Share

BUNGA RANDU

BAB 4

Bunga Randu

Adzan subuh berkumandang, menerobos alam mimpi, membangunkanku lewat celah-celah indera pendengaran yang begitu syahdu di telinga. Samar-samar terdengar gemericik air di sumur, dalam hati aku membatin, pasti Nenek sudah bangun. 

Perlahan kubuka ke dua mata. Terasa perih, namun  pikiran mulai menata segala acara, jadi mataku  tak bisa lagi terpejam. Kepala terasa berputar, dan aku belum berani turun dari ranjang.

Krek....! Bunyi leherku, saat aku putar kanan dan kiri.

“Alhamdulillah, mendingan lega. Sekarang perlahan kepalaku sembuh, dan badan terasa nyaman," batinku, langsung  aku bangun dari tempat tidur, dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Mengapa semalam aku bermimpi demikian? Melangkah ke sumur, kudapati nenek sudah selesai mengambil air wudhu.

"Pagi Nek, oya mau salat jamaah atau di rumah saja?"

"Aku mau jama’ah di musala, kaya biasanya, kamu mau ikut gak?" tanya nenek.

"Boleh juga Nek, tunggu sebentar yah, biar aku berwudhu dulu." Tak lama kemudian, Dewi bangun, dia juga mau salat berjamaah. Akhirnya kami bertiga berangkat bersama. Setelah selesai salat, suasana masih terlihat remang-remang, hawa dingin terasa menembus kulit.

"Dik, kita ke gua yuk?" kataku, tiba-tiba aku merasakan rindu pada Gua Karang Bolong, yaitu salah satu obyek pariwisata di daerah kami. Gua tersebut, terletak di Laut Selatan. Tepatnya di Desa Suwuk, Kecamatan Puring, Kebumen.

Di gua tersebut, sangat terkenal dengan sarang Burung Walet-nya. Sesaat Dewi ragu, dia mengernyitkan dahi, mungkin dia takut, karena hari masih gelap.

"Boleh juga Mbak, lagipula ini hari Minggu, aku juga rindu sama Karang Bolong,"  jawabnya. Nenekku melongo, mendengar kami akan ke gua dalam gelap subuh.

"Ya sudah kita pulang dulu, ganti baju, lalu kita bertolak ke sana yah," ucapku bersemangat.

"Oke Boz!" Dewi menjawab, siap. Telapak tangannya dimiringkan ke jidat, tanda hormat. Kami semua tertawa melihat gelagat Dewi yang suka bercanda. Setelah sampai di rumah, aku berganti kaos lengan panjang berwarna biru, dan celana panjang hitam, dipadu dengan kerudung berwarna biru laut.

"Wah Mbakyuku memang cuantik tenan, sudah siap apa belum nih?" ledek Dewi, di depan pintu.

"Sudah Dik, yuk kita jalan sekarang." Jawabku, sambil mengambil dompet, lalu berpamitan pada Nenek.

"Hati-hati, hari masih gelap," nasihatnya,

"Iya Nek, bentar lagi juga terang kok. Jangan khawatir,"  jawab kami, diiringi salam.

"Bismillah...."

Kami berdua melangkah keluar, udara dingin menyambut kami dengan sepoinya. Lama aku menantikan suasana seperti ini, dan baru saat inilah impianku terwujud. 

Dalam remang pagi, kami bergandengan tangan, sambil terus melangkah menuju jalan aspal. Desa kami masih banyak rumpun pohon bambu yang terlihat seram apabila kita melewatinya saat malam. Burung Hantu, sesekali masih berbunyi. Suaranya membuat bulu kuduk kami meremang seketika.

"Dik, kita jalan lho, aku kepengen sekalian berolah raga, jadi kalau nanti ada mobil angkot, kamu jangan berharap naik yah," ucapku, memecah kebisuan.

"Iya deh, terserah Mbak, aku ngikut aja,"  jawab Dewi, sambil mengayun-ayunkan genggaman tangan kami. Tak seberapa jauh, terlihat jalan aspal dengan lampu-lampu jalannya yang lumayan terang.

Tak terasa, perjalan sudah agak jauh, jalanan pun sudah mulai terlihat agak terang oleh pagi yang cerah. Kami terus berjalan melewati Balai Desa, sekolahan kami, sekolahan desa tetangga kami, dan akhirnya, surya pagi menyambut dengan cerahnya.

Selama daam perjalanan, kami selalu bertukar cerita tentang banyak  hal.  Adikku seolah tak pernah kehabisan cerita untuk diceritakan. Senang memiliki adik sepertinya, yang selalu terlihat ceria

"Mbak masih ingat gak, dulu waktu zaman kita masih sekolah, kalau bulan ramadhan, pasti akan ada kegiatan tambahan, yaitu kegiatan ramadhan. Nah kita musti mendapatkan tanda tangan seorang iman dalam setiap salat," ucap Dewi, mengingatkan masa lalu kami. Aku termenung sesaat, mengingat masa-masa itu.

Seingatku dulu, kalau tiba bulan puasa, Pak Ustadz Kinun pasti akan menjadi orang yang super sibuk, kaya artis. Abisnya dia selalu dikerubuti anak-anak sekolah, untuk dimintai tanda tangannya” ucapnya lagi.

Aku tersenyum mengingat itu, dan salah satu diantara peminta tangannya, adalah aku. Dan yang lainnya, adalah para murid-murid SD, yang mengikuti setiap salatnya. Terutama pada waktu subuh.

"Nah, kalau hari Minggu kita pasti akan beramai-ramai main ke laut, ingat gak Mbak?" tanya Dewi

"Ya pasti ingatlah Dik, wong aku yang disuruh bawa obornya," (Lampu penerang) jawabku kemudian. Terus terang, mengingat masa kanak-kanak memang banyak keindahan tersendiri. Seingatku pula, jika musim bunga Pohon Randu (Kapas) tiba, kami akan beramai-ramai membuat mainan obor ala Bunga Randu.

Caranya, Bunga Randu yang sudah jatuh, dikumpulkan. Bunga tersebut, dipilih yang memiliki tangkai yang lumayan panjang dan kuncup yang dalam. Nah, setelah bunga tersebut terkumpul lumayan banyak, kuncupnya ditaruh sedikit kapas dan minyak tanah, lalu kapas tersebut kita sulut dengan api.

Jadilah lampu-lampu mungil yang menyinari malam atau menyinari subuh kami, sewaktu kami hendak pergi ke laut. Ya, mainan yang bermanfaat, dan inisiatif yang lumayan cerdas dari anak-anak kampung.

Sebenarnya, lampu mungil tersebut tak bertahan lama, namun kami akan membawa cadangan yang cukup banyak,  jika lampu yang di tangan akan mati, kami akan membuangnya, lalu menggantikan lampu yang baru.

"Wah, memang kenang-kenangan yang indah ya, Dik. Sesampainya di laut, ada saja yang mereka perbuat. Ada yang nyari Yingking (Kepiting laut), berenang sampai puas, nulis atau melukis di pasir yang basah, dan yang paling kusuka yaitu, kita bisa menjerit-njerit sesuka hati. Nanti aku juga mau njerit Dik, kaya zaman kanak-kanak dulu kalau sudah sampai. Aneh ya, padahal jarak antara rumah dengan laut kan kira-kira 7 KM, tapi kita semua gak merasa kecapaian walau jalan kaki," paparku bersemangat.

Dewi manggut-manggut, mengingat zaman sekolah dulu, apalagi di kampung kami belum ada listrik waktu itu. Sepulang dari laut, kami akan menonton acara Album Minggu Kita di TVRI, itu pun jauh. Dan yang memiliki TV waktu itu hanya seorang saja di kampung. TV-nya masih hitam putih, dan memakai ACCU. Tayangannya juga masih lagu-lagu dangdut, seperti lagu-lagunya Pak Rhoma Irama, dan Elvi Sukaesih, waktu jaman popular-populernya dulu.

Film yang paling digemari oleh kami apabila hari Sabtu malam Minggu, adalah film yang diperankan oleh artis kawakan tanah air, yaitu Mbak Dewi Yull. Yaitu film yang berjudul 'Dewi Kartika' seingatku, dari para ibu-ibu sampai anak-anak pasti akan ikut menangis tersedu-sedu kalau melihat kesedihan yang Dewi Yull alami. Soalnya dalam cerita itu, Dewi Yull yang berperan sebagai anak pupon atau anak angkat, ternyata baru mengetahui ayah ibunya setelah dia sudah besar, dan menjadi seorang doktor.

Apalagi saat Dewi Kartika, tak sengaja mengobati ayah kandungnya di kampung, dia tidak tahu kalau yang tengah dia obati adalah ayah kandungnya sendiri.  Pokoknya sedih banget cerita itu, mampu menguras air mata kami semua.

Berbeda dengan film-film zaman sekarang, kebanyakkan artisnya hanya mempertontonkan badan sexy-nya saja, namun acting tak seberapa pintar. Bahkan kadang filmnya tak bermutu sama sekali.

"Eh, ada satu lagi, hal yang aku suka kalau nonton film Dewi Kartika," ucapku, memancing penasaran adikku.

"Apaan Mbak?" tanya Dewi penasaran.

"Orang-orang akan meledek Bi Narti, karena beliau selalu siap handuk besar buat mengelap airmata. Ingat gak?"

"Iya yah Mbak, jadi ingat sama Bi Narti. Padahal beliau sudah 3 bulan yang lalu dipanggil sama Yang Khaliq," ucap adikku.

"Inna lillahi wainna illaihi rojiun." seketika aku berucap istirja.

"Kenapa Dik, apa beliau sakit?"

"Iya Mbak, beliau mengidap sakit kanker rahim. Ya, semua sudah ada yang mengatur kan Mbak. Bi Nar yang cantik dan dulunya jadi rebutan pemuda, ternyata harus pulang ke Rahmatullah duluan." Dewi berucap, sedih mendengarkan kabarnya.

Aku mendesah, perlahan aku jadi teringat Mbak Sally. Apa kabar dia?

**

BERSAMBUNG!

Konflik berada di tengahnya guys....sabar, bantu like dan subscribe ya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status