LOGIN“Maaf, mas..... aku... nggak sengaja menemukannya,” jawab Hyra pelan. “Aku tadi cuma ingin membereskan koper kamu,” ujar Hyra bohong, karena sesungguhnya ia benar-benar penasaran dengan barang-barang milik sang suami. Sejak pulang dari panti asuhan dan ngobrol panjang lebar tentang masa lalu Ghaidan bareng Bu Rahayu, Hyra jadi semakin bersemangat ingin tahu segalanya tentang Ghaidan, bahkan ia ingin tahu barang apa saja yang dimiliki oleh sang suami yang mungkin bisa digunakan untuk mendekatkan dirinya dengan laki-laki itu. Namun, keheningan menggantung di antara mereka. Ghaidan tampak tidak suka saat melihat Hyra memegang gambar itu. Bergegas perempuan itu berdiri dan meletakkan gambar coretan Ghaidan saat masih kecil di atas tempat tidur dengan hati-hati, seolah-olah takut merusak sesuatu yang rapuh. Ibarat menjaga guci porselen yang harganya ratusan juta rupiah agar tidak jatuh dan pecah berkeping-keping. “Tadi siang, aku... aku ke panti asuhan Harapan Mulia,” ujar Nadine
Hyra segera menunduk dengan sopan dan berkata, “Saya Hyra, istri Mas Ghaidan Sumitra. Dulu suami saya pernah tinggal di sini waktu dia masih kecil dan diadopsi oleh keluarga Sumitra.” Wajah Bu Rahayu langsung berubah terlihat begitu bersemangat, saat Hyra menyebut nama Ghaidan. “Oh, Ghaidan… sudah lama dia nggak ke sini, biasanya dia main ke sini. Ternyata sudah punya istri sekarang.” “Iya, Bu. Mungkin Mas Ghaidan terlalu sibuk, jadi belum sempat mampir. Bu Sumitra juga cerita kalau mas Ghaidan sering ke sini, bahkan keluarga mereka adalah donatur tetap panti ini.” “Iya betul! Ayoo.. ayo duduk! Ternyata ini istrinya Ghaidan... anak yang tidak pernah saya lupa,” ujar Bu Rahayu sambil mempersilakan Hyra duduk di ruang tamu panti yang sederhana, dengan aroma kayu tua dan lukisan anak-anak di dinding. “Terima kasih,” balas Hyra sambil menghempaskan tubuhnya di sofa seraya berkata, “Oh iya, ini ada sedikit hadiah untuk anak-anak dari kami sekeluarga dan Bu Sumitra juga titip pes
Malam itu, Hyra tidak langsung tidur, pikirannya masih melayang memikirkan Ghaidan. Saat itu ia sedang duduk termenung di balkon kamar sendirian. Ghaidan tidak ada di sana, mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja yang menjadi tempat favouritenya ahir-akhir ini. Angin malam menyapu rambut Hyra yang panjang, dipandanginya halaman belakang rumah keluarga Sumitra yang sunyi, hanya suara hewan malam yang terdengar, sementara suara lalu lalang kendaraan terdengar jauh di sana. “Aku masih punya waktu seminggu, sebelum terbang ke Singapura,” gumam Hyra sambil berpikir serius “aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya membuat Mas Ghaidan seperti itu? Kalau ini berkaitan dengan masa lalunya, aku harus mencari tahu dari Bu Sumitra, aku juga harus mencari tahu di panti asuhan mana dia tinggal saat itu?” Hyra sudah bertekad untuk mencari tahu tentang masa lalu Ghaidan, juga tentang luka yang disembunyikan suaminya selama ini.” *** Keesokan pagi, Setela
Malam itu, Ruang makan keluarga Sumitra malam itu tampak sempurna. Mulai dari meja panjang yang terbuat dari kayu jati mengilap, piring porselen berwarna putih gading, dan aroma sop buntut buatan Bu Sumitra yang mengepul lembut dari mangkuk besar di tengah meja tampak menguar di udara, membawa aroma kelezatan yang dirindukan seluruh anggota keluarga. Dari luar jendela besar, cahaya lampu taman menyorot pohon kamboja yang sedang berbunga, aromanya begitu semerbak. Tapi di balik semua kehangatan itu, Hyra tampak duduk dengan hati yang dingin. Tangannya memegang sendok, tapi tak sanggup menelan makanan. Ia tahu, setiap pertemuan keluarga seperti ini selalu berakhir dengan keputusan yang bukan miliknya. Di ujung meja, Ghaidan, suaminya atau lebih tepatnya, pria yang terikat dengannya dalam pernikahan kontrak tampak tenang. Wajahnya tampan. Namun, kaku, matanya fokus pada piring, seolah semua yang ia ucapkan nanti hanyalah rencana bisnis biasa. “Papa, Mama,” katanya perlahan,
Keesokan hari, Udara terasa setebal beton. Hyra bangun terlebih dulu, dilihatnya Ghaidan masih berbaring, membelakanginya, seolah dinding tak terlihat masih membentang di antara mereka. Perempuan itu bangkit perlahan, tubuhnya masih terasa nyeri, tetapi hatinya lebih sudah sedikit ringan setelah konseling dengan Dokter Almashita kemarin. Saat ia melangkah keluar kamar, Ghaidan berbalik. Matanya menatap punggung Hyra, jejak air mata masih membasahi pipinya. Laki-laki itu ingin memanggil, ingin bicara, tetapi kata-kata tercekat di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Kata 'maaf' terasa hambar, tidak cukup untuk menutupi kehancuran yang telah ia ciptakan.Tak lama kemudian mereka bertemu lagi di ruang makan, Hyra sedang menyesap teh herbal yang menenangkan saat Ghaidan memasuki ruangan yang terasa begitu luas, sekaligus begitu sempit. “Mas Ge, mau minum kopi atau teh?” tanya Hyra sambil berdiri hendak mengambil cangkir untuk sang suami, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di anta
Siang itu, Hyra melangkah ke rumah sakit tempat dokter Almashita bekerja. Lobi rumah sakit tampak modern dan tenang, dihiasi dinding putih dan aroma antiseptik yang menusuk lembut. Setiap langkah terasa berat, tapi tekadnya sudah bulat. Perempuan itu lalu mengetuk pintu ruangan bertuliskan “Dr. Almashita Karim, Sp.KJ”. “Masuk,” terdengar suara lembut dari dalam. Ruangan Dokter Almashita terasa hening. Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menenangkan, tapi di dada Hyra, perasaan sesak masih belum juga pergi. Ruangan itu tampak hangat, dengan dinding berwarna krem muda dan rak penuh buku psikologi di sisi kanan. Di meja kerja, Dokter Almashita duduk mengenakan blazer biru muda, senyumnya tenang dan menenangkan. “Silakan duduk, Dokter Hyra,” sapanya ramah. “Akhirnya kita bisa bertemu langsung. Apa yang bisa saya bantu?” Perempuan itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang empuk di seberang meja kayu, sementara Dokter Almashita menatapnya dengan tatapan penuh perhati







