Share

Diskon

Author: Beeblaze
last update Last Updated: 2025-06-21 18:24:19

Sore hari di apartemenku benar-benar membuatku muak.

Langit New York perlahan meredup, memudar dari biru ke jingga keabu-abuan. Di luar, lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya lembut ke jendela apartemenku. Suara hiruk pikuk samar dari jalan raya di bawah terasa jauh, seperti hidup orang lain yang terlalu ramai untuk kugapai.

Aku duduk di ujung ranjang, membenamkan kepala sebentar ke bantal sebelum menyeret tubuhku menuju meja kecil di sudut ruangan.

Dengan malas kuketuk touchpad laptop. Layarnya menyala, lampu biru berkedip-kedip. Kubuka email—harapanku masih sama sejak dua hari lalu.

Please... please ada balasan...

Tidak ada. Kotak masuk ku kosong seperti hidup cintaku.

Aku memelototi layar, lalu menutup laptop dengan cepat. “Sial,” gumamku sambil berdiri, merenggangkan bahu dan punggung. Otot-ototku pegal karena seharian berdiri menyapa pelanggan yang tidak pernah membalas sapaan. sangat menyebabkan.

Daripada terus tenggelam dalam kekecewaan, aku putuskan untuk keluar sebentar—mencari makan malam dan siapa tahu, mendapatkan udara segar bisa memperbaiki suasana hatiku.

Jalanan New York seperti biasa: sibuk dan penuh warna. Para pekerja bergegas pulang, beberapa lainnya bersiap untuk pesta malam. Aku melihat sekelompok gadis berpakaian mencolok lewat di trotoar—gaun malam elegan, sepatu hak tinggi berkilauan, riasan wajah yang on point.

Aku ingin juga seperti mereka—melenggang ke pesta mewah, menjadi pusat perhatian, dan tentu saja... memakai gaun glamor yang bisa membuat pria jatuh hati hanya dengan sekali lirikan. Tapi kenyataannya? Aku hanya gadis biasa yang menolak membeli salad Caesar seharga $14.

Hidup memang kadang menyebalkan.

Saat pikiranku melayang, mataku tertarik pada sebuah toko besar di ujung blok, dengan antrian panjang meliuk sampai trotoar. Orang-orang terlihat tergesa, beberapa bahkan berlari kecil mendekati antrean. Rasa penasaran langsung menuntunku ke sana.

“Sedang ada diskon besar-besaran,” kata seorang wanita muda dengan napas terengah-engah di belakangku saat kutanya. “Katanya semua item brand diskon sampai 80%! Ini langka sekali!”

Mataku membola. 80 persen?!

Tanpa banyak pikir, aku langsung ikut berbaris di antrean, menahan hawa dingin dan teriakan sesekali dari penjaga toko yang mencoba mengatur kerumunan.

Satu jam berlalu. Kaki terasa kesemutan, tapi aku tetap bertahan. Dan akhirnya—

“Silakan masuk!” teriak seorang pria dari depan, membuka pintu geser otomatis.

Giliranku.

Begitu masuk, aku seperti dilempar ke medan perang. Orang-orang saling dorong. Beberapa sudah membawa lima sampai tujuh tas belanjaan. Musik dance berdentum dari speaker toko, tapi suara sepatu berderap dan orang berteriak jauh lebih dominan.

Tanpa pikir panjang, aku mulai bertarung.

Kudorong satu-dua orang dengan lembut, ya, semoga lembut. menyelip di antara keranjang dorong dan lengan orang lain, lalu masuk ke area gaun pesta. Mataku bersinar melihat tag harga merah muda besar bertuliskan SALE 70% OFF. Aku mengambil dua gaun midi, satu warna zamrud dengan kilau satin, satu lagi warna champagne dengan belahan tinggi. Oke, bawa dua-duanya.

Kemudian aku pindah ke area sepatu. High heels dari Jimmy Choo—dulu $480, kini $120. Hampir nangis rasanya. Langsung kuambil sepasang. Di rak atas, kulihat clutch mungil warna silver metalik dari Valentino. Kudorong seorang wanita yang terlihat masih galau memutuskan, lalu dengan penuh kemenangan mengambil clutch itu sebelum dia sempat kembali fokus.

Saat itulah aku melihatnya—di ujung ruangan.

Jaket kulit. Hitam pekat. Potongan pas badan. Kerah tinggi dengan zipper perak. Aku langsung tergila-gila.

Kakiku melangkah cepat, dan kuambil jaket itu.

Tapi...Ternyata bukan jaket kulit, melainkan jaket berbulu imitasi, yang luarnya memang licin dan keren tapi bukan yang aku inginkan. Dengan sedikit kesal, kuletakkan kembali ke tempatnya.

Belum sempat aku memalingkan badan, seorang wanita lain langsung menyambar jaket itu dari gantungan. Dan seolah otakku mendadak kehilangan logika, tanganku otomatis menahan jaket itu.

“Hei, itu aku yang duluan mengambilnya,” kataku cepat.

“Eh? Tadi kau letakkan kembali, jadi itu berarti kau tidak jadi. Sekarang ini milikku,” katanya ketus.

“Siapa bilang aku tidak jadi? Aku cuma... mempertimbangkan sebentar. Dan aku memutuskan membelinya!” jawabku tegas.

“Barang yang sudah ditaruh kembali, berarti sudah dilepas. Ini sudah di tanganku sekarang, minggir!”

Aku mengeratkan genggaman. “tidak bisa. Aku duluan lihat dan pegang. Ini punyaku.”

Kami saling tarik menarik jaket itu seperti dua anak kecil berebut mainan. Aku mencoba menarik lebih keras, tapi wanita itu juga tak mau kalah. Kami terhuyung. Kerumunan makin ramai. Orang-orang mulai menoleh ke arah kami, tapi sebagian besar terlalu sibuk dengan rebutan mereka sendiri.

Lalu—

Brak!

Kami terjatuh bersamaan ke lantai toko yang licin. Aku mendaratkan pantatku tepat di atas sepatu ukuran 40, sementara jaket itu tergenggam erat di tangan kami berdua. Suara teriakan mulai terdengar dari sekeliling.

“Lepas! Sakit rambutku!” teriak wanita itu saat aku tanpa sadar menjambak rambutnya agar dia melepas jaket itu.

“Salahmu sendiri merebut barang orang!” balasku sengit.

Lalu, dengan satu tarikan penuh tekad dan keputusasaan hidup, aku menarik jaket itu dengan keras, menghempaskan tubuhku ke belakang, dan... yes! Jaket itu berhasil kuraih.

Wanita itu mencibir dan mengumpat, tapi aku tak peduli. Dengan gerakan lincah, aku langsung berdiri, memeluk semua barang yang sudah kupilih, dan berlari kecil ke arah kasir.

Antrian kasir pun penuh. Tapi tak apa.

Setelah lima belas menit penuh perjuangan, aku berdiri di depan kasir, meletakkan semua barangku di meja.

“Total $687.50,” kata si kasir sambil menatapku datar.

Aku tersenyum. “Swipe, please.” Kuserahkan kartu kredit dengan bangga.

Denting mesin kasir berbunyi. Transaksi berhasil. Aku membawa semua kantong belanjaanku—enam tas besar berlogo merek ternama—keluar dari toko dengan napas memburu dan wajah puas.

Di luar, angin dingin bertiup lebih kencang. Tapi aku tak peduli.

Hari ini, aku senang.

~~~

Sampai di apartemen, aku membuka pintu dengan lutut—karena kedua tanganku penuh dengan kantong belanja. Kupeluk semua belanjaanku ke dalam, lalu dengan kaki menutup pintu belakangku. Setelah meletakkan kantong-kantong besar itu di samping ranjang, aku terduduk lemas di atas kasur. Kudekap dompet kecilku—warna nude, mulai pudar, tapi masih jadi saksi bisu betapa borosnya aku hari ini. Perlahan kubuka ritsletingnya.

Sisa uang tunai di sana… hanya beberapa lembar lusuh. Tiga lembar dua puluh dolar dan satu lembar lima. Tidak sebanding dengan total belanjaanku barusan.

Kutatap angka-angka itu sambil memelototi kartu kredit yang masih kuselipkan di baliknya.

“Bodoh, aku kelepasan...” gerutuku pelan. Suaraku nyaris seperti bisikan, penuh penyesalan tapi tanpa kekuatan untuk menyesali lebih jauh.

Aku bersandar ke dinding, menatap plafon putih yang sedikit berdebu.

“Ini bukan yang kupikirkan saat kubilang ingin mengubah hidup.”

Kutarik napas panjang, sangat disayangkan semua uangku melayang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DATE ME PLEASE!   Tawaran

    Hari ini setelah menyelesaikan semua pekerjaanku dan duduk berjam-jam hingga punggung dan bokongku keram, akhirnya aku bisa pulang. Kantorku sudah mulai sepi, lampu-lampu pun sudah banyak yang dimatikan, hanya tersisa beberapa karyawan yang lembur, hari ini aku tidak lembur. Aku meraih tas dan jaketku, dan berjalan perlahan kearah lift untuk turun kelantai satu. Sesampainya di lobi langkahku terhenti. Dibalik pintu kaca besar yang menghadap jalan utama, aku melihat sosok Josh yang berdiri tegap, membelakangi kantor, menatap langit malam yang mendung. Dia hanya berdiri diam disana seperti sedang menunggu seseorang. awalnya aku ragu tapi akhirnya ku beranikan diri untuk menghampirinya, "Malam pak." sapaku pelan Dia menoleh dan tersenyum kecil, "sudah selesai kerja?" tanyanya santai aku mengangguk, "iya, tapi bukankah.....hari sudah sangat malam, kenapa bapak belum pulang?" Josh tersenyum lebih lebar, "aku sedang menunggumu." aku terdiam beberapa detik. menungguku? "oh ti

  • DATE ME PLEASE!   Ajakan

    Dipagi hari ini cuaca terasa dingin. Awan mendung terlihat dibalik jendela apartemenku, aku menghela napas pelan lalu berjalan untuk mengambil syalku lalu kulilitkan dileher. Setelah pesta semalam aku langsung pulang, aku bahkan tidak mendengar apa yang dipidatokan oleh Josh. Dia sempat menyebut namaku dan menyuruhku naik keatas panggung untuk berdiri disampingnya, banyak orang bertepuk tangan dan mengucapkan selamat padaku. Ku ucapkan beberapa kata terimakasih atas pujian yang kudapatkan. Aku tak tau pasti, seperti kejadian semalam terlalu cepat berlalu. Aku minum terlalu banyak semalam hingga kepalaku pusing pagi ini. Perutku terasa mual, membuatku harus kekamar mandi dua kali. aku bahkan belum sarapan, jadi kuputuskan untuk memakan roti panggang dengan isian keju dan telur goreng. Setelah mengetahui bahwa max telah mempunyai seorang istri aku merasa kesempatanku untuk mendekatinya telah pupus. Tetapi aku tidak bersalah, kan? Aku bahkan tidak tau bahwa dia telah beristri, lagipu

  • DATE ME PLEASE!   Keberhasilan dan pesta

    Aku tak tau apa yang terjadi selanjutnya. Yang aku tau adalah ketika aku terbangun, sudah banyak orang yang mengelilingiku. Aku terbaring dikursi panjang, mataku menangkap beberapa wajah yang menatapku dengan pandangan khawatir, terutama Maddie yang berlutut menatapku. "apa dia tidak apa-apa?" tanya seseorang yang aku yakin salah satu karyawan disini "mungkin, aku rasa dia hanya kelelahan.“ "malang sekali.” dan banyak lagi suara-suara yang cukup kukenali ketika pandanganku mulai jelas, aku bangkit dan duduk dikursi panjang itu, menatap Maddie meminta penjelasan. Namun Maddie hanya menggelengkan kepalanya, “aku tidak tau pasti, kau tiba-tiba saja pingsan dan ya, disinilah kau sekarang.” jelasnya Aku menatap sekeliling, rupanya banyak sekali yang khawatir padaku atau mereka hanya terlalu kepo dengan apa yang terjadi. "tidak apa. aku sudah membaik, terimakasih karena sudah khawatir padaku, aku benar-benar tidak apa-apa.” ucapku sambil menatap mereka satu persatu seolah m

  • DATE ME PLEASE!   keberhasilan

    Pagi itu aku berjalan lesu menuju kantor, aku yang biasanya akan tampil memukau kini hanya mengenakan kemeja putih polos dan rok hitam diatas lutut tanpa hiasan apapun. Langkahku sedikit berat, perasaan malu masih bersarang didadaku. bagaimana bisa aku salah mengirim file? itulah kenapa ibuku selalu bilang "jika lelah maka tidurlah, jangan memaksakan diri." setibanya aku dikantor, aku dapat melihat beberapa karyawan yang sudah mulai berdatangan. Kulihat resepsionis yang biasanya menyapaku ramah kini mulai sedikit tersenyum padaku walau masih belum menyapaku lagi. Aku menaiki lift untuk kelantai 5 tempat ku bekerja. Saat lift terbuka aku langsung masuk kedalam namun saat pintu lift hendak tertutup sebuah tangan menahannya, dia max. Aku langsung menghentikan tombol lift agar dia bisa masuk max menahan pintu lift lalu tersenyum padaku yang ku balas dengan senyuman juga tentunya. "terimakasih." ucapnya yang ku balas dengan anggukan kecil hari ini max terlihat lebih ceria, dia

  • DATE ME PLEASE!   Teguran Dan Amarah

    Hari ini menurutku cuacanya sangat baik, tidak panas dan juga tidak dingin. udara cukup netral akhir-akhir ini sehingga membuatku bisa beraktivitas dengan lancar tanpa hambatan. namun anehnya ketika aku memasuki pintu kaca lobi, resepsionis yang biasanya menyapaku dengan ramah kini hanya terdiam tanpa melirikku sama sekali apakah dia sedang sakit? lalu kuputuskan untuk menyapanya duluan, "hai, pagi." sapaku seramah mungkin, namun dia hanya mengangguk kecil dan kembali dengan pekerjaannya tanpa tersenyum kepadaku Dan saat aku sampai dilantai tempat kerjaku, beberapa karyawan juga menatapku dengan tatapan yang menurutku aneh, ada yang berbisik, sementara beberapa pura-pura sibuk menatap layar komputer saat tak sengaja bertatapan denganku. langkah kakiku melambat, sepatu hak pendek terdengar nyaring ketika menyentuh lantai marmer putih. Setiba dimeja kerjaku, aku melihat Maddie yang sudah duduk di mejanya sambil meminum kopi dari Tumbler stainless miliknya. aku menaruh tas dikursi

  • DATE ME PLEASE!   Mr.morris & kecerobohan

    Langit sudah mulai bewarna oren saat aku baru saja keluar dari kantor, rambutku kini sudah sangat berantakan, sudah tidak bisa terhitung beberapa kali aku menyingkirkan anak rambut yang menghalangi mata dan membuat mataku perih, hari ini sungguh sangat melelahkan. Aku berjalan menuju halte bus tempat biasa aku duduk untuk menunggu bus lewat. Harum dari kue yang dipanggang tercium hingga kehidungku, rasanya perutku meronta ingin diisi. memang saat dikantor aku hanya makan sedikit karena tugasku yang menumpuk. Aku memilih duduk dihalte dari pada berdiri seperti kebanyakan orang yang menunggu bus datang. disebelahku, duduk pria kantoran berkemeja putih yang tengah membaca sebuah Koran yang sudah kuning dibagian ujungnya, aku rasa itu bekas tumpahan teh atau kopinya, dan disebelah kananku berdiri seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam seperti anak rock, kutatap anak itu dari atas sampai bawah hingga dia ikut menatapku balik lalu melotot kearahku, dengan cepat kualihkan pa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status