“Duh, pikirannya. Kenapa kamu memikirkan sampai ke sana, sih? Jangan-jangan kamu itu maunya kalau kita memang bersentuhan?”“Ish! Najis! Aku tidak pernah memikirkan itu! Aku sedang waspada padamu. Kamu itu licik dan bisa menggunakan segala cara untuk mendapatkan keinginanmu. Sudah ya, aku malas berbicara denganmu.”Seperti biasa, Inka yang akan terlebih dahulu menutup panggilan dari Candra. Informasi yang bagus ini disimpan Inka. Ia akan memberi kejutan pada Sasha saat ia kembali bekerja. Itu akan menjadi saat-saat yang paling menyenangkan.“Aish, kenapa aku jadi bersemangat seperti ini? Bagaimana keadaan kantor, bagaimana meja kerjaku? Jangan-jangan ada yang sudah mengisinya. Duh, menunggu beberapa hari lagi sudah membuatku gelisah! Aku tidak sabar!”Tanpa disadarinya, seseorang sedari tadi menguping di sana. Wanita berambut putih itu cekikikan saat melihat bagaimana Inka berekspresi. Dan saat itulah, Inka menjadi sedikit malu.“Nenek! Sejak kapan di sana?”“Sejak seseorang menelpon
“Rani, berhentiah untuk memaksaku pergi ke pernikahannya.” Giselle mulai serius dengan ucapannya. “Bahkan jika diusir pun dari keluarga itu, aku sudah siap. Ibuku juga tidak akan merasa rugi dengan kepergianku. Pokoknya, aku tidak akan datang ke pernikahan itu.”“Ayolah. Ini hanya perkara kecil. Aku akan menemanimu di sana jadi jangan khawatirkan apa pun, oke?” bujuknya sangat halus.“Aku sudah malas untuk melihat wajah-wajah mereka. Entahlah. Mungkin lebih baik jika aku memang tak pernah masuk ke dalam kehidupan Candra.” Jika waktu bisa diputar, Giselle akan memilih jalan ini.“Kalian adalah saudara sekarang. Perusahaan ayah kalian pasti akan diwariskan. Apa kamu tidak tertarik untuk merebutnya?” Ini topik lain yang menarik untuk dibahas Rani.Giselle menatap tajam Rani. Pikiran temannya itu sama persis dengan ibunya. Mengapa semua orang di dunia ini sangat menginginkan posisi nyaman dengan mudah? Perusahaan itu jelas akan menjadi milik Candra dan Giselle tahu diri soal itu. Satu kal
Rehan memilih untuk diam. Sekarang posisinya adalah karyawan. Candra betul-betul sudah menunjukkan kekuasaannya. Lagipula, sisi dewasa Rehan sedang ia tunjukkan. Tidak benar jika ia membawa masalah pribadi ke kantor. “Baik, Pak.” Jawaban pria itu menjadi manis. “Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya Anda membersihkan diri dulu. Saya akan menyiapkan perlengkapan mandi dan pakaian ganti. Bagaimana?” Sikap profesional itu membuat amarah Candra mereda. Yang dikatakan Rehan ada benarnya. Sore nanti mereka ada rapat penting. Dibandingkan pulang ke rumah, lebih baik memanfaatkan kinerja Rehan. Untuk apa merektrut karyawan jika tidak bisa diandalkan. Tuk tuk tuk! “Masuk!” Diana masuk ke ruangan itu. Dipandanginyalah dua pria tampan di sana—dengan catatan, salah satu dari mereka emosian. “Bapak memanggil saya?” “Hm. Diana, aku senang dengan kinerjamu selama ini. Untuk itu, aku memintamu untuk menggantikan Giselle. Kamu juga tahu sendiri bagaimana Giselle membantuku mengurus perusahaan ini
Tuk tuk tuk!“Aku sudah kembali—”“Bagus sekali caramu, Rehan! Kamu meninggalkan kantor lebih dari perkiraan.”“Maaf.”Tidak memakai alasan dan mengambil kesempatan ini untuk meredakan amarah Candra. Pada akhirnya, itu adalah satu-satunya cara yang bisa menyelamatkannya. Membalas kata-kata pria di sana pun hanya akan membuatnya dimaki-maki nantinya.“Sudahlah, sini kemarikan yang aku perintahkan. Gerah sekali tubuhku.”Rehan menyerahkan perlengkapan mandi dan pakaian ganti. Ia lalu tersenyum nakal pada sepupunya itu.“Hm … apa perlu aku menggosok badanmu itu? Uhuy!” godanya.“Tai! Pergi sana! Jangan membuatku naik darah kembali setelah berusaha menahan emosiku!”“Padahal sudah emosi saat ini,” tanggap Rehan kecil lalu segera kembali ke meja kerja.Dicarinya kesempatan lain untuk memenangkan proyek. Selama belum ada penandatangan, Rehan masih sangat yakin bisa mendapatkan kesempatan bertemu dengan presdir perusahaan lain itu.“Dia ini terlalu banyak musuh sampai susah untuk dikendalika
Keduanya masuk ke dalam mobil. Ia bersedia untuk memasukan kunci dan memanaskan mesin sebentar. Tidak lengkap rasanya jika tidak mengobrol sepanjang perjalanan. Rehan tidak mau kehilangan kesempatan dan ia terus mengajak Inka untuk bercerita.“Mau tahu kenapa Candra menyuruhku mengantarmu padahal dia juga masih luang?”“Tadi dia sudah menjawab demi keselamatanku.”“Ow, ow, ow! Bukan. Dia pasti tidak mau berbagi makanan enak.”Inka menahan tawa kali ini. Tebakannya adalah Rehan sedang mengungkit soal kepiting saos tiram yang dibawanya ke kantor. Saat dilihat pria itu bagaimana wajah Inka yang menahan tawa, ia langsung mencubit pipi Inka.“Berhenti meledekku. Sumpah, ini bukan candaan! Aku bisa bertaruh kalau Candra memang mau memakannya sendiri. Pelan-pelan kamu akan tahu bagaimana sifat asli calon suamimu itu. Dia serakah pada makanan.”Semakin banyak yang diucapkan, semakin Inka tidak percaya. Sangat tidak mungkin jika seorang Candra tidak mampu membeli kepiting. Jika memang ia mau m
“Jangan macam-macam kau! Kenapa aku harus menyerahkan Inka padamu?” Bukan lagi hanya sekadar ancaman. Pada kenyataannya, Candra sangat waspada. “Inka akan aku awasi lebih dari sebelumnya.”Rehan sangat suka dengan permainan ini. Melihat sang sepupu kesal atau bahkan merana adalah terindah baginya. Pembalasan dendam tentang kejadian di masa lalu harus dibayarkan.“Kamu tidak lupa ‘kan dengan gadis bernama Cintia. Karena kamu, ia gantung diri.” Luka lama yang dipendam kembali ditorehkan.Air muka Candra langsung berubah. Mendengar nama itu saja membuatnya sesak. “Kenapa membahas gadis itu? Semua sudah berlalu dan aku sama sekali tidak bersalah!”“Cih! Uang dan kedudukanmulah yang menyelamatkanmu. Jika saja kamu miskin, kaupikir bisa lari dari tanggungjawab?”“Diam!” Amarah pria itu terus meluap. “Keluar dari ruanganku!”Kenangan buruk yang masih terus membayangi Candra. Bukan keinginannya jika gadis itu mengakhiri hidupnya. Tidak ada yang tahu jika gadis itu sangat kehilangan setelah le
Inka, ini aku. Aku ingin mengatakan ini padamu tetapi tidak enak hati. Jika kamu benar-benar mencintai Candra, kamu pasti tidak akan keberatan tentang masa lalunya, ‘kan? Temui aku besok jam 7 di café POI. Ada banyak hal yang perlu kuceritakan padamu. Inka menatap terus pesan yang diterimanya. Terlalu penasaran dibuatnya segala tulisan yang ada di sana. ‘Kenapa ingin bertemu? Apa aku harus menemuinya?’Inka tak ingin memikirkannya sendiri. Ia langsung menghubungi sang pengirim pesan itu. Sayangnya, berkali-kali pun telah dilakukan panggilan, tidak ada tanggapan. Semua ini harus berhadapan—muka bertemu muka. Ya, Inka sadar itu akan menjadi pertemuan yang sangat serius.Ia lalu meminta saran dari seseorang. Ayah? Tidak mungkin. Nenek? Terlebih lagi. Hanya Sasha satu-satunya yang paling tepat sebagai tempat untuk berbagi.“Bagaimana, Sha? Apa perlu aku menemuinya?” Tanpa basa-basi, ia langsung pada inti permasalahan. “Sejujurnya aku malas. Untuk apa membahas masa lalu Candra?”“Temui
Tidak ada pilihan lain. Posisi Rehan sedang tidak menguntungkan. Ia harus memikirkan cara lainnya untuk menghancurkan pernikahan Candra. Kehilangan gadis yang dicintainya sejak SMA sudah menggelapkan mata. Giselle direbutnya dari tangan Candra. Sekarang Inka pun akan menjadi sasaran berikutnya.“Rehan, kita ini masih keluarga. Apa kamu masih ingin membalaskan yang terjadi sepuluh tahun lalu?”“Aku bahkan tidak peduli lagi dengan itu.” Rehan sedang berbohong. “Ayo pikirkan bagaimana dengan proyek lain. Aku tak suka kita kalah dengan perusahaan lain. Apa-apaan ini? Kedatanganku di PT. Luxing seakan tidak ada gunanya.” Ia mengalihkan pembicaraan.“Tiga hari lagi pernikahanku. Bolehlah kita santai sejenak. Aku juga muak harus bekerja terus.” Pria itu meregangkan badan lalu bangkit berdiri dari kursi.“Tak sabar dengan malam pertama?” godanya.“Mulutmu perlu di-filter. Bereskan barang-barangmu dan ayo pulang. Aku ingin beristirahat.” Candra berusaha tidak menghiraukan balasan Rehan.“Ayola