LOGINBAB 7 TIDAK MUDAH DITEBAK
Ruang makan keluarga Loghan tidak hanya megah, tapi juga hangat. Lilin-lilin tinggi menyala di atas meja kayu ek tua, memantulkan cahaya ke perabot makan perak antik dan kristal mahal yang tersusun rapi di sekeliling meja panjang. Aroma panggangan domba rosemary bercampur dengan kayu manis dari pai apel buatan dapur keluarga, menyatu seperti nostalgia masa kecil yang nyaman. Geby duduk di ujung meja, mengenakan gaun hitam sederhana tapi elegan. Wajahnya terlihat lebih muda malam ini. Bahagia. Pandangannya bolak-balik antara Aron dan Chatrine, lalu sesekali bertemu dengan mata Jeremy yang ikut menyimak pasangan muda di hadapan mereka. Malam ini Aron Loghan nampak berbeda. Ia tidak membisu seperti biasanya. Ia tidak menghilang setelah makan suap pertama. Bahkan, ia beberapa kali menoleh ke arah Chatrine. Memberi komentar ringan. Bahkan hampir tersenyum. “Jadi, apa kau tidak keberatan ikut tinggal di sini selama beberapa hari?” tanya Aron, suaranya tenang namun terdengar ramah. Chatrine nyaris terbatuk. Ia tidak terbiasa mendengar nada selembut itu keluar dari pria seperti Aron Loghan. Apa lagi ini tentang ajakan menginap di rumah keluarganya. “Ya, kalau itu tidak masalah bagi Anda,” Chatrine berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional agar tidak terdengar gugup memalukan. “Tentu saja tidak,” ucap Aron singkat, kemudian menyesap anggur merahnya perlahan. Aron Loghan sama sekali tidak dapat ditebak bahkan oleh ibunya sendiri. Geby memperhatikan percakapan itu seperti pengamat politik yang tetap tidak boleh lengah dengan tipu daya paling halus. “Aron...” Geby mulai pelan, “apa kau tahu, ayah Chatrine juga pernah menjadi profesor kehormatan di Oxford.” Chatrine menunduk sedikit canggung. Geby sengaja ingin mempertegas latar belakang Chatrine yang juga berasal dari keluarga terhormat. “Lulusan terbaik Cambridge, tiga bahasa asing, dan profesor politik modern." Geby terus menambahkan predikat utuk ayah Chatrine yang berasal dari kalangan intelektual. "Oh, maaf karena kami belum pernah bertemu." Aron mengaku kurang tahu. Karena selama ini memang kurang perduli. "Sebaiknya kalian sesekali bertemu." Geby terus memancing. "Mungkin, nanti..." Aron terkesan tidak menutup kemungkinan akan bertemu ayah Chatrine. Geby tersenyum. Harapannya berbinar terang. “Mungkin lain kali kita semua bisa makan bersama dalam satu meja besar.” Aron tahu ibunya mengharapkan sesuatu. Maka malam ini, Aron ikut memberi sedikit sandiwara hangat,cukup untuk meredakan kecemasan Geby. "Rumah ini benar-benar butuh nyawa pasangan baru." Jeremy pura-pura berdehem untuk menegur Geby. "Kita sudah tua Jeremy, kita butuh regenerasi." "Semoga aku belum terlalu tua untuk mulai mempertimbangkan nasehat kalian." Ucapan Aron seketika membuat Geby terkejut takjub. "Oh, apa berlebihan jika aku menginginkan keajaiban itu segera?" Aron sudah tidak menjawab tapi cukup untuk memberi harapan masadepan. Chatrine yang duduk di sebelah Aron, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan hanya karena tampilan Aron Loghan yang luar biasa tampan. Tapi karena untuk pertama kalinya, pria dingin itu memperlihatkan sinyal bahwa ia mungkin bisa membuka diri. Mungkin... memulai sesuatu. ****** Malam semakin larut. Rumah kastil megah keluarga Loghan berubah sunyi senyap. Semua orang sudah beristirahat di kamar masing-masing. Tapi Chatrine belum bisa tidur. Chatrine berdiri di dekat jendela besar, memandangi lanskap gelap Yorkshire yang sepi dan tenang. Angin meniup tirai, mengusap lembut kulit lehernya yang kembali terasa hangat setiap kali memikirkan pria sedingin Aron Loghan. Kenapa dia bersikap begitu? Kenapa baru sekarang? Apa itu harapan? Apa itu hanya... Kebetulan? Kebetulan mereka sedang berada di rumah kampung halaman. Kebetulan mereka sedang berada dilingkungan yang tenang. Romansa romantic klasik seperti atmosfer hangat yang menguap dari dasar tanah tua. Membuat hati ikut damai dalam pelukan hangat berdebar. Chatrine tidak bisa menepis kenyataan bahwa ia menyukai Aron Loghan sejak lama. Tapi ia juga tahu, Aron bukan pria yang mudah jatuh hati. Bukan pria yang membuka diri. Maka saat dia menunjukkan sinyal komitmen, Chatrine tidak tahu apakah ia harus percaya, atau justru takut. Menjelang tengah malam, ponsel Chatrine tiba-tiba bergetar. Satu pesan singkat dari Aron [Temui aku di perpustakaan. Sekarang. Sendiri.] Chatrine segera mengenakan mantel tipis untuk membalut gaun tidurnya, berjalan menyusuri lorong panjang kastil yang senyap. Jantung wanita cantik itu terus berdegup kencang. Aron ingin bertemu ditengah larut malam, cuma berdua, tidak boleh ada yang tahu. Karena itu Aron sengaja menunggu semua orang tidur. Pintu perpustakaan terbuka sedikit, cahaya kuning lampu meja menerobos dari sela celahnya. Chatrine langsung masuk, dan mendapati Aron berdiri di dekat rak buku tinggi. Di tangannya, sebuah layar ponsel masih menyala. “Terima kasih sudah datang,” ucap Aron tanpa basa-basi. Chatrine mengangguk. Aron mendekat. Menunjukkan layar ponselnya. Sebuah foto. Foto seorang wanita. Berambut gelap. Bermata kelabu mencolok, seperti batu akik hidup. Chatrine menatap foto itu. Dia masih ingat dengan wajah pelayan restoran tadi siang. “Aku ingin wanita ini!” kata Aron, pelan namun tegas. Chatrine mendongak, matanya sedikit menyipit. “Untuk ibu pengganti?” Chatrine bertanya dengan nada hati-hati. Aron menatap lurus. “Bukan cuma untuk ibu pengganti, tapi juga untuk sebuah pernikahan yang sangat mengikat!” Jeda hening. Chatrine hampir tak bisa bernapas. “Dapatkan dia untukku. Bagaimanapun caranya!” Suara Aron masih sangat tenang, namun dalam. Tegas. Tak bisa ditawar. Chatrine menahan napas. Tangannya meremas ujung mantel. Ada sesuatu di dadanya yang remuk, tapi dia tidak mengerti bentuknya. Entah karena dia merasa kehilangan sesuatu yang belum sempat ia miliki. Atau karena untuk pertama kalinya, ia melihat Aron Loghan menginginkan sesuatu, bukan karena logika, bukan karena strategi, tapi karena egonya sendiri. "Kau harus tinggal beberapa hari lagi di sini untuk menjalankan tugas." Ternyata Aron telah menyusun sebuah rencana rapi, dan untuk alasan itu dia meminta Chatrine untuk tinggal. “Ikuti semua perintahku!” Chatrine mengangguk. “Baik, Mr. Loghan.” Dan saat itu juga, hatinya ikut diam-diam retak. Aron Loghan telah menyiapkan rencana untuk membalas dendam.BAB 72 BIMBANG DAN LELAHBegitu pintu lift lobi hotel terbuka dengan suara desis lembut. Chatrine sudah berdiri menunggu di ujung lobi.Wanita itu tampak rapi, profesional, dengan mantel abu-abu pas di badan dan sepatu hak tinggi hitam mengilat. Rambut pirangnya disanggul rapi, bibirnya mengulas senyum tenang yang sudah terlalu terbiasa dengan krisis pagi bagi lelaki berbahaya.Wajah tajam Aron Loghan masih seperti biasa, tapi kali ini terlihat lebih lelah. Rambutnya sedikit kusut, matanya sembab namun tetap menyimpan sorot dingin yang tak pernah bisa ditebak.Tanpa banyak bicara, Chatrine langsung menghampiri bosnya dengan cekatan. Wanita cantik itu menyodorkan jaket kulit hitam dan sebuah kacamata hitam dari Dior yang dia keluarkan dari dalam tas tangan.“Terlalu banyak cahaya di luar untuk kepala yang sedang berdenyut.”Nada bicaranya halus, namun padat. Suara sekretaris pribadi yang sudah terlatih mengendalikan semua kekacauan pria sekelas Aron Loghan.Aron menerima jaket dan kaca
BAB 71 KECEMASAN EVANAMalam terasa beku menikam ke dada Eva dalam kecemasan. Aron belum pulang hingga lewat tengah malam. Ponselnya sama sekali tidak bisa dihubungi.Eva masih duduk menunggu di ujung sofa ruang tengah, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, rambutnya digulung acak sembarangan, dan matanya terus menatap pintu lift yang belum juga terbuka.“Aku akan terus menunggu sampai kau pulang…”Suara Eva hampir tak terdengar. Jemarinya mencengkeram gelas berisi air mineral yang sejak tadi sudah kosong. Ponsel di genggaman tangannya menunjukkan pukul 01.37 dini hari. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada kabar.Eva mulai tidak bisa membedakan ini cemas… atau mulai ketakutan. Dengan ragu, dia akhirnya menelpon Chatrine.Nada sambung cukup lama. Tapi akhirnya suara lembut Chatrine menjawab di seberang sambungan telefon.Eva menahan napas. Suaranya nyaris pecah."Aron belum pulang. Semua komunikasinya mati. Kau tahu ke mana dia pergi?"Hening sejenak dari seberang."Aku
BAB 70 SEMUA KACAUEvankan mengejar punggung Chatrine di tengah keramaian pejalan kaki di sepanjang trotoar. Begitu Evankan sudah cukup dekat, tiba-tiba sosok Chatrine justru menghilang.“Sh*t,” bisik Evanka pelan.Dadanya masih bergemuruh naik turun, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, menelusuri setiap wajah yang lalu lalang. Tapi Chatrine sudah benar-benar lenyap.Beruntung Chatrine sudah masuk ke dalam mobil."Ayo, aku ingin buru-buru pulang!" Evana sudah duduk menunggu di dalam mobil selama Chatrine menyelesaikan pembayaran."Kita bisa langsung pulang, atau pergi ke salon untuk mewarnai rambut." Chatrine memberi pilihan alternatif."Kau serius, aku di ijinkan untuk mengecat rambut?" Eva nyaris tidak percaya karena mengingat kemurkaan Aron tempo hari.Chatrine mengangguk. "Warna merah pun juga boleh."Mustahil Chatrine berbohong."Oke, kita pergi ke salon!"Mobil hitam berlogo Denton Global melesat dari tepi trotoar sebelum Evanka Collins sempat menyadari keberadaan adiknya.Deng
BAB 69 WANITA YANG CEMBURU Ketika dua orang saling bertikai dengan keras kepala, maka ingat baik-baik satu prinsip dasar ini. 'Tidak ada yang sepenuhnya salah, dan tidak ada yang sepenuhnya benar. Tiap individu bisa membuat porsi kesalahannya masing-masing.' Saat itu usia Evankan baru tiga belas tahun, dua tahun lebih muda daripada Aron. Wajarnya memang dia yang ketakutan ketika seorang pemuda yang lebih dewasa memiliki hasrat yang begitu besar terhadap tubuhnya. Tapi Evankan juga telah melampaui batas dengan tindakan bully yang sangat jahat di usia mereka yang sama-sama remaja. "Tunjukkan wanitamu padaku!" Evanka Collins balas menantang Aron Loghan. Kemudian langsung berpaling angkuh untuk melangkah pergi. Beberapa menit setelah langkah anggun Evanka Collins menghilang di balik pintu, Aron Loghan masih berdiri membatu. Sorot matanya kosong menatap jendela, seperti ingin menghancurkan bayangan masa lalu yang telah menyerbu tanpa peringatan. Pertemuan tidak terduga dengan
BAB 68 EVANKA COLLINS VS ARON LOGHANEvanka berdiri di depan jendela kaca yang luas, memandangi siluet gedung-gedung New York di bawah langit cerah. Hari yang cerah, pertemuan yang mengejutkan beserta memori yang kembali tergali."Kau masih mencintaiku, Aron?"Sepertinya Evankan juga terkejut dengan pikiran itu.Aron Loghan tidak bergerak, tapi sorot matanya menusuk. Tatapan yang menyimpan ribuan alarm bahaya. Wanita itu benar-benar bisa kembali menghancurkan hidupnya.Evanka kembali menyentuh kaca yang masih sejuk diterpa sinar matahari pagi. Suaranya lembut, namun tegas menyisip tajam.“Aku tidak menyangka... ternyata kau juga yang membeli rumah ibuku.”Aron bangkit berdiri angkuh di balik meja panjang, jemarinya menggenggam tepiannya dengan kendali sempurna. Aron Loghan menjaga nada suaranya tetap tenang.“Itu hanya aset."Evankan tidak boleh tahu jika dia telah membeli rumah itu untuk menjebak adiknya."Properti dengan nilai tinggi di wilayah yang strategis.”Evanka menoleh perlah
BAB 67 KEMBALILangit New York sore itu bergerak agak kelabu. Hujan gerimis turun ringan, memantulkan cahaya lampu kota di permukaan jalanan basah. Aron dan Eva kembali ke kota melanjutkan malam dalam pelukan hangat tanpa jeda bercinta.Pagi bangkit dengan energi mentari baru yang segar, sisa-sisa gairah dari akhir pekan panjang bersama di Hampton masih melekat di kulit dan pikiran mereka masing-masing. Aron mengecup kening Eva yang tertidur di pelukannya hingga pagi. Aroma rambut Eva yang sedang bergairah terus menempel di hidung Aron. Rasanya ingin terus dia hirup."Hmm..." Eva melenguh terbangun karena ciuman panas di kulit leher.“Kau mau pergi?” Eva bertanya dengan suara serak malas.Sebenarnya Eva juga terkejut melihat Aron Loghan sudah sangat rapi, segar dan sedang mendesakkan ciuman yang sangat panas.“Hanya sebentar. Aku harus menyelesaikan pertemuan yang kemarin tertunda.”Eva hanya mengangguk pelan, separuh kesadarannya masih melayang."Kau boleh keluar, Chatrine bisa mene







