Livi pikir kapan hari buruknya akan berakhir. Segala yang terjadi hari ini membuatnya kehabisan tenaga. Dia bahkan belum makan sejak tadi siang.
Dia aslinya sudah lemas, ingin rubuh kalau memungkinkan. Tapi rupanya dia masih punya keluarga suaminya yang perlu dia hadapi. Sorot mata penuh penghakiman, serta penilaian terarah pada Livi sejak dia turun dari mobil. Satu tangan menggulung ekor kebaya yang lumayan panjang. Sementara yang lain, berusaha mencari pegangan. Livi sangat membutuhkannya saat ini. Waktu gadis itu kebingungan, mendadak satu tangan terulur padanya. "Jika tidak keberatan," ucap si pemilik tangan. Sejenak Livi ragu, meski setelah momen krusial itu dia menyambutnya. Ada hangat yang mengalir ketika tangan mereka bersentuhan untuk kedua kali. Livi sejenak terpaku. Apa penyuka sesama jenis bisa berlaku semanis ini. Livi tidak tahu, tapi yang jelas, dia merasa terlindungi saat Arch membimbingnya menaiki beberapa undakan untuk kemudian sampai di hadapan keluarganya. "Akhirnya kalian sampai juga. Sat, kamu ajak mereka muter kota dulu ya. Selamat datang, Livi. Namamu Livi kan. Cantik sekali. Om, tidak pernah menyangka kalau kamu bakal tumbuh jadi gadis secantik ini." Livi melongo. Itu tadi yang bicara ayah mertuanya. Kenapa wajah sama ucapannya beda jauh. Muka lempeng seperti tembok tapi kalimat yang terucap begitu hangat penuh perhatian. "Bukannya Livi bisa manggil papa ya sekarang." Ceplos seorang pemuda yang tinggal memakai kaos putih, beskap-nya sudah dibuang entah ke mana. "Eh, iya ya. Keturutan papa punya anak perempuan." Satu pelukan Livi dapat dari pria berparas bule yang dia tebak adalah ayah Arch. Disusul oleh perempuan yang masih mengenakan kebaya. "Selamat atas pernikahannya, Sayang. Semoga kalian bahagia," ucapnya. Livi benar-benar terkejut. Jadi yang benar yang mana. Rumor itu atau fakta yang tengah dia hadapi. Keluarga De Leon terlihat sangat harmonis. "Eitts, kalian gak boleh peluk. Bukan muhrim!" Tegas Arch menahan dua pria yang ingin memeluk Livi. "Pelit lu, Arch!" Maki pemuda berkaos putih tadi. Pada akhirnya mereka hanya bersalaman, itu pun di bawah tatapan penuh intimidasi dari Arch. "Cuma kenalan doang. Kagak berani gue ambil dia," seloroh pemuda yang wajahnya terlihat masih muda. Mungkin masih kuliah. Sebuah dekapan kembali Livi dapat dari seorang perempuan yang muncul dari arah dalam. "Selamat datang dan selamat atas pernikahannya. Aku Cassie, sepupu suamimu." Cassie melirik Arch yang seketika melengos, seolah tidak ingin melihat Cassie. "Te-terima kasih," kata Livi setengah terbata, setengah tidak percaya. Rumor keluarga tidak harmonis itu tidak benar sama sekali. Keluarga Arch sangat hangat dan ramah. "Masuklah, anggap seperti rumah sendiri." Kata mama Arch yang pria itu bisikkan bernama Melanie. "Livi, Nak mau makan dulu?" Livi sejatinya ingin mengangguk, tapi rasa malunya berhasil mengambil alih. Baru juga sampai masak langsung minta makan. Tidak etis. Akhirnya Livi sekuat tenaga menahan lapar di perutnya. Dia duduk di ruang keluarga sambil minum teh yang lumayan menghangatkan lambung. Dari perbincangan yang lebih banyak didominasi para pria. Livi tahu kalau lelaki berkaos putih tadi namanya Caleb. Sementara yang lebih muda namanya Mattias. Berada di sini, Livi seperti bersama keluarganya sendiri. Suasananya tak jauh beda. Livi yang belum terlalu akrab, hanya bisa menggulung senyum beberapa kali. Caleb dan Mattias benar-benar rame. Hanya Cassie yang tampak lebih pendiam. Livi menggelengkan kepala, mungkin karakter perempuan itu memang demikian. Apapun itu, Livi bisa menghela napas lega. Satu beban terasa jadi ringan untuknya. Ternyata rumor keluarga tidak akur itu salah. Keluarga Arch sangat menyenangkan. .... "Ini kamarku." Livi menegang ketika Arch membawanya masuk ke sebuah kamar yang bernuansa abu-abu dan putih. Kamarnya luas dengan jendela kaca menjadi dinding separuh ruangan. Tempat itu mendapat cahaya matahari dengan baik, di waktu pagi maupun sore. Arch berjalan ke sebuah sofa, melempar jas pengantin ke sembarang arah. Hanya mengenakam kemeja putih, tampilan Arch terlihat lebih santai. Sorot matanya tajam tertuju pada Livi. Aura dingin penuh dominasi tak tersentuh kembali menguar. "Kamu istriku, bukan pembantuku." Ucapan nyelekit bin pedas itu terucap ketika Livi memungut jas yang tadi dibuang Arch. "Hanya mengambil jas, bukan berarti aku bertingkah layaknya pembantu benar tidak?" Sudut bibir Arch tertarik meski cuma sedikit. "Lain kali jangan lakukan," kata Arch. "Kalau begitu lain kali jangan lakukan lagi." Dua orang itu saling pandang. Livi berani mengembalikan perkataan Arch, utuh. Kali ini bibir Arch sampai melengkung meski hanya sebentar. "Ini menarik." "Tunggulah sebentar. Satria sedang mencarikanmu baju ganti." "Bisa tidak setelah ini aku balik apart dulu." Sorot mata Arch lebih intens dibanding tadi. "Tidak patuh?" "Bukan begitu. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan." "Mau balikan?" Tubuh Livi menegang begitu sosok Axel disinggung oleh Arch. "Barang yang sudah kubuang tidak mungkin kupungut ulang." "Wah, kamu ternyata kejam juga." "Aku kembalikan apa yang mereka lakukan padaku." Tatapan Arch kian dalam pada Livi. Dia tahu, dirinya kemungkinan sedang dimanfaatkan Livi untuk membalas dendam pada Axel. Namun entah kenapa dia tidak keberatan sama sekali. Hanya saja dia juga tidak mau dirugikan dalam hal ini. "Oke, jika itu yang kamu inginkan. Ada lagi?" Kepalan tangan Livi melonggar. Giliran dirinya yang memandang sosok Arch. Pria yang duduk tenang bak seorang raja di atas singgasananya. Penuh percaya diri, tanpa ada yang bisa membantah andai pria itu memberi perintah. "Aku ingin mengajukan kontrak pernikahan denganmu." Gerakan tangan Arch yang ingin mengirim pesan terhenti. "Kontrak pernikahan?" "Benar, aku pikir pernikahan kita hanya sekedar ... untuk saling menyelamatkan reputasi. Kita bisa mengakhirinya setelah jangka waktu tertentu. Bagaimana?" Untuk sejenak Arch terdiam, walau begitu tatapannya tak beralih sedikitpun dari wajah cantik Livi. "Kamu pikir aku main-main saat menikahimu di depan papamu dan para saksi?" Balasan Arch membuat Livi terkejut. "Maksudmu?" "Tidak ada kontrak pernikahan. Kita akan menjalani pernikahan ini seperti pasangan suami istri pada umumnya." Livi menelan ludah. "Apa ini termasuk aku harus ...." "Tentu saja. Baik kamu maupun aku akan menjalankan kewajiban suami istri termasuk urusan ranjang." Mati aku! Livi seketika mengumpat dirinya sendiri. "Satu lagi. Dalam kamusku tidak ada kata perceraian." Double kill! Livi mematung mendengar kalimat tidak ada perceraian. Apa sebenarnya yang orang ini inginkan. Bukannya dia menikah hanya untuk menutupi rumor. Dan tunggu dulu. Bukannya Arch ini penyuka sesama jenis. Memangnya dia bisa memberinya nafkah batin?Asap tipis meliuk membentuk pola abstrak di udara sebelum akhirnya menghilang. Begitu seterusnya sampai sumber dari asap tadi dimatikan untuk kemudian di buang ke tempat sampah.Axel sejak tadi tampak gusar. Sampai detik ini, Livi sama sekali tidak menghubunginya. Bahkan nomornya masih diblokir. Dia sudah menyuruh anak buahnya mencari Livi, sekaligus informasi mengenai siapa suami Livi saat ini. Namun sampai kini belum ada hasilnya. Gadis itu menghilang bak ditelan bumi sejak membuat kekacauan kemarin"Dia keterlaluan kali ini!"Axel lantas meraih beberapa berkas untuk mengalihkan kemarahan di hatinya. Ponselnya berkedip sejak tadi. Namun Axel hanya meliriknya sekilas.Kebanyakan pesan masuk dari temannya, menanyakan bagaimana malam pertamanya dengan Livi, si bucin dan si perawan. Dua julukan yang diberikan teman Axel. Ah, belum lagi sebutan si mandul.Axel sungguh menjadikan Livi lelucon di depan teman-temannya. Axel memang berniat memaafkan Livi jika gadis itu ingin kembali padany
Sementara itu di tempat Axel. Pria itu sejak tadi mengamuk tanpa henti. Dia lemparkan semua benda yang ada di ruang tamu. Panggilannya pada Livi tidak ada yang diangkat.Bahkan sekarang gadis itu sepertinya memblokir nomornya. "Nakaia Livi!" Geram Axel penuh kemarahan.Hari ini dia kehilangan muka. Livi meninggalkannya untuk menikah dengan pria lain. Selain itu video perselingkuhannya dengan Sandra tersebar. Ini sudah keterlaluan. Bisa dipastikan kalau namanya akan jadi bahan pembicaraan banyak orang."Livi pasti sengaja melakukannya." Suara Sandra terdengar. Perempuan itu rupanya masih menempel pada Axel."Diam kamu! Semua ini gara-gara kamu!""Kenapa aku yang salah. Ingat Axel, kamu tidak menolak tiap kali kita melakukannya."Tangan Axel terkepal. Ucapan Sandra memang benar. Dialah yang tidak bisa menahan diri sejak Sandra menyerahkan diri padanya. Pria itu sudah kecanduan tubuh Sandra."Harusnya kamu tidak memaksaku tadi. Livi kan jadi tahu." Axel masih menyalahkan Sandra. Padahal
Livi pikir kapan hari buruknya akan berakhir. Segala yang terjadi hari ini membuatnya kehabisan tenaga. Dia bahkan belum makan sejak tadi siang. Dia aslinya sudah lemas, ingin rubuh kalau memungkinkan. Tapi rupanya dia masih punya keluarga suaminya yang perlu dia hadapi.Sorot mata penuh penghakiman, serta penilaian terarah pada Livi sejak dia turun dari mobil. Satu tangan menggulung ekor kebaya yang lumayan panjang. Sementara yang lain, berusaha mencari pegangan.Livi sangat membutuhkannya saat ini. Waktu gadis itu kebingungan, mendadak satu tangan terulur padanya. "Jika tidak keberatan," ucap si pemilik tangan.Sejenak Livi ragu, meski setelah momen krusial itu dia menyambutnya. Ada hangat yang mengalir ketika tangan mereka bersentuhan untuk kedua kali.Livi sejenak terpaku. Apa penyuka sesama jenis bisa berlaku semanis ini. Livi tidak tahu, tapi yang jelas, dia merasa terlindungi saat Arch membimbingnya menaiki beberapa undakan untuk kemudian sampai di hadapan keluarganya."Akhir
"Kita akan ke mana?" Livi bertanya begitu mereka masuk ke mobil. Kericuhan pesta pernikahan telah berlalu. Axel nyaris mengamuk ketika video syur-nya bersama Sandra jadi konsumsi tamu undangan. Namun amukannya dipatahkan oleh tindakan petugas keamanannya yang langsung mengusirnya dari venue pernikahan. Dia tidak terima, tapi Livi sama sekali tidak memberi kesempatan pada Axel untuk menjelaskan. Axel sempat tertegun melihat bagaimana Livi tampak terluka. Sesal seketika menyerbu Axel. Dia coba mendekati Livi, tapi pada akhirnya malah digiring paksa keluar ball room. "Menurutmu ke mana suami istri akan pergi setelah menikah." Arch membalas enteng. Dia menoleh guna melihat ekspresi lelah Livi terlihat jelas. Arch cukup paham bagaimana terpukulnya Livi dengan pengkhianatan calon suaminya. "Oh, aku ikut saja kalau begitu," balas Livi acuh. Hening sesaat menyelimuti mobil yang dikemudikan asisten Arch. "Boleh aku tanya sesuatu?" Arch mengangkat tangan mempersilakan. "Calon istri
"Siapa kamu? Kenapa aku harus menuruti keinginanmu?"Tatapannya tajam terarah pada Livi yang sejak tadi tertunduk seraya meremas jarinya sendiri.Satu kebiasaan yang seketika mengingatkan Arch pada seseorang. "Namaku Nakaia Livi."Begitu Livi menyebutkan nama, asisten Arch bergerak cepat mencari tahu. Hanya dalam sekejap, pria itu mengulurkan ponselnya pada Arch, diiringi senyum tipis penuh makna.Arch sesaat mengerutkan dahi melihat ekspresi sang aspri. "Kejutan" bibir sang aspri bergerak tanpa suara. Namun setelah Arch melihat ponsel pria tadi, barulah dia paham."Oke, teruskan!" Pinta Arch, sementara jari pria itu menggulir layar ponsel asistennya."Kita dalam kondisi yang sama.""Kita tidak sama. Aku bisa putuskan sendiri langkahku selanjutnya."Sial! Livi memaki dalam hati. Pria di hadapannya ternyata lumayan sulit diajak nego. Padahal dia adalah negosiator ulung.Hati Livi mendadak perih kala dia teringat hal itu. Dulu, demi mendapat investor untuk perusahaan Axel. Livi rela ke
"Di mana kamu? Acara akan dimulai sebentar lagi!"Satu pesan masuk ke ponsel Livi, seorang gadis yang tampak cantik mengenakan kebaya press body warna putih.Pesan itu datang dari Axel, tunangannya. Pria yang seharusnya menikah dengannya.Namun Livi hanya menatap layar itu dengan tatapan kosong. Ponsel bergetar beberapa kali, tapi Livi sama sekali tidak ingin meresponnya.Axel tidak tahu, kalau empat puluh menit lalu. Livi yang tampak lelah disarankan untuk beristirahat di kamar hotel oleh WO, sembari menunggu acara dimulai.Akan tetapi begitu dia berdiri di depan pintu kamar hotel, dia mendengar suara tidak biasa dari balik pintu."Ah... pelan dikit, Axel. Nanti ketahuan.""Aku tidak tahan, San. Kamu nikmat banget."Walau tidak bisa melihat, Livi mengenali suara itu. Hati Livi mencelos. Orang yang ada di balik pintu tidak lain dan tidak bukan adalah Axel. Tunangannya dan Sandra, sahabatnya. Livi memilih tidak masuk. Tidak pula meneriaki mereka. Apalagi sampai melempar barang untuk m