Remo makin naik pitam dengan perlawanan yang diberi Jenar. Dia merasa ditolak, direndahkan, dan dianggap remeh. Kian melonjak emosi, Remo menahan tubuh Jenar dengan tubuhnya sendiri.
"Lepasin aku Remo! Mestinya bukan aku yang kamu larang untuk ketemu Jaka atau siapa pun, tapi kamu yang stop ngikutin aku! Aku muak kamu intai!" teriak Jenar terus memberontak.
"Kamu milik aku! Aku gak mau kamu ketemu siapa pun selain aku!"
"Kamu butuh obat penenang, Remo! Please! Kamu akan nyesal lakukan ini ke aku!" erang Jenar.
Remo memberi satu ciuman yang menyakitkan bagi Jenar. Tak mampu menahan segala perih yang mendera, Jenar meringis, "Lebih baik kita cerai aja ..., please ...."
Bagai tersambar petir di siang bolong, Remo terdiam selama hampir satu menit. Jenar juga kaget melihat diam nya Remo, dia tatap mata Remo, Remo tak bicara sama sekali, hanya aura yang meruak dari tubuhnya
Pupil mata Remo membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Berobat? Berobat apa? Emangnya aku sakit apa?" tanya Remo dingin.Jenar menghela napas agak panjang. "Kamu tau sendiri kekurangan kamu, kamu harus menerima itu semua, Mo. Jangan menyangkal, ini demi kebaikan kamu.""Bukan itu yang aku tanya, aku tanya ... apa sakit aku? Jelasin dong kalau memang itu benar, biar aku gak menyangkal lagi." Remo terdengar sinis, Jenar tahu Remo tak senang sama sekali."Kamu bikin aku berada di posisi yang sulit, Mo ... kamu sadar gak sih?" Jenar menatap lurus Remo, ditepisnya rasa ragu dan takut yang sempat hinggap di dada. "Kita gak bisa lanjut kalau terus kayak gini, kesabaran aku ada batasnya!" tegas Jenar sambil berdiri."Terus mau kamu apa? Kamu mau aku bilang kalau aku ini gila? Orang gak waras? Mau kamu umumkan ke seluruh dunia? Kalau suami kamu ini ..., yang katanya aktor terkenal
Cahaya senja masuk menembus kaca gedung perkantoran, membuat meja kerja Jenar tampak menguning dan jingga. Dia rapikan file-file di tempatnya, lantas dia tutup laptop. Pulpen, pensil, semua masuk ke dalam kotaknya, dan tersusun rapi.Jenar menggendong tas, siap untuk pulang. Namun, Jaka tiba-tiba berlari ke hadapannya. "Nar, kamu gak apa-apa kan?""Soal apa?" Jenar balik bertanya."Ya ... You know, suami kamu, si Remo, soal aku ngomong sama kamu kemarin, buat minta maaf."Senyum Jenar mengembang. "Kalem aja, gak ada masalah apa-apa kok, lagian kita kan sekantor, satu kampung lagi, mau diam-diaman sampe kapan? Ya kan? Gak mungkin banget." Jenar tertawa kecil. Menutupi apa yang terjadi sebetulnya di antara dia dan Remo."Oke deh, syukur kalau dia ngerti. Eh, mau aku antar pulang gak?""No no no ..., kalau untuk yang satu itu, duh maaf-maaf aja nih, aku belum punya nyali!" tawa Jenar.
Air mata. Hanya air mata saja yang semalaman menemani Jenar di dalam kegelapan yang menyesakkan. Rasa sesal tak menuruti perkataan Remo menghinggapinya, harusnya dia dengarkan apa kata Remo. Harusnya. Kalau saja dia tahu bahaya apa yang ada di depannya, dia takkan biarkan dirinya melakukan hal yang begitu bodoh, menolak seseorang untuk terus menjagainya.Dalam hati Jenar terus merapalkan doa, dia sadar dia penuh dengan kesalahan, khilaf dan dosa, tapi untuk setidaknya kali ini saja, dia berharap dia diampuni dan diselamatkan. Dia ingin kembali kepada Remo, tanpa kurang satu apapun. Dia merindukan bau tubuh Remo, suaranya yang tajam tapi lembut serta sikapnya yang jutek namun penyayang. Jenar kangen semua itu.***Remo bolak-balik ke kamar lalu ke dapur, lalu ke halaman belakang, ke toilet, semua tempat sudah dia cek, tak ada tanda-tanda keberadaan Jenar. "Sial!!" Remo berteriak untuk merilis amarah sekaligus kecemasannya. Kalut, t
Hanya terdengar suara piring dan sendok beradu selama Jenar dan Remo makan, mereka tak bicara sama sekali. Jenar masih penasaran apa yang membuat Nana melepaskannya, dia ingin tahu kenapa ancaman yang diberikan Nana tak terjadi kepadanya.Habis makan, Remo dan Jenar mandi, mereka masih membisu. Remo langsung sibuk membaca naskah lagi sebelum tidur. Saat itulah Jenar berusaha mendekatinya, lalu bertanya lembut, "Apa kesepakatan kamu sama Nana?""Kesepakatan apa?" Remo balik bertanya tanpa mengabaikan naskah di depan matanya."Aku ini gak bodoh, Remo. Aku tau ada sesuatu, jawab aku, jawab dengan jujur, aku janji gak akan marah. Aku cuma butuh kejujuran sebelum aku cari tau sendiri."Remo menutup naskah di tangannya, lalu menatap Jenar lurus-lurus. "Apa yang mau kamu tau? Aku jujur!""Apa yang membuat Nana akhirnya melepaskan aku? Kamu tau apa ancaman dia ke aku? Kamu tau?! Ng
Sampai tiba saatnya syuting film Remo berakhir, dia tak juga rujuk dengan Jenar, mereka masih seperti berada di puncak gunung es.Malam itu Remo pulang membawa sebuket bunga mawar merah, diniatkan untuk membujuk Jenar. Remo menyerahkan buket bunga itu sambil berkata, "Besok kamu datang kan? Ke gala premier film aku. Di sana aku juga akan umumkan resepsi pernikahan kita, aku akan undang para wartawan juga!""Kenapa?" Suara Jenar masih tetap sinis. "Kamu mau menjual hubungan kita sebagai gimik untuk meningkatkan jumlah penonton kamu? Iya? Supaya film kamu laku keras? Banyak yang nonton? gitu?""Pernikahan kita bukan gimik Jenar!" teriak Remo, agak kesal. "Kadang aku bingung mau kamu apa, aku udah jelasin ke kamu posisi aku, aku cuma minta sedikit pengertian." Remo kembali bicara dengan intonasi yang lebih lembut dan pelan.Mata Jenar membesar. "Gokil, hebat kamu, minta punya istri dua itu kamu bi
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Remo sehabis dia Menutup pintu rumah. Mereka baru saja kembali dari acara premier film.Jenar melepas jaketnya lalu langsung duduk di atas sofa dengan cuek. "Penting ya emangnya gimana perasaan aku sekarang?""Kenapa sih, Nar? Udah-udahin lah ngambeknya, kan bentar lagi kita ngadain pesta pernikahan kita, gimana kalau kita sekarang fokus mikirin gaun pernikahan kamu? Terus juga katering, apa lagi ya yang kita butuhin?" Remo ikut duduk di samping Jenar, mencoba untuk memperbaiki suasana hati Jenar."Bodo amat, aku udah gak peduli lagi, paling entar aku minta sama ibu aku buat ngirimin kebaya."Remo menghela napas panjang, dia memutar otak, mencari ide. "kamu mau temanya apa? jangan kebaya, dong. Kan kita udah nikah tradisional di kampung kamu, kali ini harus spektakuler! Harus megah, mewah. Hm?" Remo menarik tangan Jenar dengan lembut lalu mengecup punggung tan
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater
Tidak terhitung berapa kali Jenar memeriksa penampilannya di depan cermin besar di ruang rias. Hari ini akan sangat penting baginya, akan menjadi hari bersejarah. Wartawan-wartawan telah berkumpul di depan gedung sejak pagi, bahkan jauh sebelum acara resepsi pernikahan dimulai. Ayah dan ibu Jenar menolak untuk hadir. Selain karena sedang musim panen, mereka juga enggan untuk masuk media cetak ataupun elektronik. Jenar tahu betul risiko bila dia memperkenalkan orang tuanya kepada media, orang tuanya tidak akan bisa hidup sebagai "orang normal" lagi. Wartawan akan mengejar mereka demi rating, mengusik ketenangan dan hidup damai mereka.Tak yakin juga, apakah mama dan papa Remo akan datang, yang pasti rekan-rekan sesama selebriti yang diundang Remo pasti akan datang, termasuk Dean dan Nana.Remo yang telah mengenakan setelan jas berwarna putih mendekati Jenar yang gelisah. "Kamu udah siap? Kenapa muka kamu tegang banget?" tanyanya lembut.