Sementara itu di tempat Axel. Pria tersebut sejak tadi mengamuk tanpa henti. Dia lemparkan semua benda yang ada di ruang tamu. Panggilannya pada Livi tidak ada yang diangkat.
Bahkan sekarang gadis itu sepertinya memblokir nomornya. "Nakaia Livi!" Geram Axel penuh kemarahan. Hari ini dia kehilangan muka. Livi meninggalkannya untuk menikah dengan pria lain. Selain itu video perselingkuhannya dengan Sandra tersebar. Ini sudah keterlaluan. Bisa dipastikan kalau namanya akan jadi bahan pembicaraan banyak orang. "Livi pasti sengaja melakukannya." Suara Sandra terdengar. Perempuan itu rupanya masih menempel pada Axel. "Diam kamu! Semua ini gara-gara kamu!" "Kenapa aku yang salah. Ingat Axel, kamu tidak menolak tiap kali kita melakukannya." Tangan Axel terkepal. Ucapan Sandra memang benar. Dialah yang tidak bisa menahan diri sejak Sandra menyerahkan diri padanya. Pria itu sudah kecanduan tubuh Sandra. "Harusnya kamu tidak memaksaku tadi. Livi kan jadi tahu." Axel masih menyalahkan Sandra. Padahal dia juga salah. "Tapi kamu mau." Sandra mendekat ke arah Axel yang pikirannya mendadak kosong. Tangannya bergerak mengusap dada Axel yang masih terbalut kemeja. "Jangan cemas. Aku yakin dia akan kembali padamu. Livi sangat mencintaimu. Apa yang terjadi hari ini siapa tahu hanya pura-pura. Dia melakukannya untuk menarik perhatianmu. Agar kamu datang padanya, lalu minta maaf." Perkataan Sandra cukup masuk akal. Livi sangat mencintainya, itu fakta. Perempuan itu tidak bisa jauh darinya. Axel tidak menjawab, tapi sisi angkuh dalam dirinya membenarkan hal itu. Livi hanya sedang marah padanya. Pria tidak tahu malu itu seperti sedang menghibur diri, seolah dalam kejadian tadi, dialah korbannya. Namun begitu, Axel tetap akan memberi Livi pelajaran. Jika nanti gadis itu datang minta maaf padanya, dia tidak akan dengan mudah menerimanya. Axel benar-benar sakit jiwa. Dia yang terbukti bersalah, tapi malah sibuk mencari kambing hitam. Melihat Axel marah pada Livi, membuat Sandra mengulas senyum. "Jangan cemas Axel, selain kamu siapa yang sudi menerima perempuan mandul sepertinya." Satu lagi poin penting yang Axel genggam. Pria itu tahu rahasia besar Livi. Rahasia yang akan membuat Livi ditolak oleh pria manapun. Bahkan jika pernikahan hari ini nyata, Axel yakin kalau suami Livi akan segera menceraikannya saat tahu kondisi Livi. "Kamu benar, Livi akan kembali padaku. Dia mencintaiku, hanya yang aku bersedia menerima kekurangannya." Kemarahan Axel berangsur pudar. Walau dia dipermalukan hari ini, dia tidak akan menggubrisnya. Sebab dia yakin, Livi hanya sedang marah padanya. Besok, perempuan itu pasti akan mencarinya. Membujuknya, minta maaf, lalu hubungan mereka akan kembali seperti semula. Sandra tersenyum, dia mendekat untuk menjangkau bibir Axel. Lagi-lagi pria itu tidak menolak. Bahkan setelah video mereka jadi tontonan tamu undangan. Axel juga tidak tahu dari mana Livi bisa mendapat rekaman video panasnya bersama Sandra. Axel tidak kapok. Justru pria itu makin liar saat bermain tak lama sesudahnya. Benar kata Livi, mereka tidak tahu malu dan murahan. .... "Aduh, pelan." Livi berjengit kaget ketika Arch kembali menarik rambutnya tanpa sengaja. Pria itu di luar dugaan sudi membantu Livi melepaskan aksesoris di kepalanya. "Ribet!" Komen Arch pedas ketika jepit hitam terakhir berhasil dia lepas. Sanggul Livi terlepas. Menyisakan helaian panjang rambut Livi yang hitam legam, lurus berkilau. Arch langsung beranjak ke sofa, meninggalkan Livi riweuh sendiri dengan rambutnya. "Anda tidak pernah lihat wanita pengen tampil cantik di hari pernikahannya ya?" Nada formal Livi gunakan untuk menyindir sifat kaku Arch. "Buat apa tampil cantik kalau akhirnya cuma lihat calon suami main sama teman sendiri. Menyedihkan." Astaga! Apa Arch baru saja menelan cabai setan sekilo. Pedes sekali ucapannya. "Benar sekali ucapan Anda. Saya memang menyedihkan. Puas?!" Suara pintu kamar mandi yang dibanting keras membuat Arch mengangkat kepalanya. Dia mana pernah bersikap manis pada perempuan. Kecuali pada .... Mengingat satu nama Arch lantas mengirim pesan pada Satria, sang asisten. "Kamu pastikan keadaan Bella stabil sebelum dibawa pulang ke sini. Aku putuskan tidak akan kembali. Aku akan menetap." Bersamaan dengan pesan terkirim, pintu kamar mandi terbuka. Livi seperti mandi bebek. cuma sebentar. Aroma sabun milik Arch menguar. Setelah dipakai Livi entah kenapa wanginya jadi begitu memikat. Livi sedikit canggung mengingat ada sosok lain di kamar itu. Dan sosok tersebut lelaki meski statusnya adalah suaminya. Gadis itu sibuk membersihkan wajah. Satria datang membawa sejumlah paper bag, berisi pakaian ganti komplit sampai ke dalamannya. Plus skincare yang sudah lebih dulu Livi beritahukan brand-nya. Lagi, baru kali ini Arch melihat betapa ribetnya seorang perempuan. Dia yang hidupnya hanya itu-itu saja, mendadak seperti mendapat pencerahan. Tanpa Arch sadari, dia terus memperhatikan Livi. Entah kenapa, tiap gerak geriknya terlihat begitu menarik. Sampai dia menyadari hal tersebut lantas mengalihkan pandangannya dari Livi. Sedangkan di sisi Livi, dia bukannya tidak tahu kalau Arch sedang mengawasinya. Dalam hati dia sibuk beragumen. Kenapa Arch memperhatikannya sampai demikian keponya. Bukannya Arch tidak tertarik pada perempuan. Tapi dari beberapa kasus, penyuka sesama jenis memang bisa juga punya minat pada lawan jenis. "Apa yang sedang dia pikirkan? Dia tidak mungkin mau minta haknya kan?" batin Livi panik. "Sudah malam, tidurlah." Kata Arch setelah kebungkaman menjerat keduanya. "Di situ?" Livi to the poin menunjuk ranjang di tengah ruangan. "Tentu saja. Kecuali kamu mau tidur di sofa," balas Arch acuh. Livi menggaruk kepalanya, bimbang. Dan Arch menangkap keraguan itu. Sudut bibir pria itu tertarik. "Kenapa?" Tubuh Livi menegang ketika tahu-tahu Arch sudah berdiri di hadapannya. Postur tinggi besar dengan wangi maskulin yang kental. Darah Livi berdesir kala menyadarinya. Belum sempat menjawab, tubuh Livi sudah didorong hingga terjatuh di atas ranjang super besar dan empuk. "Ma-mau apa?" Alarm waspada di kepala Livi seketika menyala. Meski samar dan sebentar, Livi bisa melihat percikan gairah di bola mata kelam milik Arch. "Menurutmu?" Livi menjerit ketika detik setelahnya Arch menundukkan kepalanya, dengan tubuh menindihnya."Sampah? Lelaki sepertiku hanya sampah?"Kalimat dari Arch menghantam sisi paling rapuh dalam diri Axel. Fakta dia telah menyakiti juga menyia-nyiakan dua perempuan baik dalam hidupnya, membuka mata hati Axel.Tangannya turun perlahan, diikuti wajahnya yang berubah muram.Pria itu seketika disadarkan oleh kenyataan kalau dia memang brengsek, jahat, tidak punya hati. Egois juga tidak memiliki perasaan."Kau selamanya tidak akan masuk ke DL Grup. Mau mencoba dari sisi manapun. Kau tidak punya celah. Kau tidak memiliki kualifikasi untuk berada di jajaran direksi perusahaan yang aku pimpin.""Kau, tidak bermoral, tidak kompeten, kau juga tidak punya skill memadai untuk mendapatkan izin dariku!"Tangan Axel terkepal. Arch benar-benar menguliti dirinya. Mengupas semua kesalahan juga menguak sisi kelam dalam dirinya. Namun tiap kata yang Arch ucapkan, Axel sama sekali tidak bisa membantahnya.Sebab yang Arch sebutkan adalah kebenaran. Tidak ada satupun yang bisa membuat Axel denial akan hal
"Masih marah?"Arch menahan lengan Livi yang berjalan mendahuluinya. Wanita itu manyun tapi parasnya tidak sejengkel tadi. Ada binar kelegaan dalam mata coklat Livi."Masih," balas Livi lirih.Arch menghela napas. "Sekarang bilang, aku harus apa biar kamu gak marah lagi."Livi mengerutkan dahi, tampak berpikir. Hingga satu ide muncul di kepalanya. "Temani aku main seharian.""Main apa dulu?" Seringai Arch muncul begitu mendengar kata main."Jalan-jalan. Pikiranmu itu kasur saja isinya."Arch terbahak. "Habisnya enak sih, bagaimana dong."Lihat, betapa mudahnya pria itu mengubah ekspresi wajahnya. Padahal lima menit yang lalu, Livi dibuat merinding oleh sikap Arch yang menurutnya sangat menakutkan.Sekarang pria itu telah kembali ke mode tengilnya. Sebenarnya yang mana kepribadian Arch yang asli. Livi jadi bingung."Memang kamu mau jalan-jalan ke mana?"Arch mengejar langkah Livi yang hampir mencapai mobilnya. Livi baru akan menjawab ketika seseorang memanggilnya."Livi, bisa kita bica
Livi tak membalas sepatahkatapun. Dia pandangi sang suami yang sedang melahap makanannya dengan tenang juga elegan. Pria di depannya memang kerap terlihat demikian.Wanita itu kadang sampai bingung. Bingung menerka isi kepala suaminya. Arch sesekali tampak misterius. Seolah ada rahasia besar di balik sikapnya yang datar, tanpa riak emosi sedikitpun.Arch juga selalu bertindak cepat untuk mengatasi masalah yang muncul di antara mereka. Mengurai kesalahpahaman yang sering kali terjadi karena Livi overthinking.Seperti sekarang. Tanpa banyak kata, Livi langsung disuguhi kebenaran dari foto kemarin."Jadi semua ini bagian dari rencana tantemu?"Arch mengangguk, mengusap sudut mulutnya dengan serbet. Lantas menyesap kopi miliknya. Livi sendiri diam-diam menarik sudut bibirnya. "Dan dia sengaja membuatku terjebak dengan wanita itu, supaya aku tidak datang menolongmu."Tersirat kesal dalam perkataan Arch. "Maaf," lanjutnya."Tidak masalah. Ada pak Yo yang bantuin aku.""Kai langsung kroscek
"Jangan cemberut, itu pawangnya datang."Irfan menunjuk arah belakang Livi dengan dagunya. Wanita itu menoleh, hingga dia melihat Arch dan Satria datang bersamaan."Kita tersesat, Yang. Mereka cuma bikin kita mupeng aja," seloroh Satria yang langsung duduk di samping Farah. Tanpa minta izin langsung menyedot orange juice milik Farah hingga nyaris habis.Si empunya jus melotot. Tapi Satria dengan santai mengelus puncak kepala sang kekasih. Tangannya lantas memanggil pelayan."Makanya halalin, biar gak mupeng," sindir Irfan yang sejak tadi melihat interaksi Arch dan Livi yang terlihat "aneh""Mereka bertengkar?" Bisik Irfan di telinga Tina."Ehem, kata Livi Arch selingkuh," jawab Tina ikutan berbisik.Irfan menggulung senyum. Ini seru. Lihat bagaimana Arch coba membujuk Livi tapi sang istri tetap acuh."Kai tidak ikut?" Arch akhirnya biarkan Livi, walau tangannya tidak mau lepas dari jemari istrinya."Sibuk ngadon mereka," cibir Satria."Iri bilang bos," sindir Irfan tajam.Satria mende
"Ini bukan seperti ini.""Terus seperti apa? Aku sibuk menghajar mereka yang mau menjebakku, kamu malah asyik-asyikan sama perempuan lain."Arch memejamkan mata, coba menahan diri untuk tidak ikut terpancing emosi. Dia tahu Livi punya sisi meledak-ledak dalam dirinya."Aku bisa jelaskan.""Gak mau dengar."Juga sifat kekanakan yang terkadang sering muncul. Livi banyak benar minusnya. Tapi tidak masalah, yang penting Arch cinta. Bukankah tidak ada manusia yang sempurna."Nyonya De Leon cemburu?" Arch banting stir jadi menggoda istrinya, alih-alih sibuk menjelaskan."Idih, siapa juga yang cemburu. Aku cuma, cuma ... ndak suka!"Livi pilih kabur ke kamar meninggalkan Arch yang terbahak sebelum dia menghubungi Satria."Siapa aspri tuan Roland?"Jawaban datang sejurus Arch selesai bertanya. Sudut bibir lelaki itu tertarik. Seperti sang tante mulai berani macam-macam.Tidak masalah, Arch akan ikuti permainan tantenya....."Lesu amat," komen Farah yang baru datang. Dia melihat Livi dan Tin
"Itu cuma salah paham, Sayang. Aku tidak bermaksud menjelekkan Livi. Aku hanya ingin menyelidiki."Livi mendengus dalam hati, sedang di parasnya terukir senyum palsu. Di depannya ada Melanie yang sibuk menjelaskan pada Miguel soal kejadian tadi."Kamu harusnya minta maaf sama Livi. Kamu sudah fitnah dia."Wajah Melanie menegang sesaat sebelum akhirnya berpaling ke arah Livi. "Livi, Tante minta maaf. Tante asal tuduh tadi.""Lain kali jangan diulangi ya Tante. Takutnya orang-orang itu gak cuma saya tampar. Tapi bisa saya masukkan ke polisi. Atau malah saya aniaya dulu sebelum diserahkan ke polisi."Melanie bergidik ngeri. Dia baru tahu kalau Livi mampu bertingkah badas macam tadi. Melanie pikir, Livi cuma anak manja yang tahunya merengek, tanpa tahu bertindak.Siapa sangka jika Livi nyaris menghajar lelaki yang hampir menyentuhnya tadi. Andai Miguel tidak menghalangi."Kamu bisa lakukan apapun yang kamu mau. Jika hal ini sampai terulang lagi. Om, akan dukung kamu."Miguel memandang han