Share

Kecelakaan telah merenggut ayahku

Bab 6

Kecelakaan Merenggut ayahku

Empat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis.

"Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek.

"Kok gak ada kamu Dik," tanyaku.

"Mbak, bunga ini ada dalam hatiku,"  jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.

Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri  masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.

Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usia Dewi belum genap satu tahun. Kami akan mengantar ayah ke Stasiun Gombong, untuk bekerja di Kota Kembang, Bandung. Ayahku adalah seorang pegawai pabrik sepatu di Cibaduyut waktu itu. Di atas delman, kami masih bercengkerama, aku ingat ayah waktu itu dipipisin oleh Dewi, sehingga celana panjangnya basah.

Ayah dan ibu tertawa, namun Dewi justru menangis. Mungkin dia merasa tak nyaman dengan keadaannya yang basah, atau takut karena telah membuat basah celana orang tua. Aku tak tahu, mengapa bocah itu menangis.

"Walah-walah Nduk, bapak disangoni sayur bayam yah." (Duh, anakku, ayah dikasih sayur bening, yah) gurau ayah, sambil membuka celana Dewi, untuk diganti dengan celana yang kering.

Aku melihat ayah begitu sayang pada kami. Beliau tidak marah pada Dewi yang sudah membuat bau pesing dan basah celana panjangnya, malah ayah tertawa riang.

Itulah moment terakhir kami. Di delman, di gedung stasiun Gombong, dan saat ayahku menaiki gerbong kereta, kami melambai-lambaikan tangan tanda perpisahan. Dan tanpa kami ketahui, saat itulah, lambaian tangan perpisahan untuk selamanya dari kami, untuk ayahku tercinta. Karena empat jam setelah itu, saat kami semua telah kembali ke rumah, saat kami tengah tertawa, bercanda, berkumpul bersama orang-orang dan tetangga, saat kami melihat Dewi belajar berjalan, seorang tetangga kami membawa kabar, bahwa telah terjadi kecelakaan kereta api jurusan Bandung.

Melalui radio, ibu mendengarkan siaran langsung tersebut. Beliau menjerit saat seorang penyiar radio menyebut nama-nama korban yang meninggal dunia. Dan nama ayahku, adalah salah satunya. Beliau tak sadarkan diri sampai lama. Tetangga ribut, nenek kalut, aku risau di sebelah tubuh ibu yang tergeletak lemah tak berdaya.

"Mbak, kita pulang sekarang?" seketika aku terperanjat, suara Dewi membuyarkan lamunanku. Kucoba menyeka airmata yang menitik di pipi. Dia menatapku aneh, mungkin heran, melihatku menangis. Di pundaknya, aku terisak pelan. Dia menepuk-nepuk bahuku, saling menguatkan.

Tak lama kemudian, kami berjalan menyusuri air laut, dan membiarkan air asin itu menjilat-njilat kaki telanjang kami, sambil bergandengan, namun saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sinar mentarinya begitu hangat, sehangat kasih kasih sayang kami berdua. Walau orangtua kami telah tiada, namun Allah Maha Adil, Ia menjaga nenekku, demi berlangsungnya kehidupan kami. Maka kami sangat bersyukur padaNya. Kami akan berusaha untuk menjaga nenek, seperti dahulu sewaktu kami masih kecil-kecil.

"Jangan lupa, nanti beli bunga ya, Mbak," ucap Dewi mengingatkan.

"Iya Dik. Kita pulang sekarang?" tanyaku.

"Iya Mbak."

Kedua pasangan itu, mereka masih di sana, bahkan berdatangan yang lainnya, bersama-sama pasangannya juga. Padahal banyak di antara mereka yang masih kecil. Namun mengapa pula mereka sudah berani berpegangan tangan. Astaghfirullah.!

Batu-batu besar itu, seolah melambai-lambai mengucap perpisahan pada kami. Kembali kupakai sandal, karena pasir mulai panas. Dan dari warung makan, aku mendengar suara orang bersuit-suit pada kami berdua.

"In, apa kabar?" seorang lelaki, menyapaku. Seketika aku menoleh.

"Baik, Mas. Terima kasih." jawabku.

Kamu lupa sama aku yah kembali lelaki itu berkata. Lalu dia keluar dari warung itu, dan berjalan kearah kami. Akhirnya, terpaksa kami berbincang sesaat. Setelah itu kami beranjak pulang dengan menaiki mobil berwarna kuning, jurusan Petanahan. Di dalam mobil belum ada satu orangpun penumpang, kami memilih duduk di depan.

Tak lama kemudian, datang para penumpang yang lainnya, sehingga mobilpun penuh. Perlahan, sopir mengendarai mobil angkut tersebut. Untuk yang terakhir kalinya aku menatap pegunungan yang hujau itu. Dalam hati aku berkata, terima kasih ya Allah, hari ini aku telah menatap indahnya laut serta pegunungan-Mu.

"Petanahan...! Petanahan....!”

Suara cemeng sang kernet, memanggil-manggil penumpang yang menanti di pinggir jalan. Tak lama kemudian, aku mengeluarkan uang dari dompet. Kami akan berhenti di pasar pagi, sebentar lagi.

"Kiri...!" seruku, pada sang sopir. Tepat di depan pasar pagi, kami berdua menuruni mobil angkot tersebut. Kusodorkan ongkos kami berdua pada sang kernet, lalu kami melangkah menuju ke dalam pasar.

Langkah kaki langsung tertuju pada seorang wanita penjual kembang yang masih tetangga dekat kami.

"Mak, mau beli kembang buat ziarah kubur." ucapku pada wanita itu. Aku telah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mak, itu karena rumah kami sangat dekat. Kami bertetangga dengan beliau. Wanita separo baya itu dengan cepat membungkuskan kembang yang aku maksud. Dewi mengekor di belakangku

"Kapan kamu pulang In" tanya Mak padaku.

"Kemarin pagi Mak" jawabku. Kami sempat berbincang sesaat, lalu setelah semua kembang siap, lekas-lekas aku membayarnya.

"Onde-ondene Cah Ayu. Mampir sini, dulu nenekmu suka beli apem sama aku," ucap Mbok Tar, penjual jajanan pasar.

"Bagaimana kabar nenek Cah Ayu,....eh kamu baru pulang to, pantesan gak pernah ngliat kamu. Wah udah tambah cantik saja cucune Mbah Sum yah Yu Kar." Kini Mbok Tar berbicara dengan Mbok Sanem, penjual tempe di sebelahnya. Aku masih diam menatapnya sambil tersenyum. Kemudian menjawab semua satu-persatu pertanyaan  yang terlontar padaku.

"Mbak, ada bawa uang lebih gak?" tanya Dewi malu-malu. Aku tersenyum menatapnya sambil merogoh dompet di saku celana panjang.

"Ada, kamu mau beli apa?" jawabku, sambil menyerahkan uang selembaran 100 ribuan.

"Aku mau masak yang special buat Mbak"  jawabnya. Dia menuju ke utara, yaitu di tempat-tempat membeli daging, ayam atau juga ikan. Kembali aku menatap onde-onde di depanku.

"Onde-ondenya lima ribu Mbok, yang lainnya campur-campur lima ribu juga yah," kataku pada Mbok Tar. Tak lama kemudian aku berjalan menghampiri Dewi yang tengah memilih-milih ikan. Dia tampak senang, sambil memilih, dia menawar-nawar harganya dengan ramah. Aku menggeleng mendengar dia lincah menawar, merayu pedagang tepatnya.

Sayur, ayam, jajan, ikan, dan kembang, semua sudah di tangan, kami pun bergegas pulang. Kembali kami menyetop mobil angkot berwarna kuning. Di dalam mobil dia bersemangat menceritakan tentang masakan yang akan di masaknya jika tiba di rumah nanti.

"Iya deh. Yang penting jangan keasinan aja. Masakan apa saja Mbak suka kok, apa lagi yang mau masak, kan Dinda tercinta." Jawabku, sambil mencubit hidungnya yang agak mancung dariku. Dia mengaduh, namun tampak dia merona, mungkin dia benar-benar bahagia. Karena kami jarang bertemu, terakhir kami bertemu enam bulan yang lalu, sewaktu Mbak Sally menyuruh mereka datang ke Jakarta.

Kiri....!

Pekik Dewi pada sang kernet, kami turun dan segera membayar ongkosnya.

"Wah, Dik Iin, kapan pulang?" tanya salah satu tetangga kami. Kebetulan dia sedang mencari daun melinjo muda di pekarangan, untuk disayur.

"Semalam Yu, apa kabar keluarga?" kami bersalaman, saling bertanya kabar. Dia seorang petani, yang nyambil membuat gula jawa. Suaminya sangat rajin mengambil air nira. Tak lama kemudian, kami kembali berjalan, kali ini tinggal melewati empat rumah untuk sampai ke rumahku

"Mbak, kita jalan melalui belakang rumah saja yah"

Kenapa?" tanyaku heran.

Penasaran kan? Lanjutkan membaca ya

Komen (1)
goodnovel comment avatar
R-na Er Baadii
ga seru kebanyakan crta diawal sblm ngena ke judul ya udh kena koin.. huufttt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status