Suara benda pecah belah jatuh terdengar di sebuah ruangan. Serpihannya bertebaran di lantai, merata ke seluruh penjuru ruangan. Sementara pelakunya memandang penuh amarah ke sekelilingnya. Seolah lingkungan sekitarnya adalah musuh yang harus dia musnahkan."Bu, apa yang Anda lakukan? Jangan lakukan ini lagi." Seorang perawat terkejut melihat keadaan Melanie. "Minggir! Aku ingin dia mati tapi kenapa dia tidak mati!" Teriak Melanie dengan mata memerah. Seorang perawat mendekat. Dia sudah beberapa hari mengawasi Melanie. Miguel yang memerintahkannya. Pria itu setidaknya masih bertanggungjawab pada kesehatan dan keselamatan Melanie."Jangan mendekat!" Melanie kembali berteriak.Dia makin liar membuang barang di sekitarnya. Melanie membanting gelas. Si perawat berhasil menghindar. Melanie semakin frustrasi. Tangannya mulai menyasar perutnya. Dia memukuli perutnya.Kelakuan Melanie membuat dua perawat sigap bergerak. Kembali suntikan penenang jadi opsi terakhir untuk mengendalikan Melanie
"Halo."Sapaan itu membuat Livi mengangkat wajahnya. Ada Han, asisten Chen Wei di hadapannya."Tuan Han. Anda di sini?""Saya makan siang di sini. Nona sendiri?""Tidak, saya bersama Nova. Dia sedang ke toilet. Anda sudah selesai?"Han mengangguk. Pria bermata sipit itu lantas undur diri. Punggungnya menjauh seiring pandangan Livi mengikuti. Han, adalah ayah anak Melanie. Satu fakta yang membuat Livi ternganga.Bagaimana bisa Melanie terlibat hubungan dengan pria seusia Arch, anak tirinya. Bahkan sampai punya anak. Livi tidak pernah tahu jika Han sempat mengambil fotonya lalu mengirimnya pada Chen Wei.Livi menggelengkan kepala. Ini sangat di luar nalar. Hubungan Melanie dan Han memang mungkin berlaku di zaman gila seperti ini. Apa saja bisa terjadi. Seperti Livi yang kembali harus berhadapan dengan Bella. Tidak tahu bagaimana, Bella mendadak muncul di hadapannya.Livi pilih cuek, dia lanjutkan makan siangnya. Hanya untuk menghormati makanan yang telah dia pesan. Sejatinya dia sudah
"Sudah bangun?" Livi mendudukkan diri ketika silaunya lampu membuatnya terganggu. Dia lihat Arch mendekat ke arahnya."Aku mimpi buruk," adu Livi."Mimpi hanya bunga tidur, kamu terlalu stres sampai terbawa mimpi. Mandi sana, makan ....""Lalu tidur lagi," potong Livi cepat."Ini sudah malam, memang mau ngapain lagi kalau enggak tidur.""Nonton," balas Livi seraya beranjak ke kamar mandi.Arch hanya menghela napas. Dia tahu isi kepala Livi penuh dengan banyak hal. Hal ini akan membuat sang istri susah tidur. Itu yang terjadi pada Livi ketika baru ditemukan oleh apapanya.Lingkungan baru, kehidupan yang sama sekali berbeda dengan waktu Livi tinggal di Tokyo. Belum lagi adaptasi yang menuntutnya untuk cepat akrab dengan keadaan sekitar.Livi kecil sampai insomia kala itu. Awalnya tidak ada yang tahu, sampai Arch menemukan Livi menangis sendirian tengah malam di kamarnya.Saat itulah dia tahu kalau Livi kesusahan selama ini. Setelah itu ada Arch yang diam-diam menemani Livi jika malam d
Livi yang diam membuat Arch menghela napas. Dia paham, Chen Wei sudah berhasil membuat Livi ragu. Pria itu ternyata tidak sepolos yang terlihat. Ada banyak trik tersimpan di balik bajunya."Kamu tahu siapa dia?"Sang istri menggeleng. Dia bingung, mana yang harus dia percaya. "Dia akan segera menunjukkan wajah aslinya. Saat itu gunakan hatimu bukan logikamu."Arch melangkah menuju kamar mereka. "Kamu tidak marah?" Livi buru-buru bertanya."Aku cemburu. Istriku diincar orang, apa aku akan diam saja. Tapi seperti katanya. Perasaan itu hak si pemilik hati. Tak seorangpun bisa memaksanya. Dia suka padamu, itu haknya. Kamu akan menerimanya atau tidak itu juga hakmu."Pria itu menatap dalam wajah sang istri. Arch mencintai Livi, sungguh mencintainya. Sejak gadis itu muncul di pintu kediaman Alkanders. Jantungnya telah berdebar kencang hanya untuk satu nama.Nakaia Livi. Arch yang berusia tujuh tahun sungguh takjub pada kecantikan bocah yang bahkan belum genap berusia tiga tahun.Cinta Arc
"Eh, kamu ngapain di sini?" Livi menahan Arch yang mendadak muncul di parkiran rumah sakit. Pria itu ternyata menyusulnya."Mau kasih pelajaran ke Sesel!""Kok kamu tahu aku ketemu Axel. Siapa yang kasih tahu kamu?"Livi melipat tangan di dada. Merasa curiga. Arch sendiri tidak ingin menutupi apapun dari Livi. Jadi dia mengatakan, "Bella yang kasih tahu aku. Siap dengan foto kalian."Pria itu tanpa ragu menunjukkan ponselnya. Di mana memang ada foto dirinya dan Axel. Tapi Livi bisa bernapas lega, sebab foto itu hanya menampilkan dirinya dan Axel sedang berbincang. Tanpa ada part yang bisa memicu kecurigaan atau kecemburuan Arch.Namun sayangnya, yang namanya cemburu bisa datang kapan saja. Dengan penyebab bermacam-macam. Bahkan hal sepele bisa jadi pemicu seorang pria jadi lebih posesif pada pasangannya."Jadi dia masih menguntitku.""Kita akan bereskan itu nanti. Sekarang yang penting Sesel."Astaga! Livi menepuk dahi seraya melangkah cepat mengikuti Arch. Pria sejatinya ingin menin
"Terus dia ngapain di sini?" Axel makin merapat ke sisi Livi tiap kali bertanya. Hal ini membuat Chen Wei, lelaki yang baru saja datang mengerutkan dahi."Jauh-jauh sana!" Livi mendorong Axel yang mendadak sudah menempel di lengannya. Pria itu merengut ketika dia terdorong ke sisi sofa yang lain."Selamat siang, Tuan Li. Apa yang Anda lakukan di sini?" Livi bertanya basa basi"Kebetulan ada kenalan yang sakit. Kita baru menjenguk. Nona sendiri? Mana suami Nona?"Kebohongan yang sangat kentara, walau Chen Wei melakukannya dengan sangat meyakinkan. Meski begitu, Livi iyakan saja jawaban Chen Wei."Saya menjenguk ibu teman saya. Dan kebetulan bertemu dia. Teman saya juga. Jadi kita berbincang sebentar.""Hai, senang bertemu Anda," sapa Axel sok akrab. Detik setelahnya Axel merinding ketika tatapan Chen Wei berubah dingin padanya."Orang ini, apa maksudnya? Ingin mengintimidasi aku. Atau ...."Axel menoleh ke arah Livi. Wanita itu tampak santai sambil menjawab panggilan dari Nova. Sement