Share

Karang bolong

BAB 5 (revisi)

Pantai Karang Bolong

Pagi yang cerah, perlahan terang, bumi kembali disapa sang surya. Lembut cahayanya, selembut hati bidadari-bidadari surga, sungguh angin yang bertiup sepoi, mampu membuatku terlena. Burung-burung kecil yang berkicau riang, seolah tengah berkasidah ria, bertasbihkan lagu-lagu keagungan Sang Khaliq. Aku terpana menatap keindahan Pegunungan Kulon. Dalam hati aku bertasbih, mengikuti burung-burung itu.

"Wah, benar-benar cantik pegunungan itu dari kejauhan ya," puji Dewi, yang juga ikut melongo.

"Karang Bolong! Karang Bolong....!" suara seorang kernet mobil angkot mencoba menawari jasanya. Kami berdua menggelengkan kepala. Sebenarnya sudah dekat, tinggal 10 menit lagi perjalanan sampai, namun aku sengaja ingin menikmati indahnya suasana pagi, dengan berjalan kaki.

"Sebentar lagi musim tandur ya Dik, lihat.” Aku menunjuk sawah yang terhampar luas.

Walau masih terlihat pendek pohon padinya, namun semua sama rata terlihat hijau. Dewi mengangguk. 

Tepat dihadapan kami adalah pesawahan Desa Jladri. Dan di samping kami, adalah daerah pekuburan untuk warga setempat. Kami terus melangkah, menuju suara deburan ombak, membayangkan biru air laut, putih buih yang dingin di kaki.

Tak lama kemudian, kembali aku terpana. Pasir yang kuinjak, adalah halaman pantai yang membentang luas. Ternyata aku telah sampai di dekat pantai. Seketika aku bersujud syukur, dan mencium pasir yang basah.

"Mbak lagi ngapain sih?" tanyanya, heran. "Ih, kayak gak pernah lihat laut saja." Kembali dia bersuara. Aku masih terdiam, sambil menggenggam pasir basah di tangan, tatapanku jauh menerawang menelusuri kejauhan batas laut selatan, sejauh mata memandang

"Mbak, kita duduk di batu besar itu yuk!" pinta Dewi, sambil menunjuk arah bebatuan yang besar. "Dih, capek banget."

Kami berdua melangkah kearah bebatuan tersebut, lalu duduk beristirahat sejenak di atasnya. Matahari mulai menyembul perlahan, cahayanya begitu ranum. 

Langit kemerahan, serta awan-awan tipis berlalu, seolah memberikan tempat pada sang surya, untuk memberikan cahaya pada penghuni bumi. Sungguh pemandangan yang jarang aku saksikan di kota Jakarta.

Dewi mengambil kerikil kecil, lalu melemparkan kerikil itu ke arah anak laut, yang airnya mengalir menuju Sungai Bengawan Solo. 

Dia tersenyum setelah puas melempar batu-batu kecil itu. Namun aku, pura-pura khawatir, dan curiga, kalau-kalau kerikil tadi mengenai kepala ikan di dalam air tersebut. Pastinya sakit.

"Udah, jangan dilempari ikan-ikan itu, ntar dia ngamuk lho." Melihat aku menggerutu Dewi nyengir

"Eh Dik, kamu kenal lelaki itu gak?" jariku menunjuk seorang lelaki yang tengah memarkir sepeda motornya di depan warung makan. "Dia itu kakak kelasku," ucapku kemudian

"Iya, aku pernah melihat dia kok, tapi kayaknya dia tukang ojek deh. Aku sering melihat dia di pertigaan Gombong," jawab Dewi, sambil keningnya berkerut, memastikan penglihatannya dari kejauhan.

"Oh, sekarang dia jadi tukang ojek yah?" tanyaku kemudian.

"Gak salah. Temanku juga pernah naik ojeknya." Jawab Dewi.

Sesaat aku terdiam. Pandanganku kembali pada air laut yang bergelombang. Bergulung-gulung, dan bersahutan. Dalam diam, adikku memperhatikan diamku, dia mengetahui kalau Mbaknya sedang memikirkan sesuatu yang serius. Dan memang, pikiranku sedang teringat mimpi semalam. 

Sambil duduk di batu yang besar dan agak tinggi, tatapanku jauh menelusuri lautan yang berawarna biru. Jauh di ujung lautan, terlihat kecilnya perahu para nelayan. Dan di dekat sini, kerudung kami berdua melambai-lambai, bagai menari-nari diterpa angin laut.

Deru ombak, sama sekali tak membuatku lupa akan mimpiku semalam. Mataku terpejam sesaat, ketika bayangan kedua orang tua kami kembali menari-nari di ujung kelopak mata. Raut wajahku berubah seketika. Itu yang Dewi sadari, katanya.

"Lho, ada apa Mbak, kok jadi serius gitu, ada masalah?” tanyanya. Aku menggeleng pelan. Tersenyum, walau mata mulai terasa hangat, Dewi jadi kikuk di depanku.

"Dik, semalam aku mimpi bertemu sama Ayah dan Ibu," jawabku, dengan suara agak parau. "Mereka berdua berpakain serba putih dan putih bersih, lalu mereka menyuruhku untuk singgah di rumahnya." jelasku padanya. "Kira-kira, kalau menurut pendapatmu, apa maksud dari mimpiku tadi ya, Dik?" Berharap dia bisa menafsirkannya.

"Oh, alangkah beruntungnya Mbak. Aku jarang lho ditemui oleh Ayah, dan ibu dalam mimpi." Jawab Dewi.

"Mungkin mereka rindu dengan kita Mbak, bagaimana kalau nanti kita ziarah ke makamnya," Usul Dewi. Aku mengangguk, setuju. Dia memang faham akan kerinduanku.

"Nanti kita mampir ke pasar pagi untuk beli bunga ya, Mbak," kata Dewi kemudian 

"Iya, Dik. Aku ikut aja."

Tak terasa, sudah satu jam kami duduk-duduk di bebatuan besar. Dia bangun dari bebatuan tersebut. Matanya menatap tajam, beberapa ekor Yingking (Kepiting laut) yang berlari menuju lubangnya masing-masing. 

Dia yang usil, mencoba untuk menangkap hewan lincah tersebut, namun sayang, hewan-hewan kecil itu justru lebih jago berlari daripa dirinya. Nafasnya naik turun, terengah-engah karena berlari-lari mengejar beberapa hewan yang sama. 

Namun sayang, tak satupun Yingking yang tertangkap olehnya. Aku menggeleng kepala, heran dengan tingkahnya, seperti anak kecil. Sambil berlari, dia menjerit-njerit keriangan.

Tak seberapa jauh dari tempatku duduk, terlihat sepasang kekasih tengah duduk berduaan, sambil lengan sang lelaki melingkar di tubuh wanita itu. Aku menghela nafas, dalam hati aku ber-istighfar.

Aku benar-benar takut kalau sampai perbuatan seperti itu terjadi pada diri dan adikku. Segera kualihkan pandanganku kearah lain, rasanya tak enak menatap manusia yang bukan mahramnya berduaan. Sebagai sesame wanita, terus terang aku takut jika hal ini terjadi pada kami berdua, mahluk kecil yang berusaha mencintai perintah Rabbnya, dan ingin menjauhi laranganNya.

Aku masih diam, duduk di atas batu, sambil menatap lautan yang membentang, di temani angin yang membelai-belai jilbabku tiada henti. Dan satu yang tak luput dari ingatanku, yaitu tentang keadaan Mbak Sally.

"Kira-kira sedang apa beliau di sana? Apakah Mas Raihan bisa mengatasi kesulitan untuk mendorong isterinya? Ya Rabb, Semoga saja mereka semua baik-baik saja. 

Aku yakin Mas Raihan dan Mbak Sally  mampu melaksanakan umrahnya kali ini." Fikirku dalam hati. Memang, ini bukan untuk yang pertama kalinya bagi Mas Raihan, namun, ini yang pertama kali beliau berumrah dengan sang isteri. Dan inilah kali pertama Mbak Sally berumrah, setelah penantian panjang dan melelahkannya. 

Perlahan aku mendesah, perasaan rindu mulai menyapaku, walau baru empat hari berpisah. Rindu akan gurau, tawa, dan suaranya.  

"Ya Allah, semoga saja Engkau lindungi mereka semua. Aamin." Doaku dalam hati.

Matahari mulai naik, dan aku masih tetap duduk di bebatuan besar, sambil menatap cerianya. Hingga tak lama kemudian, Dewi memekik memanggilku, dari kejauhan.

"Mbak, sini!" tangannya melambai-lambai, tubuhnya meloncat-loncat kegirangan, membuatku penasaran dengan kelakuannya yang berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.  Dia memang ada-ada saja. Pikirku. Segera kuberlari mendekatinya.

"Mbak...! Lihat, aku dapat Wrutuk" (Hewan laut yang bentuknya unik, dan jika digoreng warna akan berubah kemerahan) Aku terpana melihat hewan kecil yang berwarna kehitaman berada di telapak tangannya. Hewan kecil itu menggeliat seakan hendak meronta dan melepaskan diri dari tangan.

"Lepaskan Dik, kasian" kataku.

"Lho, mau tak bawa pulang Mbak, digoreng," jawabnya enteng.

"Ya kalau banyak sih gak papa Dik, tapi ini khan hanya satu. Cuma seekor, dimakan juga gak rata, memangnya kamu saja yang mau makan. Aku sama nenek gak di 

kasih, gitu? Ah sudahlah, lepaskan dia. Kasian." rayuku lagi. 

Agar melepaskan hewan kecil tersebut. Seperti anak kecil, dia mengelus-elus hewan tersebut, lalu perlahan dia  menuruti nasehatku. Mungkin dengan berat hati, perlahan dia melepas binatang kecil itu.

Aku menatap lega. Hewan laut itu perlahan berjalan, merongrong pasir basah, dan akhirnya lenyap ditelan air laut.

"Kita pulang, Dik."

"Bentar lagi Mbak," jawab Dewi, sambil menggambar tanda hati di pasir, dengan sebuah kayu kering.

"Hayoo, love buat siapa tuh," selidikku, setelah melihat tanda love tergambar cantik di bawah bayangan tubuhku.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status