Meskipun sudah dilarang, Leonardo tetap menerobos masuk ke ruang kerja Ibu Kepala Panti. Mama ada di sana yang serta-merta melebarkan kedua tangannya. Tapi, bukan kehangatan pelukan ibunya itu yang dia cari, Leo mengalihkan mata kepada laki-laki gagah di hadapan Mama.
“Papaaa!” panggilnya seraya menghampiri laki-laki itu. Kemudian dia mengulurkan mangkok yang dipegangnya erat-erat dari tadi. “Getuk Lindri.” Dia ingin Papa mencoba makanan favoritnya tersebut.
Leonardo dapat menyaksikan kalau ayahnya menunduk sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Dia menduga Papa sedang meneliti makanan bertabur kelapa parut itu, sama seperti sewaktu Leo pertama kali mencobanya. Namun, bukannya menerima mangkok yang disodorkan oleh Leonardo, ayahnya malah menepuk-nepuk kepala Leo dengan lembut.
“Nggak suka?” kata Leo dengan pupil mata yang membesar.
Alih-alih menjawab, Papa justru mengatakan, “Kamu di sini dan jaga Mama, ya.”
Kalimat itu membawa Papa keluar dari ruangan tersebut. Leo ingin mengejarnya. Tapi, rupanya satu tangan Mama telah menggandengnya lekat-lekat.
***
“Maaf, Leo gagal jaga Mama.”
Laki-laki itu menutup besek yang sebelumnya menyimpan Getuk Lindri. Dia lalu menyentuhkan pipinya ke penanda makam yang bertuliskan nama Delilah Baskoro. Kemudian, dengan bekal botor air yang dia bawa dia menyirami makam ibunya tersebut.
Bertepatan dengan air yang habis, seorang pria berpakaian batik dan celana hitam mengambil botol tersebut dari tangan Leonardo. “Langsung pulang, Mas?” tanya pria itu seraya mengangkat besek kosong.
“Ya, tapi bukan ke rumah!”
***
Istilah ‘bukan rumah’ yang dimaksud oleh Leonardo justru merupakan kediaman, yaitu sebuah apartemen yang terletak di jantung kota Jakarta. Luasnya biasa-biasa saja dengan satu kamar tidur saja. Ruang tamu dan dapur juga dibiarkan tanpa sekat. Tapi semuanya kosong melompong tanpa ada perabotan sama sekali.
“Danny, desainer interiornya bagaimana?” tanya Leonardo.
Danny adalah asisten Leonardo yang turut serta dengannya saat berziarah ke makam ibunya tadi pagi.
“Meeting senin depan.”
Leo tidak ingat kapan tepatnya Danny bekerja sebagai asistennya, dia hanya ingat laki-laki itu telah menemaninya pada awal-awal dia berkantor di Armadjati Group. Dia merasa bersyukur dengan keberadaan laki-laki itu yang selalu sigap membantunya.
“Jadi pindah, Mas?”
Alih-alih menjawab, Leonardo memeriksa pintu geser yang mengarah ke balkon. Apartemen itu terletak di lantai 35 dan menyajikan pemandangan gedung-gedung tinggi kota Jakarta. Kekosongan tempat itu turut menumbuhkan kesepian dalam hatinya. Dengan situasi seperti itu, apalagi yang masuk ke dalam pikirannya selain seorang wanita.
“Saya percaya nggak ada yang kebetulan.”
“Eh?” Leonardo menoleh ke arah Danny.
“Everything happens for a reason. Apa yang sekarang kita rasa nggak masuk akal, nanti-nanti baru kita tahu maksudnya.”
Leonardo mengusap wajahnya. “Saya nggak mengerti,” ucapnya kemudian. Tentu saja dia berbohong. Danny adalah saksi bagaimana dia patah hati oleh karena seorang wanita.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar berulang kali pertanda ada panggilan masuk. Dia menjawab, “Halo?” dan meneruskan dengan kata, “Baik, Pa!”
Kepada Danny, dia memberikan kode agar asistennya itu segera mengikutinya.
***
Gedung Armadjati Group terletak di jantung kota Jakarta. Terdiri dari 46 lantai, semua lini bisnis perusahaan itu dikendalikan dari tempat ini. Sekuriti tidak meminta tanda pengenalnya. Resepsionis pun tidak memaksanya melakukan proses registrasi. Wajah Leonardo sudah dikenal oleh semua orang. Tidak heran karena dia sudah tujuh tahun lalu-lalang di kantor usaha keluarganya tersebut.
Alih-alih menuju lorong tempat lift berada, Danny dan dirinya berbelok ke koridor khusus tempat mereka akan naik ke lantai 33. Dengan menempelkan kartu khusus, lift privat mengantarkan keduanya ke tujuan mereka.
“Finally….”
Leonardo mendekati pemilik suara yang menyambutnya itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar. Tapi ketika berhadap-hadapan, dia dapat menyamainya dalam pandangan eye level yang sama. Juntaian rambut dekat telinga beliau sudah menunjukkan warna abu-abu, tapi sorot matanya tajam dan menakutkan. Dia melirik ke sampingnya yang kosong. Seharusnya Danny ada di sana. Dia menoleh ke belakang dan menyaksikan asistennya itu menunggu di luar pintu kaca.
“Bagaimana persiapan Pitidoku?”
Leonardo tidak diberikan kesempatan untuk mengambil napas terlebih dahulu. Tapi dia tidak peduli. Dia mengabaikan pertanyaan itu dan sibuk menyeduh teh di pantry pribadi yang disediakan di kantor tersebut.
“Leo, we must follow the schedule.”
Sambil membawa secangkir teh, Leonardo mendaratkan tubuhnya di sofa, menyesap teh, dan meletakkan perlahan cangkir minumannya ke atas meja. Dia lalu menyilangkan kaki sebelum berkata, “Papa ingat ini hari apa?”
“What?” Laki-laki yang dia panggil Papa itu ikut duduk di hadapannya. “I know it’s Saturday.”
Benar saja. Ayahnya lupa kalau hari ini adalah peringatan berpulangnya ibunya ke alam baka. Leonardo menghela napas. Pelan saja karena dia tidak ingin Papa menyadari dan menjadikan itu masalah baru.
“Tapi kita bukan orang malas seperti karyawan yang digaji. Kita yang ciptakan uang.” Ayahnya melanjutkan dengan volume suara yang lebih rendah. “Dan kalau di kantor, saya bukan Papamu.”
Leo tidak menyangkal kerja keras Papalah yang membuat bisnis Keluarga Armadjati semakin menggurita di mana-mana. Kantor megah ini salah satu buktinya. Leonardo mengalihkan matanya ke seluruh penjuru ruang kerja ayahnya. Jendela kaca menghadirkan pemandangan gedung-gedung tinggi di sekelilingnya. Meja besar dan panjang yang menjadi saksi keuletan Papa dalam bekerja.
Leo sendiri sudah tujuh tahun bergabung dengan perusahaan milik keluarganya itu. Meskipun demikian, dia masih merasa tidak bisa apa-apa. Dia hanya menjalankan apa yang sudah dirintis oleh ayahnya. Dan setiap hari, dia takut kalau-kalau pekerjaannya dinilai gagal.
“Kamu tahu kan, kalau semuanya berjalan lancar, Pitidoku bisa meraup dana dari masyarakat umum sampai tiga kali lipat.”
“Pa….” Leo melihat kernyitan dahi ayahnya dan meralat, “Pak Hidayat. Pitidoku bisnis yang berbahaya. Dari awal saya sudah sarankan untuk nggak direalisasikan.”
“Omong kosong. Semua orang butuh uang. Bayangkan kalau meminjam uang semudah memencet tombol HP? Di situlah kita akan untung besar.”
“Tapi kewajiban melunasinya bisa mencekik mereka.”
“Mau cepat ya harus ada harga yang dibayar, dong. Coba, di mana lagi mereka bisa dapat uang tanpa harus datang ke kantor pegadaian, tanpa jaminan, tanpa ada cek kelayakan. Hanya selembar KTP. Jenius.” Papa tertawa-tawa.
“Dispute, kredit macet, bad PR,” bantah Leo.
Papa memandanginya lekat-lekat. Leonardo berusaha mengartikan tatapan orang tua itu. Pupil mata yang membesar; apakah artinya Papa sedang bersemangat?
Mendadak, Papa berdiri dan menghampiri meja besarnya. Dari sana, dia mengambil satu dokumen dan melemparkannya kepada Leo. “You already waste so much money on this. FIX IT! I don’t want to lose.”
Leonardo terlonjak kaget. Dokumen itu cukup berat dan mengenai dahinya. Masih dengan jantung yang berdetak tidak karuan, dia mengambil dokumen dan berlalu dari kantor ayahnya itu.
***
“Kita ke mana, Mas?” tanya Danny yang menyetir.
Larut dalam pikirannya membuat Leonardo tidak menyadari kalau mereka sudah berkendara dengan mobil sedari tadi. Tentu saja dia masih tidak habis pikir dengan perilaku ayahnya tadi. Tapi sebagai anak yang patuh, dia tetap memeriksa dokumen yang tadi dilempar oleh ayahnya itu.
Pitidoku adalah anak perusahaan yang sedang dirintis oleh Armadjati Group. Sejak berkantor, baru kali ini kantor keluarganya itu membangun bisnis baru dan Leo ditugaskan menanganinya. Masalahnya, hati Leo tidak sreg dengan Pitidoku. Secara sederhana, usaha itu adalah start-up yang memindahkan perilaku meminjam uang secara online dalam bentuk aplikasi. Leo sudah memperkirakan berbagai masalah yang timbul kalau pinjaman online ini jadi diluncurkan.
“Untuk Pitidoku, ada kabar dari OJK?” Leonardo tahu kalau tim aplikasi terbaru buatan perusahaannya itu sedang menjajaki perizinan dari Otoritas Jasa Keuangan.
“Belum. Apa perlu disiapkan hadiah?”
“Danny!” tegur Leo. Hadiah yang dimaksud adalah sogokan yang diberikan kepada pihak-pihak berwenang demi memuluskan rencana bisnis. Praktik ini biasa dilakukan oleh Armadjati Group. Tapi, asistennya itu seharusnya sudah paham bahwa Leo tidak menyetujui cara tersebut sama sekali. Memang, prinsipnya sama sekali bertentangan dengan budaya perusahaan. Dan dia harus hati-hati kalau terang-terangan atau bersikap ekstrem melawannya. Oleh karena itu, Leo beranggapan jika proses itu sudah terlaksana sebelumnya, akan dia biarkan saja. Tapi dia tidak mau mengikuti kebiasaan itu jika dia masih memegang kendali.
“Yaaah, kalau memang itu yang diperlukan?”
Leonardo membalikkan halaman dokumen dan membacanya dengan cermat. “Tolong atur meeting saja sama tim Pitidoku. Senin pagi….” Dia berpikir sejenak, kemudian melanjutkan, “sampai malam.”
“Meeting desainer interior jam dua?”
“Batalkan saja. Ganti hari lain.”
Leonardo meletakkan dokumen ke kursi belakang mobil. Dia lalu mengatur tempat duduknya dalam posisi miring karena dia butuh rebahan demi memulihkan tenaganya. Tepat saat Leo menempelkan kepala di head rest, sebuah pesan masuk di ponselnya.
Leo tersenyum melihat foto Sup Kacang Merah yang memenuhi layar gawainya tersebut.
***
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b