Share

BAB 2 - Bimbang

Author: Sally Diandra
last update Last Updated: 2025-08-27 20:53:45

Satu minggu kemudian … 

Dokter Hyra menghela napas panjang sambil melirik jam dinding di ruang gawat darurat. Hiruk-pikuk pasien memenuhi ruangan, suara langkah cepat perawat yang membawa troli obat, dan nada panggilan dokter terdengar bersahut-sahutan. 

Aroma antiseptik bercampur bau keringat pasien yang panik menambah intensitas suasana. Hyra merapikan rekam medis di tangan, mencoba fokus meskipun pikirannya berkelana ke masalah pribadi yang membebaninya selama beberapa hari ini.

Tak lama kemudian Hyra melangkah melewati koridor rumah sakit yang ramai dengan langkah yang berat. Suara roda tempat tidur dorong bergema, bercampur dengan suara percakapan dokter dan perawat yang sibuk mengurus pasien. 

“Dokter Hyra! Mau kemana?” 

Hyra menoleh ke belakang, dilihatnya dokter Mirna berjalan menghampirinya dengan setumpuk berkas yang didekap di dada. 

“Aku mau ke kantin, mau ikut?” 

Dokter Mirna mengangguk sambil tersenyum lalu berjalan di samping Hyra sambil melingkarkan lengannya di tangan Hyra. Bau antiseptik khas rumah sakit kembali menusuk hidung, memperburuk perasaan gelisah yang sudah menguasai pikiran Hyra. Ketika sampai di kantin rumah sakit, suasana sedikit lebih tenang. 

Deretan meja dan kursi tertata rapi, beberapa di antaranya diisi oleh dokter dan perawat yang menikmati waktu istirahat singkat mereka. Bau kopi dan makanan ringan yang hangat tampak menyelimuti udara, sempat membuat Hyra tergoda untuk memesan, tetapi pikirannya yang kusut membuatnya tidak berselera.

Para dokter dan perawat yang sedang beristirahat bercakap-cakap dengan santai, beberapa dari mereka tampak duduk sendirian, menatap layar ponsel atau membaca berkas. Hyra memilih meja di sudut, meletakkan map pasien di sampingnya, mencoba menikmati ketenangan sesaat sebelum dokter Mirna datang dengan senyum hangat.

“Kamu nggak makan?” 

Dokter muda itu hanya menggeleng sambil menatap menerawang jauh, pikirannya entah di mana, sementara dokter Mirna membawa baki kayu berisi piring yang penuh makanan plus buah segar, air mineral dan jus jeruk.

"Hyra, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya dokter Mirna sambil menaruh baki kayu tersebut di atas meja. “Kamu kelihatan kusut sekali, sebentar aku ambilkan kopi dan kudapan buat kamu, ya." 

Bergegas dokter muda itu kembali ke booth penjual makanan dan memesan secangkir capucino panas beserta kudapan ringan berupa egg tart, goguma ppang dan soft cookies lalu membawanya kembali ke meja. 

“Minumlah dulu dan makan kudapan ini, buat ngisi perutmu,” ujar dokter Mirna sambil meletakkan kopi dan kudapan ringan itu di atas meja dan menyerahkan ke Hyra. 

“Ya ampun, banyak amat, Mir,” ujar Hyra sambil mengambil cangkir kopi tersebut dan meniupnya perlahan, sementara Mirna mulai sibuk dengan makanan di depannya. 

“Udah tenang aja, kalau nggak abis, nanti aku yang abisin,” sela Mirna sambil menyesap air minieral perlahan. “By the way, kamu ini kenapa sih, Ra? Akhir-akhir ini kalau aku perhatikan, kamu itu sering bengong.”

Hyra mendesah. "Aku... lagi banyak pikiran," ujarnya sambil memotong egg tart di depannya dengan sendok kecil.

"Banyak pikiran? Itu sih biasa buat dokter. Tapi kalau sampai bengong waktu aku tanya soal jadwal operasi tadi, itu nggak biasa lho," ujar Mirna dengan nada setengah bercanda.

Hyra menghela napas panjang. Setelah beberapa detik hening, di sela hiruk-pikuk kantin yang perlahan sepi, ia memutuskan untuk menceritakan tawaran Ghaidan tempo hari dengan nada ragu-ragu ke Mirna. 

Mirna mendengarkan dengan seksama sambil menikmati makanannya, ekspresi dokter muda itu berubah serius seiring Hyra mengungkapkan lebih detail lagi soal pernikahan kontrak dan bayi tabung. 

"Apa? Dia ingin kamu menikah dengannya hanya untuk menjadi ibu anak-anaknya? Dan melalui bayi tabung?" Mirna nyaris tak percaya.

"Ya, itu intinya," jawab Hyra dengan suara pelan. "Dia bahkan bilang tidak akan menyentuhku sama sekali. Pernikahan ini hanya soal formalitas belaka."

Mirna menatap Hyra dengan mata membulat. Hyra hanya mengangguk pelan sambil menyesap kopinya yang tinggal setengah perlahan.

"Hyra, kamu itu masih gadis! Kamu belum pernah menikah! Kenapa kamu harus menerima tawaran aneh seperti itu?" Suara Mirna terdengar keras, namun tertahan dengan ekspresi wajah yang kesal.

Hyra hanya bisa menunduk, menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku tahu, Mir. Tapi... hutang Oma sudah menumpuk, dan debt collector mulai kasar. Kamu tahu ‘kan minggu lalu, mereka nagih ke sini. Aku bingung harus bagaimana lagi."

Mirna menggeleng. “Ra, jangan mengambil keputusan besar hanya karena uang. Apalagi melibatkan anak. Pernikahan itu harusnya ada cinta, bukan kontrak seperti itu! Aku nggak setuju kalau kamu melakukannya!"

Hyra hanya terdiam, tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya, pikirannya kembali menerawang jauh. Ada jeda di antara mereka.

"Hyra, ini gila. Kamu itu masih muda, kamu punya karier yang bagus. Kenapa harus melibatkan dirimu dalam sesuatu yang... tidak biasa seperti ini? Apalagi kamu itu masih perawan."

Hyra menghela napas berat. "Aku tahu, Mirna. Tapi hutang Oma... mereka bisa mengambil rumahnya kapan saja. Aku tidak punya pilihan lain."

Mirna menggenggam tangan Hyra. "Ada cara lain. Jangan biarkan uang menguasai keputusanmu. Ini hidupmu, Hyra."

Hyra hanya bisa terdiam. Perasaan bimbang semakin menguasainya. Bagaimana bisa dia mempunyai banyak uang dalam waktu yang begitu cepat untuk melunasi hutang-hutang Oma? 

Sementara hutang-hutang Oma ini sedikit banyak adalah untuk membiayai pendidikannya di fakultas kedokteran. Cuma Oma Dayana, satu-satunya keluarga yang dia miliki, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. 

***

Sore itu, Hyra baru saja tiba di rumah. Rumah tua yang kecil dan sederhana dengan cat dinding yang mulai pudar itu tampak tenang dari luar. Tetapi begitu Hyra membuka pagar, ia mendengar suara gaduh dari dalam. Dengan cepat, ia memarkir mobil tuanya di halaman dan bergegas masuk.

Di ruang tamu, dua orang preman bertubuh kekar berdiri dengan sikap mengintimidasi. Yang satu mengenakan jaket kulit hitam dengan tato naga di lehernya, sementara yang lain mengenakan kaus oblong ketat, menampilkan otot-ototnya yang besar. 

Keduanya menatap Oma Dayana dengan sorot mata tajam. Preman berjaket kulit berbicara dengan nada tinggi.

"Bu, ini sudah minggu ketiga kami datang. Mana uangnya? Jangan sampai kami harus mengambil rumah ini!"

Oma Dayana yang duduk di sofa tua terlihat sangat ketakutan. Tubuhnya yang kecil menggigil, dan kedua tangannya saling meremas. Wajah tua yang dipenuhi kerut itu pucat pasi, sementara matanya memerah, menahan tangis yang hampir pecah.

Hyra masuk dengan langkah cepat, berdiri di antara Oma dan para preman. Wajahnya tegas, matanya tajam menatap si preman berjaket kulit. 

"Berhenti membentak Oma saya!" ujarnya dengan suara keras yang membuat para preman sedikit terkejut.

Preman bertato naga tertawa sinis. "Oh, sudah pulang, ya? Jadi ini dokter pahlawan keluarga? Kalau kamu punya uang, bayar sekarang! Kalau tidak, kami akan ambil rumah ini!"

Hyra mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah. "Saya sudah bilang, beri kami waktu! Jangan paksa Oma seperti ini. Kalian tidak punya hak memperlakukan orang tua dengan kasar."

Preman berkaus ketat maju selangkah, wajahnya semakin menyeramkan. "Waktu? Waktu sudah habis, Dokter! Bos kami nggak mau tahu. Kalau besok nggak ada uang, rumah ini disita. Titik!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 42 - MENEMUI MASA LALU

    Sore itu, jalanan Jakarta yang padat terasa bergerak sangat lambat seperti siput. Hyra menyewa mobil dengan sopir, meminta sang sopir untuk berkendara secepat mungkin menuju ke Bogor, dan terus masuk ke daerah pegunungan yang terpencil. Selama perjalanan, Hyra terus membolak-balik laporan investigasi tersebut, mencoba memahami psikologi wanita yang disebut Ibu kandung Ghaidan.Wanita itu, bernama asli Widiyana lalu berganti nama menjadi Adriana Wibisana. Dia adalah korban kemiskinan yang brutal dan melihat Ghaidan kecil sebagai penghalang untuk melarikan diri. Rasa bencinya terhadap kemiskinan lebih besar daripada ikatan biologisnya, itulah mengapa ia mengubah identitas dirinya.Hyra lalu menatap keluar jendela, saat itu pemandangan kota sudah berganti menjadi hutan pinus dan kabut. Jantungnya berdebar, bukan karena takut pada Ghaidan, tetapi takut pada apa yang akan ia temukan di sana. Pertemuan antara Ghaidan dan Adriana Wibisana bisa meledak kapan saja.Setelah lebih dari enam ja

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 41 - MENGUNTIT

    Dengan tangan gemetar, Hyra menarik dokumen itu keluar. Itu adalah laporan investigasi. Di halaman pertama, tertera sebuah foto berwarna, foto seorang wanita paruh baya yang tampak elegan. Namun, tatapan matanya kosong. Di bawah foto itu, tertera sebuah nama Adriana Wibisana dan alamat di luar kota yang sangat jauh.Hyra membaca keseluruhan ringkasan laporan itu dengan seksama. Napasnya tercekat, dokumen itu merinci bagaimana wanita di foto itu telah membangun kehidupan baru, didukung oleh seorang pria kaya. Semua itu dilakukan demi mencapai kemewahan dan menghindari trauma kemiskinan masa lalunya.Di bagian judul laporan, dengan huruf kapital yang tebal, tertulis “Laporan Penemuan Subjek : Ibu Kandung Ghaidan Ravindra Sumitra, Pelaku Pengkhianatan Ekonomi.”Hyra tersentak mundur hingga menjatuhkan dokumen tersebut ke lantai. Ia memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu dengan kencang. Jadi ini alasan kepergian Ghaidan. Dia tidak pergi karena urusan bisnis, tapi untu

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 40 - PENEMUAN BARU

    Ghaidan berjalan pelan ke tepi balkon, ponsel masih tertempel erat di telinga. Malam itu angin Jakarta terasa dingin, seolah ikut membekukan atmosfer di sekitarnya. Kata-kata Lukman yang baru saja ia dengar berputar-putar, merobek lapisan ketenangan palsu yang baru saja ia rasakan berkat Hyra. “Ulangi, Lukman, bicara yang jelas,” desis Ghaidan, suaranya kembali ke intonasi CEO yang kaku dan tanpa emosi. Luka yang tadi sempat ia perlihatkan di depan Hyra, kini terbungkus kembali oleh baja yang lebih tebal. “Kami berhasil mendapatkan informasi lagi, Boss. Data-data yang kemarin aku kirimkan dari hasil investigasi detektif yang kita sewa ternyata valid, semuanya benar.” Ghaidan terdiam, menyimak setiap ucapan Lukman. “Kami sudah mengeceknya, alamat itu juga benar, bahkan nama palsu yang dia gunakan juga benar, dia memang mengubah total identitasnya, Boss,” jawab Lukman dari seberang. “Sekarang dia menggunakan nama panggilan baru dan tinggal di lingkungan yang sangat eksklusif.” Gha

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 39 - RASA YANG JUJUR

    “Maaf, mas..... aku... nggak sengaja menemukannya,” jawab Hyra pelan. “Aku tadi cuma ingin membereskan koper kamu,” ujar Hyra bohong, karena sesungguhnya ia benar-benar penasaran dengan barang-barang milik sang suami. Sejak pulang dari panti asuhan dan ngobrol panjang lebar tentang masa lalu Ghaidan bareng Bu Rahayu, Hyra jadi semakin bersemangat ingin tahu segalanya tentang Ghaidan, bahkan ia ingin tahu barang apa saja yang dimiliki oleh sang suami yang mungkin bisa digunakan untuk mendekatkan dirinya dengan laki-laki itu. Namun, keheningan menggantung di antara mereka. Ghaidan tampak tidak suka saat melihat Hyra memegang gambar itu. Bergegas perempuan itu berdiri dan meletakkan gambar coretan Ghaidan saat masih kecil di atas tempat tidur dengan hati-hati, seolah-olah takut merusak sesuatu yang rapuh. Ibarat menjaga guci porselen yang harganya ratusan juta rupiah agar tidak jatuh dan pecah berkeping-keping. “Tadi siang, aku... aku ke panti asuhan Harapan Mulia,” ujar Nadine

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 38 - GAMBAR ANAK KECIL

    Hyra segera menunduk dengan sopan dan berkata, “Saya Hyra, istri Mas Ghaidan Sumitra. Dulu suami saya pernah tinggal di sini waktu dia masih kecil dan diadopsi oleh keluarga Sumitra.” Wajah Bu Rahayu langsung berubah terlihat begitu bersemangat, saat Hyra menyebut nama Ghaidan. “Oh, Ghaidan… sudah lama dia nggak ke sini, biasanya dia main ke sini. Ternyata sudah punya istri sekarang.” “Iya, Bu. Mungkin Mas Ghaidan terlalu sibuk, jadi belum sempat mampir. Bu Sumitra juga cerita kalau mas Ghaidan sering ke sini, bahkan keluarga mereka adalah donatur tetap panti ini.” “Iya betul! Ayoo.. ayo duduk! Ternyata ini istrinya Ghaidan... anak yang tidak pernah saya lupa,” ujar Bu Rahayu sambil mempersilakan Hyra duduk di ruang tamu panti yang sederhana, dengan aroma kayu tua dan lukisan anak-anak di dinding. “Terima kasih,” balas Hyra sambil menghempaskan tubuhnya di sofa seraya berkata, “Oh iya, ini ada sedikit hadiah untuk anak-anak dari kami sekeluarga dan Bu Sumitra juga titip pes

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 37 - BERKUNJUNG KE PANTI

    Malam itu, Hyra tidak langsung tidur, pikirannya masih melayang memikirkan Ghaidan. Saat itu ia sedang duduk termenung di balkon kamar sendirian. Ghaidan tidak ada di sana, mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja yang menjadi tempat favouritenya ahir-akhir ini. Angin malam menyapu rambut Hyra yang panjang, dipandanginya halaman belakang rumah keluarga Sumitra yang sunyi, hanya suara hewan malam yang terdengar, sementara suara lalu lalang kendaraan terdengar jauh di sana. “Aku masih punya waktu seminggu, sebelum terbang ke Singapura,” gumam Hyra sambil berpikir serius “aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya membuat Mas Ghaidan seperti itu? Kalau ini berkaitan dengan masa lalunya, aku harus mencari tahu dari Bu Sumitra, aku juga harus mencari tahu di panti asuhan mana dia tinggal saat itu?” Hyra sudah bertekad untuk mencari tahu tentang masa lalu Ghaidan, juga tentang luka yang disembunyikan suaminya selama ini.” *** Keesokan pagi, Setela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status