Share

Bab 4. Tidak Ada yang Mudah di Dunia Ini

Tadinya, Inka sudah menyangka bila kehidupannya kembali normal. Namun, kedatangan Diana dengan wajah datarnya sama sekali tidak menyenangkan. Belum lagi, berita yang dibawanya. Mengapa setiap kali Diana datang pasti membawa berita nelangsa?

“Pak Presdir memanggilmu untuk ke ruangan beliau nanti sore sebelum pulang kerja. Pastikan kamu datang ke sana.”

Shasha juga ada di sana dan mendengar perintah itu. Sekarang ia bisa mengerti mengapa Inka begitu gelisah saat mendengar kedatangan Diana. Sungguh, bagai burung elang bermata tajam sedang mengincar mangsa yang lemah.

Sore itu datang sangat cepat. Kalau bisa menunda, sudah pasti Inka sangat ingin membuat waktu membeku.

Tuk tuk tuk!

“Masuk.” Singkat, padat dan jelas. Itulah bagaimana Candra memerintahkan Inka.

Ritme tak beraturan terasa pada jantung Inka. Ini lebih menyeramkan daripada masuk ke dalam rumah hantu. Ya, mungkin perumpamaan ini sedikit berlebihan.

“Pak, maaf … adakah yang bisa saya bantu?”

“Duduklah terlebih dulu barulah kita bicarakan tentang duduk permasalahannya.” Wajah sang presdir—Candra masih terlihat datar. Ia masih sibuk sesekali melihat-lihat beberapa berkas di depannya.

Ada sekitar 30 menit tanpa satu kata pun. Inka mulai gelisah berada di ruangan ini—hanya berduaan saja. Maksud dan tujuan dari sang presdir belum diketahui sama sekali. Tidak ada petunjuk sedikit pun tentang ini. Well, kalau bisa berteriak, tentu saja Inka sudah ingin melakukannya.

“Maaf, Pak. Apa boleh saya tahu kira-kira hal apa yang perlu saya lakukan?” Inka memberanikan diri. Matanya menatap sang presdir singkat lalu segera memalingkan padangannya.

“Tunggu sebentar. Tenang saja, setelah ini aku akan mengantarkanmu pulang.”

Gadis berponi itu kehilangan kata-kata. Apa pula maksud dari semua ini? Mengapa sang presdir mau mengantarnya pulang? Apa ini kompensasi karena sudah mengambil waktunya? Bahkan jauh lebih baik bila ia tak pulang bersama. Itu hanya akan membuat canggung. Sungguh, bagaimana cara Inka agar lepas dari situasi ini?

“Ti-tidak perlu, Pak,” tolaknya sangat halus. “Saya bisa naik—”

“Siapa yang menerima penolakan? Kalau saya bilang ingin mengantar, artinya kamu hanya perlu mengikutinya saja.” Mata tajam pria itu tidak menerima penolakan. “Aku benci saat tidak mendapatkan apa yang kuinginkan.” Kalimat terakhir dari mulut Candra sudah memperjelas maksud dan tujuan.

Butuh beberapa detik sampai gadis itu akhirnya memahami kalimat yang disampaikan oleh sang presdir.

Perjalanan pulang hari ini terasa sedikit berbeda. Siapa yang menyangka bila Inka akan bersama sang presdir. Entah ini adalah anugerah atau musibah. Baginya, keadaan ini sama sekali tidak nyaman!

“Diam saja sedari tadi. Atau jangan-jangan kamu menahan kentut?” tanya Candra mencoba mencairkan suasana.

“Bu-bukan begitu!!” Gadis itu langsung membalas. “Saya sama sekali tidak sedang menahan kentut. Ini hanya … merasa tidak terbiasa.”

“Biasakan. Nanti juga kita akan sering bertemu. Ya, kupastikan kita akan lebih sering bertemu.”

Pada akhirnya, Inka hanya bisa diam saja. Suka-suka sang presdir sajalah! Memangnya dengan statusnya sebagai karyawan, apa yang bisa dilakukannya? Mengatakan kalau tidak senang? Haha! Sangat tidak mungkin!

“Kita akan singgah makan dulu sebelum pulang.”

“Tidak perlu, Pak. Saya hanya ingin beristirahat—”

“Ini perintah. Memang benar, setelah jam kantor, hubungan kita bukan lagi atasan dan bawahan. Meski begitu, kamu adalah sebuah pengecualian.” Candra lalu berkata lagi; kali ini pada pak sopir, “Ke restoran biasa.”

Semakin resah hati Inka selama bersama Candra. Saat berada di restoran pun, mereka tidak banyak bicara. Kelezatan makanan di sana terasa hambar bagi Inka.

“Pak, pernikahan bukanlah hal yang mudah.”

 Hanya kalimat itu yang diucapkan Inka. 45 menit bersama Candra di resto hanyalah basa-basi tidak bermakna. Sejujurnya, ia menjadi kasihan dengan pria itu. Apakah sebenarnya Candra hanya butuh seorang teman makan? Lalu, saat selesai di sana, akhirnya Candra mengantarnya pulang. Porsche dengan warna hitam nan elegan selalu siap mengantar pria tampan itu ke mana saja. Bukan hanya sang pemilik, sang sopir pribadi pun tak kalah tampan.

“Oh, jadi kamu tinggal di sini?”

Mata Candra tak bisa berhenti menatap kediaman Inka. Ya, mereka bahkan sudah di depan gerbang kos Inka.

“Tempatnya tidak nyaman?”

“Bukan. Aku sama sekali tidak menyangka bila lumayan jauh dari kantor kita. Jarak tempuh 40 menit apakah tidak masalah bagimu setiap hari pergi dan pulang seperti itu? Pindahlah ke dekat kantor.”

“Anda sudah pernah ke daerah sini. Mestinya tidak begitu kaget.” Gadis itu mencoba mengingatkan kejadian saat ia dikejar oleh penagih hutang.

Inka bukannya tidak mau. Ada masalah keuangan yang sedang dihadapinya. Mana ada sewa kos murah di sekitar kantor. Itu sama saja seperti membunuh diri sendiri secara perlahan. Bisa jadi, uang gaji yang dihasilkannya hanya berlalu untuk membayar sewa.

“Pak, saya ini bukan orang kaya seperti Bapak. Kalau saya menyewa di sana bisa-bisa saya tidak makan. Bapak tahu berapa uang sewa di sekitaran kantor kita? Bahkan yang masih memerlukan jalan kaki 15 menit dari kantor saja bisa empat sampai lima kali biaya sewa di sini. Dan juga, hutang yang kupunya sudah sangat banyak.”

“Besok, bersiaplah untuk pindah. Aku akan mengurus bagian sewa tempat untukmu.”

Gadis itu jelas menjadi terkejut. Kenapa pula Candra sampai harus melakukan semua ini? Apakah ada maksud lain dari semua ini?

“Pak, saya sudah bilang kalau saya ini hanya sebatang kara tinggal di kota ini. Kalau Bapak membuat saya harus pindah ke tempat yang lebih mahal, saya bisa tidak makan.”

“Yang menyuruhmu membayar sewa siapa?”

“Ma-maksudnya?”

Inka bukannya tidak mengerti. Semua itu terdengar ambigu. Apakah sang presdir memang mau membiayai uang sewa tempat tinggal, ataukah hanya sedang bergurau?

“Kamu akan tinggal di wilayah dekat kantor kita. Tenang saja, aku masih memiliki 1 unit apartemen kosong. Itu tidak terlalu besar—mungkin bahkan terbilang kecil.”

Perasaan Inka bercampur aduk. Penawaran sebagus ini apakah ada maksud dan tujuan khusus? Bagaimanapun, tingkah laku sang presdir perlu diwaspadai. Wajah Inka yang cemas jelas terlihat. Ini sudah bukan tentang kecemasannya soal uang sewa.

“Pak presdir tidak sedang memanfaatkan situasi ini, ‘kan? Aku pikr, Anda sudah tidak akan membahas lagi soal pernikahan.” Meski ragu, gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.

“Oh? Eh?”

Pria itu masih berpikir sejenak. Apalagi yang sedang dimaksudkan pegawainya ini?

“Tu-tunggu! Jangan katakan kalau kamu itu sedang mengira aku adalah pria mesum!!”

“Lalu, mengapa Anda menawarkan pada saya soal tempat tinggal?”

“Kamu akan tahu nanti. Dan juga soal penawaran itu. Aku mengatakannya bukan berarti kita akan langsung menikah dalam beberapa hari. Aku akan mengatur semuanya. Jadi, segeralah berikan jawaban. Sekali lagi, bukan hanya aku yang untung di sini. Kamu juga akan untung. Bayangkan dengan utang yang lunas begitu saja. Lalu, sebagai suami, aku tentu akan memberikanmu sejumlah uang.”

“Pak Candra—”

“Bisa diam dulu? Aku belum selesai.” Candra tidak suka saat ucapannya terpotong. “Lagipula, ini hanyalah pernikahan kontrak. Apa yang kamu harapkan dariku?”

“Benar. Jika sebuah pernikahan kontrak, kenapa Pak Candra melakukan ini pada saya? Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan mau melakukan itu dengan Pak Candra.”

Tidak ada jawaban. Candra malah meminta Inka turun dari mobil.

“Astaga, kalau saja dia bukan bosku, sudah pasti akan kumaki sedari tadi!” gerutunya dalam hati.

Inka mulai masuk ke dalam sebuah ruangan yang disewanya. Tidak terlalu kecil untuk 1 orang saja. Lagipula, siapa yang butuh tempat mewah jika keseharian hanya dihabiskan di kantor. Cukuplah memiliki tempat untuk tidur.

“Orang-orang seperti Pak Candra itu selalu seenaknya. Ah, aku ini … aku bukanlah anak orang yang berkekurangan tetapi hidup menggembel di sini. Apa yang salah denganku? Kalau saja aku ikut dengan keingin—”

Kalimat itu berhenti. Ia menyadari jika tidak ada yang perlu dilakukan tentang itu. Untuk apa juga menyetujui sebuah pernikahan?

“Aih, apa yang aku katakan?! Sudah sejauh ini aku melarikan diri. Bukan saat yang tepat untuk mengalah.”

Masih dengan pakaian kerja, gadis itu mulai tertidur. Hari yang begitu melelahkan telah usai.

“Bagaimana jika ternyata Pak Candra diam-diam menyukaiku?”

Inka menepuk keras pipinya. Membayangkan bagaimana perasaan sang presdir kepadanya hanya membuatnya malu.

“Apa yang aku pikirkan? Aku pasti sudah sangat gila! Bisa-bisanya aku menarik kesimpulan seperti ini?”

Ia baru saja mau mengambil air minum sebelum matanya menangkap siluet dua orang bertubuh besar di balik jendela. Untung saja saat itu pintu kamarnya tertutup.

Tuk tuk tuk!

Ketukan pintu itu tidak hanya sekali atau dua kali. Jika dihitung, sudah lebih dari 20 kali. Inka memilih meringkuk di belakang pintu.

“Cari siapa?” tanya seseorang di luar sana.

“Penghuni di kamar ini apakah benar bernama Inka Febrianti?” balas seseorang di sana. Inka mengingat dengan jelas pemilik suara itu.

“Entahlah. Kami yang kos di sini tidak mencari tahu siapa saja yang tinggal di sini.”

“Kalau begitu, coba lihat foto ini. Apakah  dia yang tinggal di sini?” Suara berat itu terdengar kembali.

Inka yang sedang mendengar percakapan itu di balik pintu langsung terdiam. Para penagih itu benar-benar mencarinya. Jika beberapa hari lalu hanya di kompleks depan, sekarang penagih itu tepat di depan matanya. Tempat itu sudah tidak aman lagi. Ia memikirkan untuk pindah sesegera mungkin—saat ini juga.

“Ah, aku sering melihatnya. Tapi aku tidak yakin jika itu benar dia.”

“Jangan bohong. Kami mencarinya bukan untuk melukainya. Kami ini keluarga Inka.”

Semakin banyak percakapan yang didengarnya, semakin kalut perasaan gadis itu. Situasinya sama sekali tidak menguntungkan. Lalu, satu nama lalu terlintas dalam pikirannya. Jika Pak Candra akan mengambil kesempatan ini, tidak begitu dengan Bu Giselle di matanya.

Inka mengirimkan pesan singkat kepada Giselle dan penuh harap jika pesan itu segera mendapatkan balasan.

“Baiklah jika memang orangnya tidak ada. Kami akan kembali malam nanti.”

Untuk beberapa saat ia bisa merasa lega. Setidaknya sampai malam nanti ia bisa bersiap mengosongkan tempat itu. Sampai semuanya telah siap, tidak ada balasan dari Giselle. Pupus sudah harapannya tentang pertolongan itu.

“Kenapa kita harus menunggu di luar sana sampai malam? Di depan sini saja kan cukup.”

Suara yang menakutkan itu kembali terdengar. Inka tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Ia pikir, para penagih itu sudah pergi. Ia salah besar. Tidak ada pilihan lain. Jika itu ada, maka Candra adalah satu-satunya pilihan.

“Pak, tolonglah saya, Pak. Sekali ini saja. Tolong bawa saya keluar dari sini.” Ia menelpon Candra tanpa basa-basi.

“Bagaimana, ya?” Candra sengaja mempermaikan perasaan Inka. “Apa kamu berubah pikiran?”

Tuk tuk tuk!

Ketukan pintu itu semakin keras. Tidak ada pilihan lain untuk Inka. Candra adalah satu-satunya yang bisa menolong saat ini.

“Baik, Pak. Saya akan tinggal di tempat Bapak.”

Di sisi lain, terlihat senyum dari seorang pria. Itu terlihat seperti makan malam keluarga yang kaku.

“Oh, kamu terlihat senang sekali, Candra. Apakah ini tentang kekasihmu?” Candra tidak membalas dan melanjutkan makan malamnya. “Jadi, kapan akan kamu kenalkan kekasihmu itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status