Beranda / Rumah Tangga / DALAM DEKAP LUKA / BAB 5 - Pertengkaran

Share

BAB 5 - Pertengkaran

Penulis: Sally Diandra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-27 22:53:55

Keesokan hari, di rumah Oma Dayana …

Pagi itu, Hyra menyiapkan sarapan dengan ekspresi tegang. Mata panda di bawah kelopak matanya menunjukkan kurang tidur. Oma Dayana, dengan rambut putihnya yang rapi dan kacamata bulat, memperhatikan Hyra dari meja makan. Rumah tua itu terasa sunyi, hanya ada suara peralatan dapur yang berbenturan yang sedang dimainkan oleh Surti, asisten rumah tangga mereka.

“Oma, ada yang ingin aku sampaikan,” ujar Hyra setelah menuangkan teh ke dalam cangkir Oma.

“Ada apa, Sayang? Kenapa wajahmu terlihat tidak tenang?” tanya Oma dengan nada lembut.

Hyra lalu duduk di kursi seberang, mengambil napas panjang sebelum berbicara. “Begini, Oma.” Suara Hyra terhenti di udara, ada jeda di antara mereka. “Hmm.. ada seorang pria yang menawarkan bantuannya untuk melunasi hutang kita.”

Oma mengernyitkan dahi, kerutnya terlihat begitu jelas. “Siapa pria itu? Dan apa yang dia inginkan sebagai gantinya?” tanya Oma setelah menyesap teh hangatnya.

“Namanya Ghaidan. Ghaidan Ravindra Sumitra, anak pemilik The Sumitra Consortium--”

“Apa itu maksudnya?” sela Oma Dayana penasaran.

“Hmm… seperti konglomerat, Oma. Dia dari keluarga kaya, keluarganya memiliki usaha yang banyak.” Perempuan tua itu mengangguk sambil menyuapkan nasi goreng buatan Hyra ke mulut.

“Dia ingin menawarkan bantuan ke kita,” lanjut Hyra setelah menyesap air putih dari gelas yang tinggal setengah.

“Baik sekali orang itu, dari mana kamu kenal dia, Ra?”

“Kami ketemu di rumah sakit--”

“Lalu apa ada sesuatu yang dia minta?” sela Oma penasaran, perempuan tua itu menghentikan suapannya di udara , menunggu jawaban sang cucu.

“Dia ingin aku menikah dengannya dan menjadi ibu dari anak-anaknya.” Perempuan yang keseluruhan rambutnya telah memutih itu tampak membelalakkan kedua bola mata, menatap Hyra dengan tatapan tidak percaya.

“Jadi kamu pacaran sama dia?” Hyra menggeleng sambil menyelesaikan suapan terakhir di mulut, tidak ada nasi goreng yang tersisa di sana. Piring Oma Dayana juga tampak kosong. “Lalu?” lanjut Oma penasaran.

“Dia menawarkan kerja sama--”

“Kerja sama? Kerja sama bagaimana?” Perempuan tua itu semakin penasaran.

“Yaa… semacam timbal balik, dia membayar semua hutang-hutang kita dan aku menikah dengannya lalu kami punya anak, tapi... bukan dengan cara biasa,” Hyra menundukkan kepala, tangannya gemetar saat meraih cangkir teh. Suaranya terdengar pelan dan terbata-bata.

Oma meletakkan cangkirnya dengan sedikit keras di atas meja, Hyra sedikit tersentak. Air teh itu tumpah sedikit di tatakan. “Apa maksudmu, bukan cara biasa?”

Sesaat dokter muda itu menghela napas panjang, menyusun semua keberanian untuk menceritakan semua ini ke Oma, satu-satunya keluarga yang dia punya.

“Dia ingin anak itu dilahirkan lewat bayi tabung. Dia bilang dia tidak akan menyentuhku sama sekali, Oma,” Hyra menjelaskan dengan suara pelan, tetapi jelas.

Wajah Oma memerah karena emosi. “Hyra, apa kamu sadar apa yang baru saja kamu katakan?” ujarnya keras. “Kamu ingin menjual dirimu untuk pria itu?”

“Oma, ini bukan menjual diri! Ini hanya perjanjian. Aku nggak punya pilihan lain,” balas Hyra, suaranya pecah oleh emosi.

“Kamu pikir ini hanya perjanjian? Hyra, harga diri tidak bisa dibeli dengan uang! Kamu masih muda, cantik, dan cerdas! Kenapa kamu harus mengambil jalan seperti ini?” Oma bangkit dari kursi, berjalan ke jendela, memandang halaman rumah yang masih diselimuti embun pagi.

“Oma, aku melakukan ini untuk kita. Kalau nggak, rumah ini akan disita! Kita akan kehilangan segalanya, Oma!” suara Hyra meninggi, matanya mulai berkaca-kaca. Gadis itu tidak menyangka kalau ternyata Oma tidak setuju dengan keputusannya.

Oma berbalik, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata. “Aku lebih baik kehilangan rumah ini daripada melihatmu menghancurkan masa depanmu sendiri. Uang bukan segalanya, Hyra!”

“Oma!” Hyra berdiri, mengepalkan tangan, sekujur tubuhnya terasa memanas. “Aku nggak ingin berdebat. Aku hanya ingin menyelamatkan rumah ini, menyelamatkan kita!”

“Dan kamu harus menjual dirimu demi itu? Hyra, bagaimana bisa kamu mengambil keputusan ini tanpa memikirkan harga dirimu?” suara Oma naik satu oktaf, penuh emosi.

“Sekali lagi aku tekankan aku tidak menjual diriku, Oma! Ini perjanjian profesional. Aku hanya perlu menjadi ibu dari anaknya, dan setelah itu, semuanya selesai,” Hyra membalas dengan nada yang hampir putus asa.

Perempuan tua itu menarik napas dalam-dalam lalu berkata, “Aku tetap tidak setuju! Pasti ada cara lain, Hyra. Kita bisa berjuang bersama tanpa harus merendahkan diri seperti ini.”

“Cara apa, Oma? Hutang itu terlalu besar. Rumah ini akan disita hari ini kalau aku tidak melakukan sesuatu sekarang!” seru Hyra, matanya mulai sembab, suaranya pun terdengar gemetar.

Suasana di ruang makan berubah menjadi tegang. Langit-langit rumah yang kusam, furnitur tua, dan aroma kayu yang usang memperkuat suasana muram pagi itu. Hyra kembali mengepalkan tangan, mencoba meredam gejolak emosi.

Oma akhirnya menatap Hyra lagi. Kali ini air mata tampak menggenang di pelupuk mata. “Kamu nggak perlu melakukan ini, Sayang. Bagi Oma, uang bukan segalanya. Aku lebih baik kehilangan rumah ini daripada kehilangan harga dirimu.”

“Dan aku juga nggak bisa kehilangan Oma,” balas Hyra lirih. Suaranya pecah oleh tangis. “Ini satu-satunya cara agar rumah ini tidak disita. Aku tahu ini berat, tapi aku harus melakukannya demi kita.”

***

Beberapa jam kemudian, bunyi bel pintu menggema di rumah Oma Dayana …

Hyra membuka pintu dan menemukan Ghaidan berdiri di sana, mengenakan setelan jas rapi berwarna gelap. Di sampingnya, berdiri seorang pria paruh baya membawa tas kerja, jelas seorang pengacara.

Dan seorang pria muda berkacamata, mengenakan setelan jas yang sama seperti Ghaidan, berwarna biru dongker, tingginya hampir sama dengan pria tampan itu.

Laki-laki muda itu tampak ramah dan tersenyum kecil, sementara Ghaidan sendiri tampak dingin. Namun, anggun, postur tubuhnya tegap dan berwibawa.

“Pagi, Hyra,” sapa Ghaidan dengan nada netral.

“Pagi,” balas Hyra, menunduk sedikit, merasa canggung.

“Boleh kami masuk?” tanya Ghaidan.

Hyra membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan mereka untuk masuk. Suasana ruang tamu yang sederhana dengan sofa tua dan foto keluarga di dinding menciptakan kontras mencolok dengan kehadiran pria kaya seperti Ghaidan.

Oma Dayana yang duduk di sofa tampak waspada. Wajahnya mengeras begitu melihat Ghaidan. “Kamu siapa? Dan apa yang kamu lakukan di sini?”

Pagi itu, rumah Oma Dayana yang biasanya sunyi mulai dipenuhi suara langkah kaki dan bisik-bisik para tetangga yang penasaran dengan sosok tamu yang datang di rumah perempuan tua itu.

Ghaidan, bersama asistennya, Lukman Sudira, dan pengacaranya, Pak Subrata, telah tiba di depan pagar rumah. Mobil hitam mewah mengkilap mereka begitu mencolok di lingkungan sederhana itu. Ketika bel pintu berdering, Hyra buru-buru membuka pintu, gadis itu terlihat gugup dan canggung.

Oma Dayana, yang tengah duduk di ruang tamu dengan raut wajah suram, segera mengangkat dagunya ke atas, menatap tamu-tamu yang tak diundang tersebut datang pagi-pagi ke rumahnya.

Ghaidan memasuki ruang tamu dengan langkah mantap. Dia mengenakan setelan jas berwarna gelap yang rapi, sementara Lukman membawa beberapa berkas, dan Pak Subrata tampak tenang dengan kopernya.

Aroma kopi yang baru saja dibuat, menguar mengisi udara, tetapi suasana terasa tegang. Oma Dayana menatap laki-laki itu seolah menilai seluruh keberadaannya.

“Siapa kamu? Mau apa kamu ke sini?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 50 - PROVOKATOR

    Kembali ke kantornya di Sumitra Tower, nasihat Profesor Zamar masih bergema di benaknya, membenturkan logika teknis Ghaidan dengan tuntutan emosional yang terasa menakutkan. “Berikan kepercayaan ke Hyra.” Ghaidan termenung seraya berfikir, “Kalau Hyra aman secara fisik, bisakah aku mempercayainya secara emosional?” Ghaidan duduk, memaksakan diri untuk bekerja, tetapi benaknya kembali pada ketenangan Hyra yang mencurigakan di rumah sakit. Kepercayaan berarti melepas kendali yang artinya membiarkan dirinya dihancurkan, sama seperti ibunya yang telah menghancurkan masa kecilnya. Bukankah Hyra menikahinya karena motif transaksional murni? Hanya karena uang? “Kalau kamu menghukumnya sebelum dia berbuat salah, kamu menghukum dirimu sendiri.” Kata-kata Profesor Zamar bagaikan kutukan yang mendesak Ghaidan untuk berani. Namun, naluri bertahan hidupnya menolak risiko tersebut. Ditekannya tombol interkom. “Panggil Daniel masuk,” perintah Ghaidan, suaranya kering dan tajam. Beber

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 49 - GHAIDAN RESAH

    “Menarik, Arga. Sangat menarik,” desis Onella, menikmati kilauan strategis di mata Arga. Mereka bertemu di salah satu sudut cafe.“Jadi, kontrak pernikahan mereka didasarkan pada kewajiban ahli waris dan pelunasan hutang. Kalau kita bisa merusak proses ini, kita nggak hanya melukai Ghaidan, tapi kita juga menghancurkan pondasi keberadaannya, yaitu kewajiban ahli waris dan kepastian emosional yang mulai dia bangun. Katakan padaku, Arga, bagaimana kita bisa memastikan Ghaidan berhenti melihat Hyra sebagai 'obat' bagi traumanya?”Arga menyeringai, pandangan matanya menunjukkan perpaduan antara dendam dan kerinduan yang salah kaprah terhadap Hyra. “Ada banyak cara. Yang pertama, dan yang paling mudah, adalah memastikan Ghaidan nggak akan percaya padanya, nggak akan mau lagi melanjutkan program ahli waris. Ghaidan sangat paranoid. Jika kita menanamkan bibit kecurigaan bahwa Hyra, jauh di lubuk hatinya, sedang menunggu saat yang tepat untuk memutus kontrak atau mencari kebebasan sejati, Gh

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 48 - KEMENANGAN KECIL

    Ghaidan keluar dari klinik Dr. Chen di Singapura dengan perasaan kesal karena dia baru saja kalah dalam sebuah negosiasi bisnis yang seharusnya dimenangkannya. Wajahnya yang keras, kontras dengan raut lega yang tidak bisa disembunyikan oleh Hyra yang berjalan di sampingnya. Dr. Chen, dengan profesionalismenya yang dingin dan terukur khas kota ini, telah menyarankan penundaan. Secara klinis, jika terjadi penyatuan di masa subur maka mereka harus menunggu satu siklus penuh untuk memastikan kehamilan alami, karena ini adalah langkah yang logis dan kurang invasif daripada segera memulai stimulasi hormon IVF.Setibanya di penthouse mereka di kawasan East Coast, suasana hening yang dingin pun menyambut. Apartemen mewah yang didominasi oleh kaca dan pemandangan langsung ke Selat Singapura itu adalah cerminan sempurna dari Ghaidan Ravindra yang minimalis, modern, dan steril, didominasi oleh warna monokromatik yang menolak kehangatan. Jendela-jendela setinggi langit-langit membingkai panora

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 47 - SEBUAH PENANTIAN

    “Kepalamu sakit? Aku nggak peduli!” Ghaidan memotong cepat, suaranya dipenuhi amarah yang membara. “Bagaimana kamu bisa di sini? Ini bukan kamar di apartemen kita, ‘kan? Lalu kenapa kita…. kenapa kita telanjang? Apa yang terjadi semalam, Hyra?!” bentaknya kasar. Hyra sudah menduga kalau Ghaidan pasti akan bereaksi seperti ini, dia sudah siap. Apa pun yang akan dikatakan oleh sang suami, tidak akan mengecilkan hatinya. Dokter muda itu sudah bertekad, dia hanya berharap penyatuan mereka semalam yang dilakukan berulang kali hingga tengah malam bisa membuahkan hasil yang maksimal. Semalam Ghaidan memang tampak begitu perkasa dan buas menyentuh tubuhnya, mungkin efek dari obat perangsang yang dimasukkan Lukman semalam dalam minumannya, membuat laki-laki itu tahan hingga beberapa jam. Hyra pun sangat menikmatinya. Laki-laki itu menunjuk ke sekeliling mereka, ke seprai yang kusut, ke lantai tempat jas mahal, kemeja dan celananya yang teronggok, berserakan begitu saja bertumpuk dengan

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 46 - SENTUHAN KEDUA

    Pukul setengah sebelas malam, ponsel Hyra bergetar. Lukman hanya mengirimkan foto Ghaidan sedang berada di dalam bar bareng koleganya. Tidak ada kata-kata. Hyra bergegas meninggalkan apartemennya, memanggil taksi, dan tiba di Four Seasons Hotel beberapa menit kemudian, lalu mulai check in di hotel tersebut. Hyra lalu memotret kartu kamar yang menunjukkan nomer kamar yang dia pesan dan dikirimkan ke Lukman saat memasuki kamar tersebut. Hyra lalu memasuki kamar yang telah dipesannya, Hyra duduk di tepi tempat tidur, jantungnya berdebar sangat kencang. Rencana ini sangat berisiko, karena kalau gagal, Ghaidan pasti akan memiliki alasan sempurna untuk menekannya di kontrak yang mereka buat dan menghancurkannya.Malam itu, Hyra mengganti bajunya dengan jubah kimono tipis selutut di atas lingerie satin hitam yang baru dia beli di Orchid tadi, sengaja disiapkan untuk malam ini. Tas kecil yang berisi baju gantinya dan baju Ghaidan tampak teronggok di atas sofa. Disemprotkannya parfum ke bel

  • DALAM DEKAP LUKA    BAB 45 - PROGRAM BAYI TABUNG

    “Kamu mempercepat program bayi tabung ini bukan hanya karena ingin memastikan program ini berhasil, Mas,” ucap Hyra, melangkah maju agar Ghaidan bisa melihat ketegasan di matanya. “Kamu mempercepat program ini karena kamu ingin lari dari apa yang baru saja terjadi. Kamu tidak hanya lari dari bayangan Widiyana atau Adriana Wibisana, Mas. Tapi kamu juga lari dari aku.” Ghaidan mendekat, langkahnya tenang. Namun, mematikan. Aura dinginnya memenuhi ruangan tersebut. “Aku lari dari kelemahan, Hyra dan kamu adalah pengingat konstan bahwa di luar kontrak ini, ada potensi pengkhianatan yang jauh lebih besar. Kita sudah sepakat kalau semua ini adalah transaksi. Aku butuh ahli waris, bukan kehangatan wanita yang memanipulasi.” Laki-laki tampan itu melanjutkan, suaranya kini berbisik tajam, hanya ditujukan ke Hyra. “Dengar, Hyra. Jangan pernah berpikir kalau kamu bisa meruntuhkan tembok yang sudah aku bangun selama dua puluh tahun. Tembok itu sudah berdiri kokoh dari dulu karena aku tahu keint

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status