Malam itu,Ruang makan keluarga Sumitra malam itu tampak sempurna. Mulai dari meja panjang yang terbuat dari kayu jati mengilap, piring porselen berwarna putih gading, dan aroma sop buntut buatan Bu Sumitra yang mengepul lembut dari mangkuk besar di tengah meja tampak menguar di udara, membawa aroma kelezatan yang dirindukan seluruh anggota keluarga.Dari luar jendela besar, cahaya lampu taman menyorot pohon kamboja yang sedang berbunga, aromanya begitu semerbak.Tapi di balik semua kehangatan itu, Hyra duduk dengan hati yang dingin. Tangannya memegang sendok, tapi tak sanggup menelan makanan. Ia tahu, setiap pertemuan keluarga seperti ini selalu berakhir dengan keputusan yang bukan miliknya.Di ujung meja, Ghaidan, suaminya atau lebih tepatnya, pria yang terikat dengannya dalam pernikahan kontrak tampak tenang. Wajahnya tampan. Namun, kaku, matanya fokus pada piring, seolah semua yang ia ucapkan nanti hanyalah rencana bisnis biasa.“Papa, Mama,” katanya perlahan, menatap kedua orang
Keesokan hari, Udara terasa setebal beton. Hyra bangun terlebih dulu, dilihatnya Ghaidan masih berbaring, membelakanginya, seolah dinding tak terlihat masih membentang di antara mereka. Perempuan itu bangkit perlahan, tubuhnya masih terasa nyeri, tetapi hatinya lebih sudah sedikit ringan setelah konseling dengan Dokter Almashita kemarin. Saat ia melangkah keluar kamar, Ghaidan berbalik. Matanya menatap punggung Hyra, jejak air mata masih membasahi pipinya. Laki-laki itu ingin memanggil, ingin bicara, tetapi kata-kata tercekat di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Kata 'maaf' terasa hambar, tidak cukup untuk menutupi kehancuran yang telah ia ciptakan.Tak lama kemudian mereka bertemu lagi di ruang makan, Hyra sedang menyesap teh herbal yang menenangkan saat Ghaidan memasuki ruangan yang terasa begitu luas, sekaligus begitu sempit. “Mas Ge, mau minum kopi atau teh?” tanya Hyra sambil berdiri hendak mengambil cangkir untuk sang suami, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di anta
Siang itu, Hyra melangkah ke rumah sakit tempat dokter Almashita bekerja. Lobi rumah sakit tampak modern dan tenang, dihiasi dinding putih dan aroma antiseptik yang menusuk lembut. Setiap langkah terasa berat, tapi tekadnya sudah bulat. Perempuan itu lalu mengetuk pintu ruangan bertuliskan “Dr. Almashita Karim, Sp.KJ”. “Masuk,” terdengar suara lembut dari dalam. Ruangan Dokter Almashita terasa hening. Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menenangkan, tapi di dada Hyra, perasaan sesak masih belum juga pergi. Ruangan itu tampak hangat, dengan dinding berwarna krem muda dan rak penuh buku psikologi di sisi kanan. Di meja kerja, Dokter Almashita duduk mengenakan blazer biru muda, senyumnya tenang dan menenangkan. “Silakan duduk, Dokter Hyra,” sapanya ramah. “Akhirnya kita bisa bertemu langsung. Apa yang bisa saya bantu?” Perempuan itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang empuk di seberang meja kayu, sementara Dokter Almashita menatapnya dengan tatapan penuh perhati
Keesokan hari,Bekas perih di antara pangkal paha hingga ke inti kewanitaan Hyra membakar saat ia membuka mata. Pagi telah menyelinap masuk melalui celah gorden. Namun, cahayanya terasa seperti bara api yang menusuk matanya yang bengkak. Hyra duduk memeluk lutut, tubuhnya kaku, wajahnya sembab. Ia tidak menangis lagi. Air matanya sudah habis sejak dini hari. Yang tersisa hanya rasa hampa dan nyeri yang tak bisa dijelaskan dengan kata.Hyra menoleh ke samping, Ghaidan tidak ada di sana. Hanya hamparan sprei sutra kusut dan aroma maskulin yang kuat, bercampur bau alkohol yang kini terasa memuakkan, yang menjadi bukti nyata dari mimpi buruk semalam.Bergegas didorongnya selimut, kemeja yang ia kenakan sudah melorot dan lengket. Trauma yang menggerogoti jiwanya semalam kini bersaing dengan sensasi fisik yang aneh; rasa sakit yang terasa nyeri. Namun, Hyra juga merasakan gema aneh dari gairah tubuhnya yang tidak ia duga. Bagaimana bisa tubuhnya mengkhianati ia begitu rupa? Bagaimana bi
Wajah Ghaidan tampak babak belur. Hidungnya sedikit bengkak, ada memar kebiruan di rahang dan pelipis. Sudut bibirnya pun pecah, masih terlihat sedikit sisa darah kering. Salah satu mata Ghaidan tampak merah, bengkak, dan menatap Hyra dengan tatapan kosong. Namun tajam, penuh amarah yang terpendam. Bau alkohol menyengat dari tubuhnya, membuat gadis itu sedikit terhuyung mundur. “Kamu datang juga akhirnya,” desis Ghaidan, suaranya berat dan serak, hampir seperti geraman. Laki-laki itu sedikit terhuyung. Lukman tampak berdiri di belakang dengan tatapan cemas. “Mas Ge, kamu… Ya Tuhan, wajahmu!” Hyra terkesiap, segera melangkah mendekat, mengabaikan bau alkohol yang menyengat. Ia ingin melihat luka-luka Ghaidan lebih dekat. Namun, Ghaidan menangkap pergelangan tangannya dengan cengkeraman kuat saat Hyra akan memegang wajahnya. Laki-laki itu lalu menariknya masuk ke dalam apartemen. Pintu tertutup dengan suara gedebuk keras, mengunci mereka di dalam. Apartemen itu remang-remang, h
“Aku tahu, Tuan. Tapi ada cara lain untuk menghadapinya. Bukan dengan perkelahian brutal seperti ini.” Lukman menggelengkan kepala, tangannya masih sibuk mengobati. Ia mengoleskan salep pada memar di rahang Ghaidan.“Cara apa? Berdiam diri dan membiarkannya menginjak-injak harga diriku?” Ghaidan mengejek. “Lalu bagaimana dia bisa tahu tentang program bayi tabung itu, Lukman? Tentang Hyra, tentang semuanya? Ini pasti Hyra. Pasti dia yang membocorkan semua ini ke mantan pacarnya itu!”Dugaan itu mencetuskan kemarahan baru dalam diri Ghaidan. Rasa dikhianati mencengkeram hatinya. Lukman terdiam, menghela napas panjang. Ia sudah selesai mengobati Ghaidan.“Aku nggak yakin, Tuan. Dokter Hyra tidak terlihat seperti orang yang akan melakukan hal seperti itu.”“Kamu membela dia?” Ghaidan mendengus, bangkit dari sofa dengan gerakan tiba-tiba yang membuatnya oleng. “Bawakan aku wiski, Lukman. Aku butuh wiski!”“Tidak, Tuan. Kamu sedang terluka, dan aku nggak akan membiarkanmu minum dalam kondis