Share

DEBTLY IN LOVE (Indonesia)
DEBTLY IN LOVE (Indonesia)
Penulis: SURIYANA

Happy Graduation Day

Tidak seperti biasanya, aula gedung Sekolah Tinggi Pariwisata yang berlokasi di Bandung saat itu begitu ramai. Pengunjungnya pun semua istimewa, rapi jali dengan jas atau kebaya. Alunan paduan suara menyanyikan Gaudeamus Igitur dengan semangat. Hari itu adalah hari bahagia bagi semua mahasiswa yang sudah bersusah-payah menamatkan perkuliahannya.

Di barisan ketiga belas, ada satu perempuan berkebaya hijau dengan bawahan kain batik bermotif klasik. Lagu mars pertanda menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sudah beberapa lama terhenti sewaktu nama perempuan itu dipanggil, “Dina Indira Sudiro. Manajemen Tata Boga Kelas Internasional.”

Gadis yang dipanggil itu sudah melewati usia 21 tahun. Meskipun terlihat natural, dia merias wajahnya agar tampak istimewa. Alisnya yang lebat hanya disisir rapi, tapi dia mengenakan perona mata hijau lembut dipadu dengan sedikit warna perak. Matanya yang bulat indah dipertegas dengan eye liner abu-abu. Pipinya memerah dengan sejumput bintik-bintik hitam yang samar. Bibirnya yang penuh semakin mengilap dengan gincu merah jambu. Rambutnya disanggul dengan tambahan konde ukuran medium saja.

Dia berdiri tegak sehingga ketahuan kalau ukuran tubuhnya relatif lebih tinggi dibandingkan teman-teman wanita sebayanya. Senyumnya terukir dari telinga kanan ke kiri. Sesuai gladi bersih sebelumnya, dia sudah tahu hendak ke mana akan melangkah. Begitu berjalan ke podium, dia sempatkan mengedarkan pandangan. Dia menemukan orang yang dia cari. Lelaki berusia 51 tahun yang dilihatnya sedang bertepuk tangan. Itu adalah ayahnya, Indra Sudiro. Dina membalasnya dengan acungan jempol.

***

Seremoni wisuda yang telah usai menimbulkan kerumunan di pintu keluar. Belum lagi jejeran papan bunga yang berlomba-lomba sampaikan ucapan selamat. Tidak ada satupun yang menyebutkan nama Dina. Tapi bagi dia tidak masalah karena sekonyong-konyong ada Ayah yang menyongsongnya.

“Selamat, Nak!” Ayah menyerahkan buket bunga di genggamannya.

Dina memeluk Ayah meskipun direpotkan dengan memegang bunga serta tas tangannya. Ayah adalah satu-satunya orangtua Dina yang masih tersisa setelah ditinggal ibunya tujuh tahun lalu. Dia mengintip ekspresi sang ayah. Ada kebingungan yang terpancar di mata ayahnya itu. Begitupun lengan Ayah yang hanya menggantung tanpa membalas pelukannya. Dina menepuk punggung ayahnya lembut.

“Sini, Ayah bawakan.” Ayah mengambil alih tas Dina. Gadis itupun berjalan bergandengan lengan dengan ayahnya.

Mereka baru saja sampai di lapangan parkir yang terjauh di lingkungan gedung tempat penyelenggaraan wisuda. Mau bagaimana lagi? Hanya lokasi sepi itu yang tersisa menjadi peraduan mobil pinjaman mereka.

Tiba-tiba seseorang mendorong ayah dari belakang sampai tasnya terlempar ke udara. Pegangan Dina juga terlepas sehingga dia sibuk mengendalikan keseimbangannya. Orang yang mendorong ayahnya bertampang sangar dan menakutkan. Padahal, dirinya sudah dianugerahi dengan tinggi badan yang menjulang. Tapi, jika dibandingkan dengan laki-laki itu, Dina seolah-olah kucing yang berhadapan dengan harimau. Meskipun demikian, dia mencoba menghardik laki-laki itu. Namun, tanpa dia perhitungkan ada sosok lain yang menahan tangannya.

“Bayar utangmu!” itu kata laki-laki yang berperawakan sangar tadi, Dina akan menjuluki orang itu sebagai Si Sangar saja.

Dengan bagian belakang lengan yang terkunci oleh teman Si Sangar, Dina tidak mampu melepaskan diri dan tangannya hanya mampu bergerak sepersekian sentimeter sebelum ditarik kembali.

“Sudah dua tahun menunggak. Kami juga sudah kasih kelonggaran, tapi malah kabur-kaburan!” Si Sangar memukul wajah ayahnya.

“Hei,” teriak Dina.

Perhatian Si Sangar berganti. Dia membalikkan badan dan menunjuk-nunjuk Dina. “Kau anaknya?”

Dina mengangguk.

“Kau tahu kelakuan Bapakmu? Berani pinjam uang 500 juta tapi nggak berani melunasi!”

Dina membelalak. Lima ratus juta? Untuk apa uang sebanyak itu? Selama ini mereka hidup sangat kekurangan dan hanya bisa melewati hari-hari dengan super irit. Jadi, uang itu digunakan untuk apa? Dina menatap Ayah yang langsung menundukkan kepala.

“Yaaah?!” Dina menuntut jawaban. Tapi, Ayah tetap bergeming.

Si Sangar mendekatkan wajahnya ke arah Dina. Gadis itu memalingkan wajah. Dia dapat merasakan hembusan napas laki-laki itu. Dan sekarang, hidungnya menangkap bau jengkol di udara. Dina mengumpulkan tenaga dan mengayunkan kakinya ke bagian sensitif Si Sangar. Aksinya itu mengakibatkan kain batik yang dia kenakan robek sepaha.

“Aaawww,” lengking suara Si Sangar. Di balik perawakannya yang menyeramkan, ternyata laki-laki itu memiliki jenis suara yang seolah-olah transisi antara tenor dan soprano.

Dina merasa geli mendengarnya. Namun dia batal tertawa karena Si Sangar sudah tidak lagi menutupi bagian vitalnya dan sedang mengayunkan tangan. Laki-laki itu menamparnya di pipi kanan. Keras sekali. Telinga Dina sampai berdenging dibuatnya. Tanpa dapat dicegah, air mata mengalir di pipinya.

“Jangaaan!”

Dina menduga itu adalah perintah dari Ayah. Dia tidak dapat memastikannya karena mata yang masih menutup demi menetralkan rasa sakit akibat tamparan tadi. Apa yang akan terjadi kepada mereka? Bahunya naik turun merasa terancam. Hanya ada satu yang harus dia lakukan yang seharusnya sudah dia laksanakan dari tadi.

“TOLOOONG!” lolongnya berharap siapapun dapat mendengar permohonannya. Walaupun lapangan itu sepi, setidaknya akan ada orang yang melalui jalan itu, bukan? Setidaknya satu orang saja. Dina tidak lagi dapat memutuskan apakah permohonan batinnya tersebut merupakan sebuah asa ataupun penghiburan.

Rupanya, Si Sangar tidak kalah sigap. Dia mengambil sapu tangan dari sakunya dan mengikatkannya pada mulut Dina. Gadis itu melawan tapi gagal. Dia hanya dapat mendelik mendistribusikan kemarahan. Namun, air liur yang meluncur tanpa bisa ditahan membuat usahanya tampak konyol.

Si Sangar menghalangi upaya Ayah yang mencoba mendekatinya. Laki-laki itu menggenggam kerah kemeja Ayah dan memilinnya kuat-kuat. Dina menyaksikan ayahnya megap-megap mencari udara. Dia berteriak walaupun tahu itu tidak mengubah apa-apa.

“Kami bawa putrimu sampai kau lunasi utang!”

Sebaik mengatakan kalimat tersebut, Si Sangar melonggarkan genggamannya sehingga Ayah terpuruk ke tanah. Setelahnya, pria itu menendang orangtua Dina tersebut yang hanya bisa bereaksi memegangi perutnya.

Tak terhitung berapa kali Dina menyikut pinggang laki-laki yang menahan tangannya dari tadi. Tapi, apapun yang dia lakukan seperti tidak berhasil menggoyahkan pertahanan musuhnya. Sekarang, ditambah Si Sangar yang menyeretnya paksa menuju mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada.

Dalam langkahnya yang ogah-ogahan, Dina berhasil menoleh ke belakang demi melihat keberadaan Ayah. Tampak tidak ada pergerakan apa-apa yang dilakukan oleh ayahnya itu. Posisi Ayah hanya meringkuk dengan kedua tangan melingkari perut. Dina khawatir luar biasa. Dia tahu kalau ayahnya sedang dalam fase teramat kesakitan. Tapi setidaknya berikan tanda bahwa Ayah masih dalam keadaan bernyawa.

“Cepat pergi!” perintah Si Sangar.

Dina menajamkan penglihatannya. Itu. Tangan ayahnya bergerak ke samping. Dia meneriakkan kata, “Ayah!” walaupun yang terdengar hanya gerungan semata.

Mendadak, rambutnya terasa sakit karena ada seseorang yang menjambaknya. Begitu dia didorong masuk ke dalam mobil, sanggul kondenya jatuh menggelinding di tanah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status