti melepas kendali yang artinya membiarkan dirinya dihancurkan, sama seperti ibunya yang telah menghancurkan masa kecilnya. Bukankah Hyra menikahinya karena motif transaksional murni? Hanya karena uang? “Kalau kamu menghukumnya sebelum dia berbuat salah, kamu menghukum dirimu sendiri.” Kata-kata Profesor Zamar bagaikan kutukan yang mendesak Ghaidan untuk berani. Namun, naluri bertahan hidupnya menolak risiko tersebut. Ditekannya tombol interkom. “Panggil Daniel masuk,” perintah Ghaidan, suaranya kering dan tajam. Beber

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 49 - GHAIDAN RESAH

    “Menarik, Arga. Sangat menarik,” desis Onella, menikmati kilauan strategis di mata Arga. Mereka bertemu di salah satu sudut cafe.“Jadi, kontrak pernikahan mereka didasarkan pada kewajiban ahli waris dan pelunasan hutang. Kalau kita bisa merusak proses ini, kita nggak hanya melukai Ghaidan, tapi kita juga menghancurkan pondasi keberadaannya, yaitu kewajiban ahli waris dan kepastian emosional yang mulai dia bangun. Katakan padaku, Arga, bagaimana kita bisa memastikan Ghaidan berhenti melihat Hyra sebagai 'obat' bagi traumanya?”Arga menyeringai, pandangan matanya menunjukkan perpaduan antara dendam dan kerinduan yang salah kaprah terhadap Hyra. “Ada banyak cara. Yang pertama, dan yang paling mudah, adalah memastikan Ghaidan nggak akan percaya padanya, nggak akan mau lagi melanjutkan program ahli waris. Ghaidan sangat paranoid. Jika kita menanamkan bibit kecurigaan bahwa Hyra, jauh di lubuk hatinya, sedang menunggu saat yang tepat untuk memutus kontrak atau mencari kebebasan sejati, Gh

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 48 - KEMENANGAN KECIL

    Ghaidan keluar dari klinik Dr. Chen di Singapura dengan perasaan kesal karena dia baru saja kalah dalam sebuah negosiasi bisnis yang seharusnya dimenangkannya. Wajahnya yang keras, kontras dengan raut lega yang tidak bisa disembunyikan oleh Hyra yang berjalan di sampingnya. Dr. Chen, dengan profesionalismenya yang dingin dan terukur khas kota ini, telah menyarankan penundaan. Secara klinis, jika terjadi penyatuan di masa subur maka mereka harus menunggu satu siklus penuh untuk memastikan kehamilan alami, karena ini adalah langkah yang logis dan kurang invasif daripada segera memulai stimulasi hormon IVF.Setibanya di penthouse mereka di kawasan East Coast, suasana hening yang dingin pun menyambut. Apartemen mewah yang didominasi oleh kaca dan pemandangan langsung ke Selat Singapura itu adalah cerminan sempurna dari Ghaidan Ravindra yang minimalis, modern, dan steril, didominasi oleh warna monokromatik yang menolak kehangatan. Jendela-jendela setinggi langit-langit membingkai panora

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 47 - SEBUAH PENANTIAN

    “Kepalamu sakit? Aku nggak peduli!” Ghaidan memotong cepat, suaranya dipenuhi amarah yang membara. “Bagaimana kamu bisa di sini? Ini bukan kamar di apartemen kita, ‘kan? Lalu kenapa kita…. kenapa kita telanjang? Apa yang terjadi semalam, Hyra?!” bentaknya kasar. Hyra sudah menduga kalau Ghaidan pasti akan bereaksi seperti ini, dia sudah siap. Apa pun yang akan dikatakan oleh sang suami, tidak akan mengecilkan hatinya. Dokter muda itu sudah bertekad, dia hanya berharap penyatuan mereka semalam yang dilakukan berulang kali hingga tengah malam bisa membuahkan hasil yang maksimal. Semalam Ghaidan memang tampak begitu perkasa dan buas menyentuh tubuhnya, mungkin efek dari obat perangsang yang dimasukkan Lukman semalam dalam minumannya, membuat laki-laki itu tahan hingga beberapa jam. Hyra pun sangat menikmatinya. Laki-laki itu menunjuk ke sekeliling mereka, ke seprai yang kusut, ke lantai tempat jas mahal, kemeja dan celananya yang teronggok, berserakan begitu saja bertumpuk dengan

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 46 - SENTUHAN KEDUA

    Pukul setengah sebelas malam, ponsel Hyra bergetar. Lukman hanya mengirimkan foto Ghaidan sedang berada di dalam bar bareng koleganya. Tidak ada kata-kata. Hyra bergegas meninggalkan apartemennya, memanggil taksi, dan tiba di Four Seasons Hotel beberapa menit kemudian, lalu mulai check in di hotel tersebut. Hyra lalu memotret kartu kamar yang menunjukkan nomer kamar yang dia pesan dan dikirimkan ke Lukman saat memasuki kamar tersebut. Hyra lalu memasuki kamar yang telah dipesannya, Hyra duduk di tepi tempat tidur, jantungnya berdebar sangat kencang. Rencana ini sangat berisiko, karena kalau gagal, Ghaidan pasti akan memiliki alasan sempurna untuk menekannya di kontrak yang mereka buat dan menghancurkannya.Malam itu, Hyra mengganti bajunya dengan jubah kimono tipis selutut di atas lingerie satin hitam yang baru dia beli di Orchid tadi, sengaja disiapkan untuk malam ini. Tas kecil yang berisi baju gantinya dan baju Ghaidan tampak teronggok di atas sofa. Disemprotkannya parfum ke bel

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 45 - PROGRAM BAYI TABUNG

    “Kamu mempercepat program bayi tabung ini bukan hanya karena ingin memastikan program ini berhasil, Mas,” ucap Hyra, melangkah maju agar Ghaidan bisa melihat ketegasan di matanya. “Kamu mempercepat program ini karena kamu ingin lari dari apa yang baru saja terjadi. Kamu tidak hanya lari dari bayangan Widiyana atau Adriana Wibisana, Mas. Tapi kamu juga lari dari aku.” Ghaidan mendekat, langkahnya tenang. Namun, mematikan. Aura dinginnya memenuhi ruangan tersebut. “Aku lari dari kelemahan, Hyra dan kamu adalah pengingat konstan bahwa di luar kontrak ini, ada potensi pengkhianatan yang jauh lebih besar. Kita sudah sepakat kalau semua ini adalah transaksi. Aku butuh ahli waris, bukan kehangatan wanita yang memanipulasi.” Laki-laki tampan itu melanjutkan, suaranya kini berbisik tajam, hanya ditujukan ke Hyra. “Dengar, Hyra. Jangan pernah berpikir kalau kamu bisa meruntuhkan tembok yang sudah aku bangun selama dua puluh tahun. Tembok itu sudah berdiri kokoh dari dulu karena aku tahu keint

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status