Sandra berbalik, ekspresinya berubah panik melihat Axel berjalan cepat ke arahnya. Wajah Axel jelas menunjukkan kemarahan yang nyata. Apalagi melihat bekas kemerahan di pipi Livi."Apa yang kamu lakukan?" Bentak Axel, dia ingin menolong Livi. Tapi sang gadis menolak. Livi berdiri sendiri. Lalu menjaga jarak dengan Axel dan Sandra. Ada rona ketakutan tersirat di wajahnya."Ini tidak seperti yang kamu lihat, Xel. Livi provokasi aku. Dia bilang sengaja main tarik ulur denganmu. Supaya kamu ngejar dia lagi."Livi memutar bola matanya jengah. Pandai sekali Sandra memutarbalikkan fakta. Tatapan Axel beralih pada Livi yang seketika mengubah mimik wajahnya jadi sedih. "Kamu jangan dekati aku, nanti Sandra marah. Aku takut dia akan melukaiku, bahkan membunuhku," kata Livi dengan suara lirih.Semua trik yang pernah Sandra gunakan di masa lalu, dicopas dengan cepat oleh Livi. Sandra tentu saja kebakaran jenggot, bagaimana bisa Livi yang dulunya begitu penurut kini balik menggigitnya.Axel deng
"Pacar? Pacar siapa? Emang aku punya pacar?" Arch sibuk bertanya saat mereka mengikuti Livi naik motor menuju pabrik. Mereka perlu memastikan kalau Livi sampai dengan selamat."Mana aku tahu? Mungkin dia cemburu sama Jenita," sahut Satria."Jenita sudah kubuang keluar negeri. Kalau ada yang gangguin itu Cassie. Tapi Livi kan cuek bebek selama ini. Kenapa sekarang dia tantrum."Saking bingungnya melihat perubahan sikap Livi pagi ini. Arch yang biasanya irit omong lupa akan tabiatnya. Sejak tadi pria itu sibuk bertanya soal ini dan itu. Semua menyangkut Livi. Tidak ada hal lain yang mereka bicarakan selain Livi."Bukannya hidden love-mu itu memang tantruman sejak dulu," kata Satria.Arch terdiam sesaat, tampak berpikir. Memang iya, Livi itu tantruman ... kalau lagi gusar. Tapi yang buat dia gusar apa. Perasaan tidak ada yang salah dengan mereka."Ingat-ingat kamu ngapain aja sama dia. Mungkin ada yang dia tidak sukai, tantrumlah dia. Perempuan itu susah-susah gampang. Tahu sendiri kit
Mata coklat Livi melebar cantik begitu mendengar ucapan sang suami. Ditambah Arch kini merangkak di atas tubuhnya. Pria itu masih menggunakan handuk, bisa dibayangkan seperti apa tegang dan paniknya Livi."I- ini. Aku! Kamu mau ngapain?!" Teriak Livi saking cemasnya. Berbagai pikiran liar seketika muncul di benak Livi. Scene dua satu plus yang pernah dia intip di kala beranjak dewasa, perlahan terputar di kepala.Arch, lelaki itu besar dengan hawa panas menguar dari tubuhnya. Sorot matanya sayu, walau di waktu bersamaan terlihat menakutkan. Bak seekor predator tengah mengintai mangsanya, begitulah penampakan Arch saat ini."Menurutmu dengan keadaan seperti ini kita mau ngapain?" Livi sampai lupa bernapas ketika Arch menghidu lehernya. Dua lengan kokoh lelaki tersebut menopang raga kekarnya. Memastikan bobot tubuhnya tidak menindih Livi."Kita, kamu gak bisa lakuin itu."Itu jelas mengacu pada hubungan intim. Meski mereka sudah sah jadi pasangan suami istri, gosip itu masih dipegang
Cassie lekas mendatangi adiknya. Caleb hanya diam, bahkan lelaki itu tidak menoleh ketika sang kakak membanting pintu."Apa kamu akan terus melawanku? Apa untungnya buatmu? Dia sama sekali tidak melirikmu."Caleb langsung merespon begitu "orang itu" disinggung. Cassie tersenyum sinis. Mudah sekali membuat Caleb menanggapi protesnya."Tidak masalah dia tidak melirikku. Tapi yang pasti, aku masih bisa memandang wajahnya tanpa sembunyi-sembunyi. Kami masih bisa berbincang bebas, tanpa perlu takut akan diusir. Level mencintai kita berbeda, Cassie."Yang disebut namanya mendelik tidak terima. "Kau berusaha keras memilikinya, menjauhkannya dari yang dia cinta. Padahal caramu salah, dia akan makin illfeel padamu," tambah Caleb.Cassie menyilangkan tangan di dada. "Lalu apa caramu benar. Mencintai istri sepupu sendiri ....""Aku mencintainya tanpa perlu dia tahu. Asal dia bahagia aku juga ikut bahagia.""Alah bullshit. Padahal kalau kamu sendirian kamu juga bayangin dia. Kamu bayangin dia ja
Telapak tangan Arch membungkus jemari lentik milik Livi. Konsisten mengangkat lengan sejak lima belas menit lalu. Arch tidak mengeluh sama sekali. Langkah lebarnya berubah pelan saat mengimbangi Livi yang sedang meniti tepian kolam.Genggaman Arch hangat dan erat. Tidak kuat, tidak juga lemah. Pas dengan keinginan Livi. Pria yang berjalan di sebelahnya seolah tahu, sebesar apa kekuatan yang Livi inginkan untuk memandu dan melindunginya."Kok dingin ya. Padahal tadi enggak." Livi berujar setelah sejak tadi diam. "Jaketmu mana?" Arch bertanya dengan mata fokus ke depan."Sejak kemarin naik mobil, jadi tidak bawa. Tapi gak mau pakai jasmu.""Pede sekali Anda," cibir Arch tanpa sadar menoleh ke arah sang istri.Dalam keremangan penerangan taman, wajah Livi terlihat samar. Sementara sisi lain malah tidak terlihat sama sekali. Walau begitu, pesona Livi justru kian bertambah di mata Arch. Ya, pria itu telah melihat semua sisi seorang Livi. Sejak dulu sampai sebesar ini. Dari Livi tidur mas
Arch menatap heran pada dua pemuda yang mendadak muncul di hadapannya. Caleb dan Matthias. Sudah lama mereka tidak bertemu. Kebetulan sekali mereka berjumpa di sini."Kenapa? Ada yang salah?" Arch balik bertanya."Gak ada. Halo, Kak," sapa Matthias ceria. Dia langsung duduk di sebelah Livi tanpa permisi.Livi sendiri tersenyum cerah melihat Caleb dan Matthias. Dia mendorong kresek berisi jajanan ke depan dua pemuda yang sontak menerima."Terima kasih untuk yang hari itu." Matthias kembali bicara."Bagus tidak hasilnya?" Livi balik bertanya sambil menggigit siomaynya."Bagus, bagus banget malah. Lain kali boleh minta tolong lagi," pinta Matthias dengan puppy eyes yang menggemaskan.Arch memutar bola matanya malas. "Modus!" Komennya sarkas.Matthias cemberut, dengan Livi terbahak. "Boleh saja, asal aku luang."Pandangan Livi mendadak bertemu dengan Caleb. Pria itu sejak tadi menatap dirinya, andai Livi sadar."Siap, nanti aku tanya kalau ada yang sulit. Boleh ya Kak Arch. Jangan pelit b