Share

DENDAM BERKALANG NODA
DENDAM BERKALANG NODA
Author: Suesant SW

Bab 1. Awal Petaka

“Laura hamil, Om…”

kalimat itu hanya tiga kata tetapi sanggup membuat Bian, pria tampan berusia 37 tahun itu hampir terlempar dari atas tempat tidur.

"Ha...hamil?" Tubuhnya yang bersimbah keringat dan setengah telanjang itu gemetaran. Dia baru saja habis bercinta dengan puas sepanjang sore ini selepas pulang dari kantornya. Rutinitas yang selalu hampir membuatnya gila dengan deadline kerjanya yang seperti kereta, tak pernah habis itu. 

Bercinta bersama gadis cantik yang kini menyangga kepalanya dengan santai dalam posisi berbaring di sebelahnya, adalah hal yang selalu membuatnya tak sabar untuk segera pulang dari antara tumpukan kertas dokumen yang memenuhi mejanya. 

Gadis ini menatapnya dengan riang, dia serupa pepes dalam balutan selimut, senyum di bibirnya menunjukkan sikap senang melihat keterkejutan Bian. 

“Ha…hamil?” Bian mengulang dengan wajah takjub, bukan karena bahagia tetapi karena ketakutan yang tak bisa disembunyikannya.

Laura, gadis muda berusia 18 tahun yang berbaring di sebelahnya hampir tanpa busana itu menganggukkan kepalanya dengan mata berbinar.

“Iya, Om…Laura hamil.” Ulangnya dengan senyum lebar seolah baru saja memberitakan satu surprise yang menyenangkan kepada laki-laki yang berada di depannya itu. Laki-laki-laki yang beda umurnya dua kali dari umurnya.

Berita itu tentu saja surprise buat Bian, bahkan hampir membuat dia jantungan.

“Laura kan sudah dewasa seperti yang dikatakan oleh Om Bian, jadi tidak ada yang salah kan dengan kehamilan Laura?”Tanya Laura dengan polos.

“Kamu…kamu tidak sedang bercanda denganku, kan?”Bian mendelik.

“Apakah Laura terlihat sedang bercanda?” Laura masam-mesem seakan tak menyadari ketegangan Bian yang bahkan terlihat hampir tak kuasa bernafas di sampingnya, dia menghadap Bian dengan tubuh mereng dan benar-benar tegang.

"Om Bian tidak percaya?"

Laura berbalik, menarik tas kecil yang ada di atas meja samping tempat tidurnya. Lalu masih dengan setengah berbaring, sebagian tubuhnya ditutup selimut seadanya, dia menarik sebuah kotak kecil, sepertinya bekas kotak cokelat.

“Taraaaaa…” Laura menunjukkan sebuah batangan kecil berwarna biru putih, senyumnya begitu lebar menunjukkan testpack di tangannya, bahkan hampir menyentuh hidung Bian.

Bian terbelalak, menatap dua garis berwarna merah muda yang tertera di sana, mengambang didepan matanya itu.

“Astagah, kamu serius, laura?” Bian benar-benar meloncat dari tempat tidur, lalu hanya dalam balutan celana kolor dia berdiri dengan gemetar di atas lantai. 

“Iya, Om Bian sayang, Laura duarius malah.” Laura cekikikan senang.

“Sekarang, Laura minta om Bian peluk Laura, cium ubun-ubun Laura dan bilang, Om Bian sangat bahagia.” Laura menyengir dari atas tempat tidur.

“Seperti yang ada di drama-drama itu…”Lanjutnya dengan suara manja, seperti seorang anak kecil yang sedang memohon kepada ayahnya untuk dibelikan sesuatu.

Bian menarik celana panjangnya yang tergeletak di kaki tempat tidur, melompat dari tempat tidur dan segera mengenakannya.

Alis Laura mengernyit dengan heran, tanpa perduli dadanya yang padat tidak terlalu besar itu terbuka tanpa penutup dia segera duduk.

“Om, mau kemana?” tanya laura dengan heran.

“Laura, kenakan pakaianmu!” Perintah Bian, matanya membeliak sebesar biji kelereng.

“Om Bian?” Laura balas menatap Bian dengan kebingungan, wajahnya terkejut dengan perubahan sikap Bian yang tiba-tiba

“Laura, kamu mendengarku? Bangun dan kenakan pakaianmu! Kita harus bicara!” Suara Bian meninggi menjadi setengah menghardik.

Laura tertegun dengan pias memerah.

“Om Bian kenapa berteriak kepada Laura?” Tanyanya dengan tatapan bingung, matanya tak berkedip menatap Bian. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan yang ditunjukkan oleh Bian. Selama ini Bian begitu manis. Lembut dan mesra pada laura.

“Om kenapa marah dengan Laura?” Mata laura bersinar sedikit berkaca, raut tegang Bian membuatnya ketakutan.

“Om Bian tidak marah…” Bian menurunkan suaranya dengan salah tingkah kemudian mengenakan baju kaos yang tersampir di atas kursi dengan cepat.

“Om Bian hanya bilang, kenakan pakaian Laura dan kita bicara sebentar.” Bian berusaha menarik sudut bibirnya, membuat garis senyum yang terlihat benar-benar sangat terpaksa.

Laura beringsut dari tempat tidur, menurunkan kakinya yang jenjang mulus itu. Tubuh moleknya terlihat bersinar di bawah cahaya lampu temaram yang ada di dalam kamar Bian.

Dia merenggut kain selimut motif kotak dalam warna monokrom yang sedari tadi menutup sebagian tubuhnya saat berbaring lalu dengan sikap acuh tak acuh di lilitkannya ketubuhnya sampai sebatas dadanya, menutupi dua gunungnya yang terlihat menantang itu.

Bian menelan ludahnya, bukan karena dia tergoda tetapi dia merasa tenggorokannya seketika kering. Matanya mengawasi setiap gerakan laura seperti seekor kucing yang sedang ingin menerkam mangsanya.

"Om Bian tidak bahagia? bukankah kalau Laura bisa memberikan anak untuk om Bian, Laura akan jadi milik om Bian selamanya?" Laura mendekat dan bergayut manja di leher Bian. 

Dengan sedikit jengah, Bian melepaskan tangan Laura yang mengalung di lehernya. 

"Laura, kamu tidak meminum obat yang kuberikan padamu?" Tanya Bian dengan wajah tegangnya. 

Laura menggeleng, senyumnya terkembang. 

"Aku tahu, obat itu obat pencegah kehamilan. Tentu saja aku tidak mau meminumnya." Laura tertawa kecil. 

"Laura, ini bukan permainan." Bian melotot pada gadis yang senantiasa ceria dan manja padanya itu. 

"Laura tidak sedang main-main, Om Bian. Laura sekarang hamil anak om Bian. Lihatlah tes pack ini, garisnya dua tadi pagi saat... " 

"Hentikan omong kosongmu ini!" Bentak Bian dengan gugup, di rampasnya test pack dari tangan Laura dan mencampakkanya ke lantai dengan kasar.

Laura terdiam, sekarang matanya menatap Bian lekat-lekat.

"Om Bian? Om Bian tak mau anak dari Laura?" tanyanya kemudian dengan suara rendah, matanya terpicing. 

Bian tak menjawab dia, memalingkan wajahnya, keringat sebesar biji jagung jatuh di dahinya. 

"Kemarilah..."Bian menarik lengan Laura dan mendudukkannya di pinggir tempat tidur. Lalu dengan kasar, Bian menyeret kursi kayu dari sudut ruangan.

"Dengarkan aku." Bian duduk dengan sikap tegak sementara kedua tangannya saling meremas di depan wajahnya. 

"Kenapa kamu menjebakku Laura? kenapa kamu membuat dirimu hamil?" Tanya Bian dengan mata memerah. 

"Laura tidak menjebak om Bian. Kenapa Om Bian berkata begitu?" Jawaban Laura di akhiri dengan sebuah pertanyaan, matanya yang tak berkedip menatap Bian. 

"Laura mencintai om Bian dan ingin menikah dengan om Bian." Lanjutnya kemudian dengan lugu. 

"Bukankah jika dua orang yang saling mencintai dan akan mempunyai anak, maka mereka akan menikah dan hidup bersama selamanya?"

Bian tak bersuara, hanya matanya yang nanar tak lepas menatap ke arah Laura. Dia tak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Serpihan Salju
Kakak di sini juga? ......
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Seruu.. Mampir thoorr
goodnovel comment avatar
Rez
hmmm...coba baca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status