Share

Bab 3. Cinta Masa Lalu

Ruangan itu terlihat sunyi. Bukan berarti tidak ada orang di sana. Tentu saja Candra, sang bos masih berada di ruangan itu. Tumpukan dokumen yang belum selesai sampai menjelang sore ini sudah cukup membuatnya semakin sakit kepala.

Candra sedang menyandarkan kepala. Beberapa kali terlihat ia memijat-mijat dahinya. Saat pintu terbuka, pria itu langsung melihat ke arah Inka dan Giselle sang sekretaris.

“Sekarang apa lagi? Pergilah, aku tidak sedang ingin berbicara.”

“Hei, selesaikan dulu apa yang sudah kamu buat.” Giselle langsung membalas tanpa ragu. Ia datang bersama Inka.

Candra menatap sang sekretarisnya tidak senang. Gadis itu sama sekali tidak bisa mengerti bila saat ini ia sedang ingin sendirian saja tanpa gangguan. Saat wajah Inka tertangkap dalam pandangannya, ia sedikit merasa senang.

“Oh, soal itu. Nanti saja kita bicarakan. Dan … kamu tak perlu khawatir soal perjanjian itu. Kembalilah bekerja. Aku tidak ada waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting di kantor. Untuk apa juga aku menyibukan diri tentang itu.”

Perasaan Inka semakin bercampur aduk. Jika benar seperti ini, apakah itu artinya posisinya kembali aman saja? Bagaimana dengan ajakan nikah? Apa itu juga berarti dibatalkan begitu saja?

“Nah, kamu sudah dengar sendiri, ‘kan? Tidak ada yang akan memecatmu jadi tak usalah kamu risau, oke?” Giselle menuturkan sekali lagi.

Ada satu senyum yang langsung terajut ketika mendengar ucapan Giselle.

“Saya permisi kembali ke ruangan, Pak.” Inka berpamitan. Jika biasanya ia akan galau setiap kali meninggalkan ruangan sang presdir, maka kali ini tidak. Perasaan senang yang tak bisa lagi dipendam harus diceritakan. “Sha, ini adalah hari yang menyenangkan. Ah, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega.”

“Ha? Bagaimana?”

“Iya. Aku meski awalnya kejadian ini membingungkan dan membuat sakit kepala, aku bisa bernapas lega sekarang.”

“Eh? Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Inka? Tak bisakah kamu langsung mengatakan inti ceritamu?”

“Nanti ya.” Bagaimana pun, semua ini belum boleh diketahui orang lain.

Tidak dipecat hari ini belum tentu besok akan aman. Bisa jadi, karena adanya Giselle, Pak Candra sedikit bersikap baik padanya.

Sementara itu di ruangan sang presdir, Giselle masih perlu tahu alasan di balik semua keinginan Candra yang sama sekali tidak masuk akal. Ada apa sebenarnya?

Heels merah pemberian Candra yang dikenakannya berbunyi merdu saat melangkah. Gadis itu juga duduk menyilangkan kaki dengan tangan di depan dada lalu berkata, “Oi, Candra, bisakah kamu tidak membuat hal yang tidak perlu? Kasihan gadis itu. Kamu tahu, aku sampai melihatnya galau di lantai paling atas.”

“Memangnya apa yang aku lakukan?” balas Candra santai. “Jangan menambah beban pikiranku. Bukankah semua ini hanyalah hal yang biasa?” balas Candra sangat santai. Matanya kembali fokus pada dokumen yang sedang dibacanya dengan serius.

“Astaga! Mana boleh kamu berkata seperti itu. Mungkin bagimu kehilangan pekerjaan bukan ancaman. Kamu sudah lihat CV gadis itu? Ia berasal dari tempat yang jauh dan memilih tinggal seorang diri di sini.”

“Hei, itu bukan urusan kita, Giselle. Kamu terlalu baik pada pegawai. Mungkin karena itulah beberapa dari mereka bahkan tidak sopan. Lihatlah bagaimana Diana bekerja—”

Satu alis Giselle naik. Ia sama sekali tidak senang dengan tanggapan Candra. Tidak ada satu pun yang boleh membandingkannya dengan orang lain.

“Apa ini? Mengapa kamu membandingkan aku dengan Diana? Uh, sangat tidak menyenangkan!”

“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Ia terlihat berwibawa. Semua yang melihatnya langsung tidak bergeming.”

“Haha! Itu bukanlah karena rasa hormat. Aku tahu apa yang dirasakan oleh para pegawai itu. Percaya padaku, di belakang Diana, mereka menggosipkannya habis-habisan.”

“Mungkin.” Satu balasan singkat sebelum akhirnya sang presdir mengajak sang sekretaris untuk makan siang bersama.

Restoran Lazira menjadi tempat tujuan mereka. Bukan kali pertama atau kedua mereka mengunjungi tempat ini. Sejak masih berkencan, tempat ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi. Tak ayal, Giselle menjadi heran dengan Candra.

“Apakah jika selalu seperti ini kamu akan susah move on dariku? Bagaimanapun, aku adalah mantan terindahmu, bukan?” Giselle sudah mulai dengan ucapannya.

“Jangan percaya diri seperti itu. Justru karena aku sudah terbiasa denganmu, aku masih mau begini. Aku bahkan sudah lupa jika kita pernah berkencan.”

“Uh, aku merasa pedih mendengarnya. Sejak awal memang hubungan itu tidak layak dilanjutkan. Seorang Candra dan Giselle hanya akan menjadi teman abadi, selamanya.”

“Sampai aku memiliki kekasih. Kamu tidak mungkin terus berdekatan denganku. Ada perasaan yang harus aku jaga.”

Well, katakan saja jika saat itu tiba. Aku dengan senang hati mengirimkan surat pengunduran diriku di depan matamu.”

“Jika memang seperti itu yang kamu inginkan, kamu sudah bisa mulai bersiap.”

Keduanya saling bertatapan. Terlihat manis tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Giselle adalah mantan kekasih sang presdir. Keduanya menjalin kasih saat di bangku kuliah. Pendidikan yang sepadan menjadikan keduanya bisa memahami satu sama lain.

Namun, pada akhirnya Giselle tidak bisa melanjutkan hubungan itu. Siapa yang menyangka jika mereka masih merupakan keluarga dekat? Semua ini karena ayah Candra yang ternyata memiliki simpanan secara diam-diam. Simpanan ayah Candra adalah ibu Sasha. Sungguh, sebuah hubungan yang rumit.

“Jangan menatapku seperti itu. Siapa yang menyangka jika pak tua itu masih saja membuat masalah. Kita menjadi saudara tiri karenanya. Mau memaksakan kehendakpun, aku tahu kamu tidak akan mau berada di pihakku,” sindir Candra. “Harta warisan ayah terlalu menggiurkan, bukan?”

“Jika saja aku tak mengingat kebaikanmu dulu, mungkin aku sudah menamparmu sedari tadi. Well, mari hidup berbahagia sebagai saudara. Lagipula, tempat tinggal kita berbeda. Setidaknya, perlahan rasa cinta ini mulai memudar. Bukankah kamu juga yang menginginkannya enyah terlebih dulu?”

“Masih marah soal itu?”

“Aku hanya tidak menyangka bila kamu bisa memaki sampai seperti itu. Pada saat itu, aku pun tidak tahu tentang pria yang selama ini disembunyikan Mama. Lalu, kamu datang dan menudhku yang bukan-bukan.”

“Dua tamparan cukup, ‘kan?”

“Aku masih ingin melakukannya lagi.”

Makan siang berakhir manis. Mengingat bagaimana kehidupan yang lalu bukanlah hal yang penting. Pada kenyataannya, tidak ada yang akan berubah.

“Kuantar pulang kantor nanti, ya?” tawar Candra.

“Untuk apa? Aku bawa mobil sendiri. Lupa?”

“Aku mau mengunjungi Ibumu.”

“Hahaha! Jangan memulai lagi, Candra. Kami sudah hidup tenang meski masih di bawah bayang-bayang ‘Nyonya Besar’ itu.”

“Ibuku juga terluka tentang ini.”

“Aku tahu.”

“Lupakan tentang semua ini. Sekarang adalah bagaimana kita menjalani hidup dengan sebaik mungkin. Betewe, aku sangat tak suka saat kamu mulai dengan aksimu lagi. Kali ini saja, Candra.”

“Oh, aku takut sekali! Tidak ada yang bisa memerintahku, Giselle. Itu juga berlaku bagimu.”

Giselle memilih untuk tidak membalas dan menuju mobilnya. Candra tidak begitu menanggapi kepergian gadis itu. Ada hal lain yang lebih penting untuk disiapkannya. Ia merogoh ponsel dari kantong celana dan mulai menghubungi seseorang.

“Pastikan semua sudah siap. Tempat itu harus nyaman untuk seorang gadis.”

“Baik, Pak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status