Share

Nostalgia masa kecil (1)

BAB 2 

NOSTALGIA MASA KECIL (1)

Dada semakin berdebar saat wajah kedua orang yang aku cintai, mulai menari-nari di kelopak mata. Nenekku, sangat mencintai kami. Aku dan adikku, Dewi Lestari namanya. Beliaulah yang membesarkan kami, setelah kedua orang tua kami meninggal. Nenek mendidik kami dengan kasih sayang. Walaupun kami orang desa, namun nenek tidak menginginkan kedua cucunya hidup tanpa pendidikan, baik agama maupun pendidikan formal. Namun sayang, nasib kurang baik waktu itu menyapa kami.

Saat aku baru lulus SMA nenek sakit keras, hingga berhari-hari tak sembuh. Saat itu  aku hampir saja mendaftarkan diri ke Universitas yang aku suka. Tak tega melihat keadaan Nenek yang tak kunjung membaik, akhirnya aku putuskan untuk menunda kuliah. Dan uang  tersebut, aku pakai untuk biaya berobat Nenek. Tak bisa kuliah, tak apa, yang penting nenek bisa sembuh seperti semula. Pikirku waktu itu.

Setelah tamat SMA, aku mondok di pesantren di daerah kami. Tak lama kemudian, aku beranikan diri untuk merantau. Jauh, hingga keluar negeri, yaitu Negara Singapura. Semua hasil keringatku tak sia-sia. Di rumah nenek telah membangun rumah dan membeli beberapa sapi untuk dipeliharakan pada orang lain.

"Kita mau lewat jalan mana, Nak. Depan Pasar Daleman atau lewat depan Masjid Pak Roni?" Pertanyaan Pak Kusir kembali membuyarkan lamunanku. Dalam hati aku tersenyum sendiri. Ngalamun melulu, sampai-sampai lupa kalau rumah sudah dekat.

"Lewat mana ya, Pak? Terserah Bapak saja, saya nurut," jawabku lembut. Pak Kusir pun segera membelokkan kereta kudanya ke arah selatan. Mungkin itu jalan yang lebih baik karena menjadi pilihannya. Perjalanan masih lima menit lagi kira-kira. Hatiku mulai menerka-nerka kekagetan mereka setelah melihatku.

"Mak! Mak!" Anak kecil bernama Nur berteriak riang memanggil-manggil ibunya yang tengah berada di dapur. Dengan suara cemprengnya, bocah itu memberitahukan pada sang ibu, kalau aku pulang menaiki delman. Aku tersenyum melihat kegembiraan bocah lucu itu. Lama tak melihat anak ini, kini terlihat lebih besar dan montok saja.

"Ya Allah, mimpi apa aku semalam, kok pulang mendadak begini, ada apa?" tanya Bi Ras, yang langsung keluar dari dapur. Begitu pula dengan nenekku, yang katanya baru saja keluar dari kamar mandi. Buru-buru keluar setelah mendengar bocah itu memanggil-manggil namaku. Melihat nenek, dadaku bergemuruh. Tak lama kemudian, aku turun dari delman. Pak Kusir menolongku menurunkan semua barang-barang. Tak sabar rasanya, ingin memeluk tubuh Nenek tercinta. Tak kuasa menahan air mata, berderai merayapi pipiku yang bersemu merah.

“Alhamdulillah, sampai di rumah. Saya rindu nenek,” ucapku lirih. Kami berdua berpelukan. Pak Kusir, Bi Ras, dan Nur melihat kami dengan rasa haru. Bahkan Bi Ras jadi ikutan memelukku sambil menangis.

“Kok pulang gak kabar-kabar, In?” kembali Bi Ras bertanya sambil mengesat air mata. Nur memperhatikan ibunya, sambil bibirnya ikut sedikit memble. Mungkin dia ingin menangis, karena melihat kami menangis.

“Gak ada apa-apa kok, Bi. Rindu aja sama kalian semua,” jawabku. Nenek menyekat air mata di pipiku dengan kainnya.

“Ealah, kok ya sehati. Kemarin malam, aku mimpi kejatuhan bulan, lha siangnya manuk prenjak itu ngoceh terus di pohon nangka. Nenek sama adekmu ngrasani, ada tamu siapa, kok manuknya ramai banget,” papar nenekku panjang lebar.

"Lho, Pak Darto to, matur nuwun sudah mengantar cucu saya," sapa nenek saat melihat Pak Kusir. Ah, ternyata mereka berdua saling mengenal. Batinku.

"Iya Mbah Sum, beruntung karena cucumu memanggil delman tua saya tadi. Apa kabar Mbah? Lama gak ketemu ya? Apa sudah gak mau jualan tempe lagi?" tanya Pak Kusir kemudian. Akhirnya kami melanjutkan bincang-bincangnya di ruang tamu.

Pak Kusir kami suguhi air kopi dan biskuit yang aku bawa dari Jakarta. Mungkin, nostalgia tepatnya, karena mereka sudah lama tak pernah bertemu. Beliau menceritakan tentang anak, isteri, dan cucu-cucunya, yang katanya semua tinggal satu rumah. Ramai, makanya beliau harus rajin bekerja. Apalagi kalau musim lebaran tiba, rumahnya seperti orang hajatan. Mendengar ceritanya, dadaku bergolak. Ada rasa haru yang menyeruak ke dalam jiwaku. Iba pada beliau, karena telah tua, namun masih harus menafkahi keluarga besarnya. Beruntung beliau memiliki delman, jika tidak, mungkin akan lebih sengsara.

Tak lama kemudian, beliau berpamitan pulang. Segera aku membayar ongkosnya, sesuai dalam hatiku tadi.

"Lho, kok banyak sekali Nak, ini saja sudah lebih dari cukup," katanya saat aku berikan ongkos dua kali lipat.

"Gak papa Pak, yang ini sengaja saya kasih buat beli makan kuda, dan yang ini buat keluarga Bapak di rumah. Terimalah, Pak," pintaku. Walau sedikit ragu, akhirnya Pak Kusir menerima uang tersebut dengan iringan doa untukku. Kami semua yang mendengar doanya, segera mengaminkan.

Delman pergi meninggalkan halaman rumah. Namun, nasohat lelaki tua itu seolah masih melekat dalam relung hatiku. Terlihat dari raut wajahnya, tampaknya beliau seorang yang jujur, ikhlas dan pekerja keras. Tinggallah aku, Nenek, dan Bi Ras yang sambil menggendong anaknya. Bocah itu terlihat malu-malu di gendongan ibunya. Dia mencuri-curi pandang kearahku.

"Nek, Dewi bagaimana? Apa dia banyak kegiatan di sekolahnya?" tanyaku kemudian.

"Ealah Dik, sekarang Dewi dah jadi penulis. Dia sibuk sekali setiap harinya," seloroh Bi Ras, bersemangat menceritakan kegiatan Dewi.

"Ya, biar saja dia, yang penting sudah nenek nasehati, supaya pandai-pandai jaga diri. Dan yang penting, jangan lupa salat lima waktu," celetuk nenek. Aku menganggguk -angguk, faham maksudnya. Seingatku, Dewi selalu mendengarkan nasehat kami, dia tak mau melakukan sesuatu tanpa persetujuan dari kami. Dia juga tak pernah melepas hijabnya semenjak duduk di bangku SMP.

Ketika teman-teman asyik nongkrong di mall, dia malah asyik menata kata-kata, menjadi sebuah cerita. Ketika anak remaja lainnya tengah bersibuk ria memilih fasionnya, dia hanya berpakaian sederhana. Ya, itulah manusia. Ibaratnya, lain ladang, lain belalang. Lain orang, lain jalan pikirannya. Ah, Dewi! Mbak jadi bangga padamu. Semoga saja apa yang menjadi harapanmu, akan tergapai.

Tak lama kemudian, kupandangi bocah kecil yang sedang makan biskuit oleh-oleh dari Jakarta. Kepala bocah itu timbul tenggelam di ketiak ibunya. Sesekali, matanya mencuri pandang ke arahku. Mungkin karena lama tak melihatku, dia malu dan pangling.

"Sini, Mbak gendong mau gak?" rayuku. Bocah itu semakin menenggelamkan kepalanya, malu-malu. Ups! Tiba-tiba biskuitnya terjatuh dari tangan. Segera aku mengambilnya. Mukanya merah merona, saat tahu makanan itu berada di tanganku. Antara mau dan malu, dia terpaksa mendekat padaku. Si Ibu yang menyuruhnya, agar mengambil biskuit itu sendiri dari tanganku. Setelah bocah itu mendekat, segera kusahut tubuh mungilnya. Seperti ular dapat mangsa, segera kupeluk dan kuciumi pipinya hingga gemas.

Dia meronta, dan berusaha untuk menghindar, dengan meliuk-liuk badannya, lalu merengek-rengek meminta bantuan pada Bi Ras. Sayang, ibunya tak mau menolongnya, bahkan ditinggal berdua denganku, dengan alasan mau melihat dapurnya yang sedang merebus air.

“Dapat kerjaan baru, nih!” ucapku, sambil menggendong bocah itu ke kamar Nenek.

Setengah jam berlalu, Nenek berpamitan untuk pergi ke pasar. Beliau hendak membeli bumbu dapur. Segera aku masuk ke kamar, ambil tas dan mengeluarkan amplop berwarna putih.

"Nek, ini buat beli keperluan dan bumbu dapur yah," ucapku, sembari menyerahkan amplop itu ke tangannya.

"Walah, ndak usah cepat-cepat to, kapan-kapan saja. Kamu rehat saja sana,” ujar nenek. Beliau tahu, aku kecapean semalaman tak tidur di kereta.

"Gak papa Nek, ini sudah menjadi tanggung jawabku," pintaku sambil memaksakan amplop itu ke tangan nenek. Tak lama kemudian, setelah nenek menerima amplop lalu keluar. Kukembalikan Nur pada Bi Ras karena menangis, mencari induknya. Kini, aku di dalam rumah sendirian. 

Rasanya, ada kebahagiaan tersendiri dapat kembali melihat kamarku. Rindu, tak sabar untuk segera merebahkan tubuhku di atas ranjang. Sambil berbaring, kuamati sekeliling ruangan.

Menatap foto itu, tiba-tiba saja, dadaku berdetak kencang. Buliran hangat menyapa kedua pelupuk mataku.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status