Kebaya hijau dan kain batik teronggok sembarangan di lantai. Berdiri di depan kaca di kamar mandi, Dina hanya mengenakan pakaian dalam seraya mengompres wajahnya dengan air dingin.
Tidak lama kemudian, muncul seorang pelayan berusia paruh baya yang tadi diidentifikasi Bacon sebagai Mbok Surti. Pembantu itu mengenakan seragam berwarna merah jambu dan membawakan tumpukan baju untuknya. Dina terlanjur dipenuhi rasa malu dan sakit hati untuk dapat mengucapkan terima kasih kepada Mbok Surti. Jadi, dia biarkan saja perempuan itu berlalu dan meninggalkannya sendirian.
Dina mengenakan baju yang dibawakan. Ternyata baju itu juga berupa seragam, hanya saja keseluruhannya berwarna putih. Tidak ada pilihan lain. Dia terpaksa mengenakannya. Sayang, badannya yang tinggi hanya mengakomodir panjang rok sampai sepaha. Dia merasa direndahkan dan tangis air mata pun membanjiri pipinya.
“Nduk!” panggil Mbok Surti dari luar ruangan.
Dina mengatur embusan napasnya. Konsentrasinya terpecah sewaktu otaknya mengingat ancaman yang tadi diucapkan oleh Bastian tadi. Laki-laki yang bertampang innosen namun ternyata biang kekejaman yang terjadi kepadanya itu sepertinya tidak main-main. Dia adalah tipe yang tidak peduli dan akan melakukan apapun demi menunjukkan kekuasaannya. Siapa dia? Kenapa laki-laki itu eksis di dunia ini? Bagaimana dia dapat keluar dari lubang kesengsaraan ini tanpa membahayakan Ayah?
“Nduk!” Volume suara Mbok Surti kali ini lebih kencang saat memanggilnya.
Dina sekali lagi mengelap wajahnya dan membuang sisa-sisa air mata. Dia menatap sorot matanya yang ketakutan. Gadis itu memejamkan mati dan mengatur napasnya perlahan-lahan.
Pada helaan napas yang terakhir, dia membuka pintu.
“Cepat, sudah dipanggil Nona Wendy!”
***
Dalam perjalanan menemui sosok yang disebut-sebut sebagai Nona Wendy ini, Dina tidak luput memerhatikan sekelilingnya. Gudang tempatnya disekap tadi tidak berada di bangunan utama. Dia ingat kalau Bacon membawanya melewati jalan bebatuan kerikil saat mendatangi Mbok Surti.
Dina menduga Mbok Surti menempati semacam bangunan khusus pelayan yang menempel di bagian belakang rumah utama. Pasalnya, ruangan yang dia lalui tadi memiliki dapur kecil dengan satu buah kamar tidur berisi enam buah ranjang dan satu toilet. Kemudian, mereka berjalan menuju lorong yang panjang yang Dina yakin akan kesasar apabila nekat mengeksplorasinya sendirian.
Mereka sampai di sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang bersantai. Ada televisi besar yang tergantung di salah satu tembok. Dinding-dinding yang lain dipenuhi dengan lemari setinggi langit-langit yang berisi banyak buku dan barang-barang pajangan.
“Nona Wendy, kenalkan ini….”
Hening sejenak sampai Dina menyadari bahwa sedari tadi dia belum mengucapkan namanya sekalipun kepada Mbok Surti. “Dina,” jawabnya mengambil alih.
“Memangnya si Rosidah, Alika, sama Citra ke mana?”
Bersamaan dengan itu, wanita bernama Wendy itu membalikkan badan. Wajah perempuan itu cantik sekali, matanya menukik serupa mata kucing dengan lipatan kelopak mata yang tegas. Hidungnya tidak membutuhkan makeup shading apapun karena sudah mancung dari sananya. Bentuk mukanya pun bertulang pipi tinggi. Hanya bibirnya yang bengkak yang Dina rasa telah mengalami pahatan dokter kosmetika. Walaupun begitu, hasilnya jauh dari kata aneh karena semuanya berpadu menciptakan rupa secantik malaikat.
“Mereka mengundurkan diri, Non.”
“Bukannya mereka betah-betah aja ya kerja di sini? Gajinya kan besar.”
Dina mengerutkan dahi ketika memperhatikan kecanggungan Mbok Surti dalam menyuarakan alasan hengkangnya tiga pelayan yang disebut-sebut. “Mungkin mereka sudah mau berumah tangga, Non.”
Wendy menerima alasan itu dengan cukup baik. “Ya, aku mengerti karena kalau udah menikah, suamilah yang menentukan segalanya buat kita.”
“Tuan Bastian beruntung sekali mendapatkan Nona. Selamat sekali lagi, Non.”
“Yes, he is.” Wendy membentangkan jari-jari tangannya untuk memamerkan sebongkah cincin berlian yang langsung bercahaya terkena lampu ruang santai itu.
Mbok Surti menyikut lengan Dina. Gadis itu tidak mengerti apa maksud pembantu senior itu. Oleh karenanya dia hanya membeo, “Selamat.”
Wendy memberikan pandangan menusuk kepadanya, “Mbok udah jelaskan tugasnya dia?”
“Mbok cuma bilang apapun perintah Nona Wendy.”
Wendy tersenyum puas. “Sekarang, siapkan dinner buatku.”
Dina baru saja membuka mulut untuk menanyakan menu yang dikehendaki oleh majikannya itu. Namun, Mbok Surti mencegahnya dan menggandengnya ke luar ruangan.
***
“Jangan banyak ngomong!” kata Mbok Surti sewaktu pelayan senior itu memberikannya tur keliling rumah.
“Gimana bisa masak dinner kalau nggak tahu Wendy mau makan apa?”
“Pertama, Nona Wendy. Kedua, tenang saja, Nduk. Di rumah ini ada koki spesial yang datang setiap hari. Kalau ujug-ujug kita nanya, wah malah bikin repot kita sendiri. Bakal harus masak. Padahal kerjaan kita kan sudah banyak.”
Mbok Surti berhenti di ruang makan. Dina mengagumi ukurannya yang lebih luas dari rumah kontrakannya. Di tengah-tengah ruangan ada satu set meja makan panjang dengan sepuluh kursi.
“Setiap hari, Pak Armadjati mau semuanya makan malam bersama. Nanti kamu berdiri di pojok sana,” Mbok Surti menunjukkan meja bundar tanpa kursi. Dina menduga itu adalah tempat untuk meletakkan makanan.
“Yang tinggal di sini ada 10 orang?”
Mbok Surti menghitung dengan jarinya. “Pak Hidayat dan Ibu Yasmine. Anak-anaknya ada Mas Leo, Mbak Olivia, Tuan Bastian dan tentu saja istrinya Nona Wendy. Yang nanti akan kamu layani.”
“Enam. Untuk ruang sebesar ini?”
Mbok Surti tertawa. “Kamu belum lihat semuanya.” Perempuan paruh baya itu melewati deretan kursi dan menyibakkan gorden serta membuka pintu besar yang menuju ke sebuah teras.
Dina mengikutinya. Teras yang terhubung dengan ruang makan itu memuat tempat duduk dan satu meja kecil. Dina menduga kursi di sana lebih sering digunakan untuk menikmati kopi atau sarapan. Dia menengok ke bawah dan menandai kalau dari tepi teras ke tanah berjarak hanya sekitar lima anak tangga.
Dia menengok ke sekeliling. Jika ditelaah, keseluruhan bangunan itu berbentuk huruf U yang bagian cekungnya adalah kolam renang. Rumah itu sendiri terdiri dari dua lantai dengan langit-langit yang tinggi.
“Bagian kiri ditempati oleh Tuan Bastian. Yang tadi kita ketemu sama Nona Wendy?”
Dina mengangguk. Ruang santai tempatnya bertemu Wendy tadi pagi berlokasi di sayap kiri gedung. Selain ruang santai, dia tadi juga diperlihatkan ruang tamu, ruang makan, pantry dan satu kamar tidur utama dan dua untuk tamu. Cukup untuk menjadi kediaman sebuah keluarga.
Dina menoleh ke atas. Matahari yang mulai tergelincir menciptakan siluet seseorang. “Yang sebelah kanan?”
“Mas Leo yang tinggal di sana.”
Dina dapat mendengar hentakan langkah kaki Mbok Surti yang menjauhinya. Namun, dia sendiri masih belum bisa mengalihkan pandangan dari sosok yang tertimpa cahaya jingga sore itu.
Tiba-tiba tirai tipis dari lantai dua sayap kanan rumah tersebut tersibak. Seorang pria yang tidak mengenakan atasan apapun yang melakukan hal itu. Mata laki-laki itu terpejam dan terarah ke arah matahari seolah-olah ingin menyerap kehangatannya.
Terlalu berlama-lama menikmati pemandangan itu, Dina menahan napas sewaktu matanya berserobok dengan mata laki-laki itu. Dia terlambat membuang muka. Dan, apa yang terjadi setelahnya mengagetkannya bukan kepalang. Laki-laki itu justru tersenyum, setidaknya begitu yang Dina lihat dari posisi berdirinya senja itu.
“Nduuuk!” panggil Mbok Surti.
Dina menelan ludah berusaha menghilangkan kecanggungannya. Dia berbalik dan menutup pintu teras dengan terburu-buru.
***
Sesuai yang diperintahkan oleh Mbok Surti, gadis itu berdiri tepat di samping meja yang penuh dengan hamparan makanan. Bukan, bukan dia yang menatanya. Memang benar informasi dari Mbok Surti. Ada chef khusus yang menyiapkan semuanya.Mbok Surti memindahkan gelas dari meja makan utama dan mengembalikannya kepada Dina. “Nona Wendy nggak minum jus nanas, Nduk.”Dina menggantinya dengan gelas yang berisi jus kiwi daripada apel dan jeruk. Mbok Surti menyetujui pilihan itu. Tepat pada saat asisten rumah tangga itu meletakkan jus di meja, ketukan langkah kaki terdengar memasuki ruang makan.“Nona Wendy,” sapa Mbok Surti sambil menarik sebuah kursi. “Mau roti?”“Papi kan belum datang.”“Tapi Nona nggak boleh kelaparan.”“Tenang, sebentar lagi dimulai, kan?” Wendy mengusap-usap perutnya.Ucapan Wendy terbukti karena setelah itu terdengar langkah kaki baru. Cepat-cepat Mbok
“Siapa?”Dina tidak mengenali suara itu. Tapi yang jelas, dia ketahuan. Dari balik selimut, matanya melirik ke kiri dan kanan. Dia memperkirakan apa yang terjadi jika dia bertindak nekat. Sedikit lagi. Hanya tinggal dua langkah dia sampai ke teras yang pintunya sudah terbuka. Dina mengambil ancang-ancang untuk berlari.Sekonyong-konyong teriakan, “Berhenti!” memenuhi udara dan selimut yang menutupi Dina terlepas. “Nyi Roro Kidul?” sambung pemilik suara misterius itu.“Bukan,” bisik Dina ketakutan.Tidak berapa lama kemudian, lampu menyala. Sekarang, Dina dapat mengetahui siapa yang menggagalkan rencananya. Leonardo.“Ah, asisten yang….”Gadis itu agak kesal. Mentang-mentang orang kaya, mereka tidak merasa perlu mengenal pekerja yang status sosialnya di bawah mereka. Sekalian saja perlakukan mereka seperti narapidana yang hanya dipanggil berupa angka saja.Leonar
Dengan segera, Dina menumbuk punggung Leonardo berharap apapun yang menghalangi jalan napas laki-laki itu segera dimuntahkan. Tidak ada hasil yang signifikan. Dina semakin khawatir. Sekilas keragu-raguan merongrong hatinya. Jika dia salah langkah, dia akan menjadi penyebab laki-laki itu menderita. Tapi, bayangan betapa bahaya kondisi Leonardo saat itu membuatnya mengambil sikap.Dina memeluk laki-laki itu dari belakang. Lengannya kemudian menjerat badan Leonardo dengan erat. Sesak napas pria itu semakin menggema. Dina mencoba sekali lagi dengan mengerahkan tenaganya lebih kuat lagi. Sebongkah timun pun mencelat dari mulut Leonardo. Pria itu terbatuk sekali dan setelahnya dapat bernapas dengan normal. Untunglah, syukur itu hanya dapat diucapkan Dina dalam hati.“Terima kasih.”Ucapan penghargaan dari Leonardo itu itu tidak pantas dia terima. Dina seharusnya merasa bersalah karena dialah penyebab laki-laki itu tersedak. Dan hampir mati, Dina tersentak
Tidak dapat dibayangkan oleh Dina kalau kejadian ini sampai ke telinga Bastian. Lebam di wajahnya memang sudah tidak dapat diidentifikasi, tapi perihnya masih dapat Dina rasakan.“Maaf?” Terus-terang, Dina tidak tahu apa akar masalahnya. Tapi, dia tetap harus memohon demi menghindari kemarahan Bastian. “Maaf,” katanya lagi dengan mantap.“Selama kerja, kamu harus pakai seragam, Nduk.” Mbok Surti yang akhirnya memberi tahu.“Nggak bisa kayak gini. Aku nggak bisa direcokin sama hal yang remeh kayak gini. I can’t stress this enough,” cerocos Wendy. “Bastian harus tanggung jawab kalau ini nggak akan –“Maaf, maaf. Aku belum tahu. Aku ganti.”“Terlambat! Aku udah STREEES!”Langkah Dina mundur satu langkah karena teriakan Wendy tersebut. Kebalikan dengannya, bergegas Mbok Surti menghampiri menantu Keluarga Armadjati itu dan menepuk-nepuk bahunya. Pem
“Maaf, nggak bermaksud bikin kamu kaget.”Dina mendongakkan kepala. Di atas sana, berdiri Leonardo. Dia membuang wajah karena malu berhadap-hadapan dengan laki-laki itu. Tidak dalam keadaan yang super berantakan seperti sekarang ini. Dina memandangi bajunya yang sudah lembab dan sangat tidak nyaman dikenakan. Belum lagi rambutnya yang awut-awutan. Sangat kontras dengan penampilan Leonardo yang rapi dengan setelan jas berwarna abu-abu.“Naik!”Alih-alih mematuhi permintaan pria itu, Dina memungut tangkai pel dan melanjutkan mendorong alat itu untuk menyikat lantai kolam renang.“Hei, naiklah. Aku bawakan makanan.”Seakan-akan tidak dapat diajak berkompromi, perutnya bernyanyi. Dina menyerah akan kekeraskepalaannya dan meletakkan sikat pembersih sembarangan. Dia berjalan miring ke arah tangga kolam demi menghindari bertatapan dengan Leonardo. Langkahnya kalah cepat karena pria itu sudah mengulurkan tangannya.
Dina memutar pegangan pintu dan tidak juga terbuka. Tidak ada rencengan kunci yang menempel di pintu seperti yang dia lihat pada malam sebelumnya. Tidak, keluhnya dalam hati. Hanya ini pintu keluar yang dia hapal tanpa perlu ketahuan Mbok Surti. Dia menyentuhkan jari ke material kaca yang mendominasi pintu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Terlalu riskan jikalau dia sampai memecahkan kaca.Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan sampai membentur satu ide. Cepat-cepat dia berjalan menuju dapur. Dari sana dia bisa melewati pintu yang menuju kebun. Pintu bergeming saja sewaktu Dina mendorongnya. Hatinya kembali diliputi kekecewaan sehingga dia berteriak sambil mengatupkan mulut dengan bongkahan punggung tangannya.Tiba-tiba, cahaya menerangi ruangan itu yang membuat tubuh Dina sedikit terlonjak.“Nduk, ngapain?”Dina menghampiri konter dapur dan mengambil gelas. “Haus,” kilahnya.“Lho, di kamar ada air, kok?&rd
Di dapur, Dina menahan air matanya sewaktu mencuci piring bekas wadah Beef Stroganoff yang dicampakkan oleh Wendy.“Nona Wendy tidak tahan asin, Nduk.”“Dia kan bisa bilang. Lagian ini juga nggak keasinan.” Dina mencuci tangannya, mengambil sendok, dan menyuapkan sebagian sisa Beef Stroganoff ke mulut Mbok Surti.Mata pelayan itu merem melek, “Enak, Nduk.”“Ya pasti enak,” gerutunya masih tidak menerima perlakuan Wendy yang semena-mena membuang makanan buatan Dina.Mbok Surti mengambil Getuk Lindri matang yang tadi didinginkan di dalam kulkas lalu mulai menyusunnya. Dina memperhatikan wadah kotak plastik yang disiapkan pembantu itu. Dia menggantinya dengan kotak besek bambu tradisional dengan mengalasinya pakai daun pisang.“Wah, bagus Nduk.”Dina menaburkan serutan kelapa di atasnya. Memang, gadis itu puas dengan penampakan kue tradisional tersebut.Tepat pada saat it
Seperti pemakaman lainnya, peristirahatan terakhir yang dikunjungi oleh Leonardo saat itu pun memiliki suasana adem dan aura tenang yang luar biasa. Pria itu mendatangi salah satu kuburan. Pada penanda di makamnya, tertulis nama Delilah Baskoro, ibunya yang telah meninggal delapan belas tahun yang lalu. Hari ini bertepatan dengan peringatan kepergian ibunya itu.Leonardo meletakkan bunga di atas kuburan. Setelahnya, dia bersila di atas tanah sambil membuka kotak bekal yang berisi Getuk Lindri.“Mama, Leo kangen,” lirihnya seraya memandangi nama ibunya yang tertulis di makam.***Mansion Keluarga Armadjati sudah besar dan megah ketika Leo dilahirkan. Tidak seperti sekarang yang bernuansa kelam, dahulu rumah itu penuh dengan warna dan keceriaan. Pagi di istana itu selalu diawali dengan musik riang gembira. Mama Leo, Delilah akan berkeliling dan menyapa semuanya, termasuk para pekerja. Jadi, tidaklah mengherankan apabila nyonya rumah itu dihormat