Share

DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)
DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)
Penulis: Bayu Insani

Kampung halaman

BAB 1

KAMPUNG HALAMAN

Jam lima pagi, Kereta Api Ekonomi Sawunggalih jurusan Jakarta-Solo Balapan, akan segera berhenti di sebuah stasiun kecil, yaitu Stasiun Gombong. Suasana di dalam gerbong ini, lumayan padat. Dari anak-anak, sampai orang tua. Wajah-wajah tampak kucel, dan lelah. Di depanku beberapa orang penumpang yang hendak turun di stasiun ini, mulai bersiap-siap. Ada yang menata barang-barangnya, ada yang baru bangun dari tidur lalu mengucek-ucek mata, dan ada juga yang sudah berdiri menanti dengan siaga di depan gerbong pintu kereta.

Segera aku bangun dari duduk, lalu menata barang-barang yang kubawa dari Jakarta. Kupastikan agar tak satu pun yang tertinggal, lalu melangkah menuju pintu gerbong. Bersama para penumpang, berdiri menanti Sang Masinis benar-benar memberhentikan keretanya dengan sempurna. Setelah berhenti, kami berdesakkan menuruni tangga ular besi ini.

Hampir satu tahun tak mencium aroma harum kota kelahiranku. Pagi ini, pastinya akan menjadi pagi yang istimewa. Apalagi kali ini, kepulanganku karena sengaja kurahasiakan dari sesiapapun. Pasti akan mengejutkan mereka semua, terutama nenek. Tak sabar merasakan hembusan angin pagi yang menusuk pori. Merasakan keindahan, kedamaian, serta keharuman desa.

Kami orang-orang yang baru turun dari kereta, berjalan menuju ruang penyerahan tiket. Setelah urusan tiket beres, masing-masing sibuk mencari transportasi untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Suasana masih gelap, subuh masih belum sepenuhnya berlalu. Segera aku bergegas menuju musala, tampak sepi. Orang-orang yang biasa hilir mudik di stasiun ini, belum terlihat bayangannya. Segera aku berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Usai salat, kaki langsung keluar dari gedung stasiun.

Pandanganku terenyuh menatap puluhan tukang becak dan ojek yang mangkal di depan gedung stasiun. Mereka berteriak-teriak, optimis menawarkan jasanya pada orang-orang yang baru keluar dari gedung, termasuk padaku.

"Becak, Mbak ...!"

"Ojek, Mas! Pak ...!" pekik mereka bersaingan. Seorang tukang becak membuntutiku, menawarkan jasanya. Namun dengan lembut aku menolak. Jujur, aku tak mau merepotkan mereka. Lagi pula, tujuanku terlalu jauh jika untuk menaiki becaknya. Maka dari itu, terpaksa aku menolak bapak penarik becak itu dengan santun.

Tak lama kemudian, dari jauh aku melihat sebuah delman. Terpikir olehku untuk menaikinya, sambil menikmati udara di pagi hari. Pasti asyik, pikirku. Apalagi selama ini, aku tak pernah menaikinya. Benar-benar rindu pada transportasi tradisional yang satu ini.

Sambil menanti delman mendekat, aku diam di tempat. Terlihat Pak Kusir tua duduk di atasnya, sambil memegang tali kuda. Tak lama kemudian, kusapa ia dengan senyuman lembut. "Assallamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam, Nak," jawabnya ramah sambil menuruni delmanya. Lelaki tua yang memakai baju koko lusuh dan berpeci hitam itu tersenyum, lalu mendekatiku. "Mau diantar pulang ke mana, Nak?" tanyanya kemudian.

"Ke Puring, Pak," jawabku. Pak Kusir mengangguk ramah.

“Silakan,” ucapnya ramah. Dengan cepat, ia menaikkan semua barang-barangku ke atas delmannya. Setelah itu, perlahan aku naik dan duduk di jok samping kusir. Sekilas aku menatap raut mukanya, lelaki itu tampak senang dengan pekerjaannya ini. Delman perlahan melaju, menjauhi gedung stasiun.

Suara tapel kaki kuda begitu unik terdengar di telinga. Apalagi, suasana masih remang dan sepi. Sambil asyik mendengarkan kaki kuda yang seolah tengah berdansa, kuperhatikan pula ekornya yang terkibas-kibas lucu. Seolah menari-nari riang, seriang hati dan perasaanku. Ya, perasaanku yang kini tengah bahagia, karena akan bertemu dengan orang-orang yang sangat kurindukan. Tak bisa kubayangkan bagaimana terkejut dan bahagianya nenek nanti, saat beliau melihatku nanti.

Ah nenek, mengingatmu aku jadi semakin tak sabar untuk bertemu. Wanita tua yang sangat perasa ini memang sangat menyayangiku sejak bayi. Bagaimana tidak, kami adalah amanah terbesar kedua orang tuaku.

Mungkin karena beliau telah makan asam garam kehidupan, jadi sifatnya sangat perasa. Teringat dahulu, sewaktu beliau dan Dewi berada di rumah Mbak Sally, saat lebaran, beliau pernah bilang, bahwa ‘aku disuruh berhati-hati dengan kebaikan mereka berdua’. Nenek merasa, kebaikan mereka kelak akan menjadi buah simalakama bagi kami semua.

Mendengar itu, tentu saja aku menjadi bingung. Lalu kupinta nenek untuk menjelaskannya. Namun sayang, nenek tak mau berterus terang. Hanya disuruh lihat saja kelak. Bukan nenek tak suka, namun nenek merasa silau dengan keramahan mereka berdua. Kuakui, mereka berdua memang sangat baik. Semoga apa yang nenek risaukan tak akan menjadi kenyataan. Karena aku yakin, kebaikan mereka tumbuh dari dalam jiwa. Ah, rupanya aku telah melamun mengingat masa lalu.

Lama aku perhatikan jalanan, masih sangat sepi. Hanya satu-dua orang saja yang mulai membuka pintu rumahnya. Mereka adalah para pedagang yang harus menyiapkan barang-barang dagangannya untuk dijual ke pasar.

Angin pagi berhembus sepoi, dinginnya benar-benar menusuk pori-pori. Udara begitu segar, sengaja kuhirup dalam-dalam, hingga menembus kerongkongan, lalu kembali perlahan kuhembuskan. Sungguh, terasa kesegarannya. Tubuhku terasa nyaman, dan tak sedikit pun kantuk menyerang. Padahal hampir semalaman tidurku terganggu oleh para pedagang asongan di dalam kereta.

"Dari mana, Nak?" tanya Pak Kusir, membuka obrolan di pagi itu. Beliau enak memanggilku dengan sebutan 'nak' mungkin karena aku seusia anak-anaknya.

"Dari Jakarta, Pak," jawabku lembut.

"Kerja apa sekolah?" tanya beliau. 

"Oh, kerja Pak"

"Tadi Bapak pikir anak sekolahan, soalnya kamu putih, bersih. Pakai kerudung lagi," tutur Pak Kusir. 

"Ah, bapak bisa saja."

"Setahu Bapak, kalau kerja memang gak boleh pakai kerudung. Anak saya juga tidak boleh pakai kerudung sama majikannya," ucapnya lagi.

"Alhamdulillah, majikan saya baik, Pak. Saya boleh pakai kerudung, baik di rumah maupun di luar rumah."

"Alhamdulillah ya, Nak. Beruntung kamu."

Akhirnya kami ngobrol tentang banyak hal. Ternyata Pak Kusir juga dari Kecamatan Puring, tetapi sayang, aku tak begitu mengenalnya. Hanya sering melihat andongnya, tetapi tak pernah menaikinya. Maklum, sekolahnya dulu naik sepeda.

Setelah Pak Kusir tanya siapa orang tuaku, beliau sedikit kaget. Ternyata beliau sangat kenal dengan nenekku yang dulunya dipanggil juragan tempe. Katanya, dulu sering menaiki andongnya kalau mau ke kota.

Hampir semua warga desa mengenal nenek. Begitu juga dengan aku, yang terkenal dengan cucu juragan tempe. Namun seiring bertambahnya usia, kini nenek tak mampu lagi berdagang. Beliau ingin menghabiskan masa tuanya untuk fokus beribadah.

Tak terasa, perjalanan pagi itu sungguh mengasyikkan. Kereta kuda terus melaju, perlahan, namun pasti, meninggalkan Kota Gombong, dan memasuki daerah selatan kota. Jalanan masih tampak sepi, hanya lampu-lampu bohlam lima watt yang belum juga di matikan oleh pemilik rumah. Pertanda gelap belum sepenuhnya pergi

Setengah jam berlalu, kami berdua masih tetap berbincang. Pak Kusir tua itu sangat baik. Dia banyak menasihatiku, agar jangan mudah terbawa arus zaman dan pergaulan kota. Menurut lelaki sederhana ini, zaman sekarang sudah tua, manusia-manusia banyak yang berubah menjadi edan. Dalam hati aku berkata, "Andai ayahku masih ada di dunia, mungkin tak jauh berbeda dengan Pak Kusir ini perhatiannya."

Kota Gombong sudah jauh kami tinggalkan, kini kami memasuki daerah Kuwarasan, Puraganda, dan desa-desa lainnya. Di depan kami nanti, akan kami lewati Desa Sida Bunder, yaitu desa yang telah menyimpan seribu kenangan pahit bagi teman kelasku dahulu.

Waktu itu, desa kami sedang dilanda musim hujan. Sudah beberapa hari, hujan tak juga berheti. Akibatnya, banjir pun terjadi di daerah-daerah rendah, misalnya di Desa Sitiadi, Daleman, dan Sida Bunder.

Temanku ini, memiliki seorang putri yang masih berusia 3 tahun. Putrinya sangat manis, dan sedang lucu-lucunya. Hari-hari membuat orang-orang tertawa karena celotehnya. Pipinya yang tembam, dan bola matanya yang berwarna coklat, membuat orang-orang disekitar selalu saja ingin mencubitnya. Bibirnya mungil, rambutnya panjang ikal, sehingga jika ia berlari, rambutnya seolah ikut menari-nari lucu. Kulitnya yang putih dan bersih, membuat orang-orang selalu ingin menggendongnya. Pokoknya, dia sangat lucu. Apalagi jika kita mendengar celoteh-celoteh dari bibirnya yang masih cedal, terkadang kita dibuat terpingkal-pingkal olehnya. Itu karena dia belum bisa mengucapkan huruf 'r' dan 's'.

Waktu itu, temanku sedang memasak nasi goreng untuk keluarganya yang berjumlah tujuh orang di dapur. Maklum musim hujan, mereka yang biasa ke sawah, akhirnya harus menganggur di rumah.

Temanku ini sedang sibuk memasak. la mengira anaknya sedang diasuh oleh kedua adiknya yang sedang belajar bahasa Jawa dengan kedua orang tuanya. Bahkan suaminya mengira anaknya sedang tidur di kamar. Hingga akhirnya, tak ada kilat, dan petir, tiba-tiba tetangga sebelah rumah menjerit histeris, melihat baju mengapung di depan rumahnya.

Seluruh penghuni rumah kaget bukan main. Mereka bergegas keluar untuk melihat kejadian. Dan alangkah kagetnya, saat mata mereka melihat bocah itu telah mengapung di atas air. Wajahnya pucat kebiruan. Dalam sekejap temanku  menjerit histeris, sebelum pingsan bersama kedua adiknya. Seluruh warga geger melihat kejadian tersebut.

Ya, itulah sepenggal kisah luka yang pernah singgah di hati temanku, beberapa tahun yang lalu. Kini, mereka telah jauh meninggalkan desa ini, menyambung masa depan di Kota Kembang

Fajar menyingsing dengan pijar-pijar cahaya yang menawan. Langit berwarna jingga, awan-awan tipis bergerak, menyibak mentari yang indah mengagumkan. Terlihat para petani yang rajin pergi ke sawah dengan cangkul di pundaknya, begitu pula dengan anak-anak sekolah yang berbaris menaiki sepeda jengki. Seketika pikiranku menerawang menyusuri lorong waktu, masa-masa di mana aku masih seperti mereka.

Setiap pagi, kami akan menaiki sepeda bersama. Kami tertawa, bercanda, dengan riangnya. Ya, masa-masa sekolah memang indah. Kini di hadapanku, kembali aku saksikan masa sekolahku dulu. Ah, bagai dalam mimpi saja. Batinku.

Mobil angkot berwarna orange menyalib delman yang aku naiki. Mobil ini, salah satu alternative angkot untuk pergi ke Kota Gombong. Mereka yang memakai jasa angkutan ini, biasanya adalah para siswa SMA Negeri Gombong, dan para pedagang di pasar-pasar.

Hutf ...!

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status